27.9 C
Tuban
Saturday, 23 November 2024
spot_img
spot_img

[Eksklusif] Wawancara dengan Akhmad Zaini, Rektor IAINU Tuban yang Mengundurkan Diri

spot_img

’’Allah Ringankan Beban Saya’’

‘’Alhamdulillah. Ini sebuah anugerah yang perlu saya syukuri. Saya yang sejak 2017 dipaksa memimpin perguruan tinggi, per 9 September 2023, bisa mengunduran diri sebagai Rektor IAINU Tuban.’’ Itulah pernyataan Akhmad Zaini setelah resmi mengundurkan diri sebagai rektor Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Tuban Sabtu (9/9). Berikut penuturan lengkapnya ketika diwawancarai Jawa Pos Radar Tuban di rumahnya kemarin.

SURAT pengunduran diri itu, saya buat bersamaan dengan surat pengunduran diri yang dilakukan Badan Pelaksana Penyelenggara (BPP) IAINU Tuban periode 2021-2026.

Dan, pada Sabtu, 9 September 2023, pukul 16.00 WIB, surat pengunduran diri BPP dan rektor tersebut saya serahkan ke Rais Aam KH Miftachul Akhyar, di Surabaya.

Mengapa Anda mengundurkan diri, padahal sisa periodenya masih tiga tahun?
Ceritanya panjang. Ada “sesuatu”. Tapi, tidak perlu diungkap di sini. Yang pasti, keinginan mundur itu, sudah berkali-kali saya inginkan. Selalu saja gagal. Baru kali ini, kondisinya sangat mendukung. Bahkan, mendorong. Hehehe….

Tidak terasa, enam tahun (2017-2023) saya yang tidak pernah bermimpi memimpin perguruan tinggi ini menjadi orang nomor satu di sebuah perguruan tinggi.

Namanya IAINU. Dulu, STITMA. Kampus ini 100 persen milik PBNU. Baik aset tanah, maupun badan hukum penyelenggaranya.

Letaknya di Jalan Manunggal Tuban. Sehingga, sering disebut “Kampus Manunggal”.

Awal terpilih menjadi pemimpin di kampus Manunggal ini (2017), jabatan saya ketua bukan rektor.

Kala itu, Kampus Manunggal masih berstatus sebagai sekolah tinggi. Namanya, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STITMA) Makhdum Ibrahim.

Namun, mulai 2020 jabatan saya menjadi rektor. STITMA naik statusnya menjadi institut dengan nama Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU).

Bagaimana ceritanya Anda yang tidak pernah mencita-citakan jadi pimpinan perguruan, bisa menjadi rektor?
Semula berawal dari keluhan beberapa orang yang memaparkan bahwa kondisi STITMA sangat memprihatinkan. Dari pembicaraan panjang itu, akhirnya beberapa orang mengambil kesimpulan bahwa STITMA butuh wajah baru.

Dan, saya lah orang yang didorong agar bersedia dipilih/didukung ketika masanya reorganisasi.

Bukan hal yang mudah bagi saya untuk mengatakan, “ya”. Mengingat, pasca keluar dari karir saya sebagai jurnalis di Jawa Pos (2011), saya memutuskan untuk berbisnis.

Alhamdulillah, bisnis busana muslim yang sudah saya rintis pada 2002, sudah berjalan dengan baik. Kebutuhan ekonomi keluarga saya sudah tercukupi dari bisnis ini. Artinya, bergabungnya saya di STITMA sebagai dosen, hanya untuk pengabdian.

Saya sebagai warga NU, terpanggil untuk memberikan kontribusi di lembaga  pendidikan tinggi NU.

Singkat cerita, setelah berdiskusi dengan banyak orang dan melakukan istikharoh berkali-kali, saya akhirnya bersedia dipilih menjadi pimpinan di kampus Manunggal.

Bismillah, dengan bekal pas-pasan, amanah berat itu saya pikul. Benar-benar dari modal nol. Sebelumnya, posisi saya hanyalah dosen. Tidak pernah menjadi ketua lembaga, kaprodi, dekan, apalagi wakil rektor.

Sehingga, lika-liku mengelola perguruan tinggi tidak ada sama sekali. Kepercayaan diri saya hanya bertumpu pada latar belakang saya yang pernah menjadi aktivis di IAIN Walisongo, pergaulan dengan orang-orang hebat selama men jadi jurnalis Jawa Pos. Juga pengalaman menajerial selama merintis usaha dari nol hingga berkembang lumayan besar.

Gercep Keluar dari Ancaman Besar

Dari mana Anda belajar dan memulai hal yang harus dibenahi di STITMA?
Merasa minim pengalaman, pas mudik ke Semarang, saya berkunjung ke sahabat lama yang saat itu menjabat sebagai dekan di UIN Walisongo.

Saya minta masukan, apa yang harus dilakukan? Teman tadi langsung mencoba membuka Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD DIKTI).

