Polemik zonasi yang memicu banyak sekolah negeri tak dapat siswa belum sepenuhnya usai. Kini, sekolah negeri lagi-lagi “dihajar” oleh ramainya kabar biaya seragam yang mahal— yang padahal sudah berlangsung sejak lama. Sebenarnya ada apa?
TRENDING berita di ponsel saya tentang jeritan orang tua yang keberatan dengan biaya seragam mahal seakan tak ada habisnya.
Setelah Rembang, Tulungagung, dan sekarang Surabaya. Intinya sama: orang tua keberatan dengan biaya seragam mahal, yang nominalnya mencapai jutaan rupiah.
Pertanyaannya, kenapa ramai soal keberatan biaya seragam di sekolah negeri baru dilakukan sekarang? Dan kenapa yang dibidik selalu sekolah negeri? Padahal, “biaya seragam mahal” ini bukan hal baru.
Tak hanya itu, di sekolah swasta “biaya seragamnya” juga jauh lebih mahal. Tapi kan itu swasta? Tunggu dulu.
Sudah tahu belum kalau sekolah swasta kini mendapat hak yang sama dengan sekolah negeri? Mereka juga mendapat dana bantuan dari pemerintah tiap tahunnya. Termasuk mendapat bantuan operasional sekolah (BOS) dengan nominal yang sama dengan sekolah negeri.
Kenapa sekolah negeri seakan dihajar kanan-kiri tanpa ampun? Pukulan pertama: peraturan zonasi yang terus menerus mendiskreditkan sekolah negeri.
Sekolah negeri yang “hanya boleh” menerima siswa dari sekitar lingkungan sekolah membuat banyak lembaga pendidikan minim pendaftar.
Pukulan kedua: sekolah negeri “sengaja diibiarkan” kekurangan guru karena tak boleh lagi merekrut tenaga pendidik honorer. Sedangkan jumlah guru yang pensiun dan rekrutmen resmi dari pemerintah benar-benar tak imbang.
Di saat sekolah negeri harus tunduk dengan aturan zonasi dan tak boleh merekrut guru baru seenaknya, sekolah swasta bisa menikmati sebaliknya. Butuh guru baru? Tinggal rekrut.
Selain itu, sekolah swasta tak wajib tunduk aturan zonasi. Artinya, mereka bisa menerima siswa lintas kecamatan.
Apalagi sejumlah SD swasta menerima pagu jauh lebih banyak dari sekolah negeri. Artinya, duit BOS yang mereka terima juga besar—menyesuaikan dengan jumlah siswa.