Dia rupanya ingin mengetahui profil STITMA Tuban. Betapa kagetnya dia. Ketika laman PD DIKTI dibuka, ternyata tidak ada laporan yang termuat di sana. Alias kosong melompong.

Ini artinya, STITMA belum pernah mengisi data di PD DIKTI. Padahal, itu sebuah keharusan. Perguruan tinggi yang tidak membuat laporan (mengisi data) di PD DIKTI tentu terancam eksistensinya. Izin operasional terancam dicabut.

Ini problem besar! Gerak cepat (gercep) harus dilakukan. Sebagai pimpinan, saya langsung melakukan koordinasi dengan jajaran wakil ketua dan staf administrasi.

Dari koordinasi ini diketahui bahwa saat itu sudah terbit surat edaran periode awal pelaporan PD DIKTI nomor: 5478/A.P1/SE/2017 tertanggal 21 Desember 2017.

Dalam surat edaran itu, semua perguruan tinggi harus melaporkan kegiatannya dalam pangkalan data di PD DIKTI.

Kondisi STITMA waktu itu PD DIKTI-nya kosong tidak ada laporan. Yang seharusnya dilaporkan adalah data mahasiswa aktif dan dosen tetap ber-NIDN (Nomor Induk Dosen nasional) atau NIDK (nomor induk dosen khusus).

Pelaporan PDDIKTI, harus valid dan clear terkait data mahasiswa dan dosen. Kondisi STITMA waktu itu: dosen NIDN cuma berjumlah 11 orang. Padahal, jumlah mahasiswa 1.400.

Dalam rumpun ilmu sosial, rasio dosen dan mahasiswa adalah 1:40 (1 dosen maksimal mengajar 40 mahasiswa). Jadi, dengan jumlah mahasiswa sebanyak itu seharusnya minimal STITMA memiliki 40 dosen ber-NIDN.

Sementara dosen-dosen yang ada, sebagian guru PNS dan guru yang memiliki NUPTK yang tidak bisa dimasukkan datanya di laporan PD DIKTI.

Di sisi lain, STITMA saat itu belum memiliki Akreditasi Institusi. Padahal, syarat untuk mengajukan akreditasi institusi semua prodi harus sudah terakreditasi.

Baca Juga :  Dampak El Nino, Suhu Siang Hari di Tuban Capai 33 Derajat Celsius

Artinya, untuk mengajukan Akreditasi Institusi, mau tidak mau harus mengklirkan dulu Akreditasi Prodi. Saat itu, hanya prodi PAI yang sudah terakreditasi (akreditasi B). Sedang prodi PGMI masih proses pengajuan dan PIAUD belum terakreditasi.

Di titik inilah pemenuhan jumlah dosen ber-NIDN di setiap prodi tidak bisa dihindarkan. Artinya, harus segera rekrutmen dosen baru yang memenuhi syarat untuk diajukan sebagai dosen ber-NIDN.

Masalah ini, bukanlah perkara mudah untuk dipecahkan. Sebab, hal ini menyangkut keuangan. Berkaitan erat dengan dosen-dosen lama yang tidak bisa di-NIDN-kan.

Meski tidak mudah, akhirnya kebijakan yang diambil untuk menyelamatkan kampus STITMA, pimpinan memutuskan melakukan rekrutmen dosen untuk memenuhi kebutuhan dosen yang ber-NIDN setiap Prodi.

Dari hasil rekrutmen itu, pada 2018 diproses 20 dosen ber-NIDN, di tahun 2019 diproses 6 dosen ber-NIDN, di tahun 2021 diproses 7 dosen ber-NIDN. Dan, di tahun 2022 diproses 9 dosen ber-NIDN.

Dengan bertambahnya sekian banyak dosen ber-NIDN, kampus bisa mengisi data ke PD DIKTI dengan baik. Namun, dalam waktu yang bersamaan, ada kebutuhan keuangan yang naik drastis. Dan, yang tidak kalah krusialnya adalah keharusan membagi jam mengajar antara dosen yang telah lama mengabdi dengan dosen baru yang ber-NIDN.

Rekrutmen dosen baru itu, juga terkait karena pada tahun 2017 juga ada amanah dari PC NU Tuban untuk pengembangan STITMA menjadi institut.

Di mana dengan minimnya SDM akhirnya rekrutmen mau tidak mau harus dilakukan untuk proses menuju perubahan dari STITMA menjadi IAINU.

Kerja Keras Itu Lahirkan IAINU

Seperti apa Anda membidangi kelahiran IAINU?
Pada 2018 proses akreditasi institusi diajukan. Pada 26 Desember 2019, IAINU mendapatkan SK izin operasionalnya.

Kampus Manunggal yang semula berstatus sekolah tinggi (STITMA) berubah status menjadi IAINU. Ada tiga prodi baru yang mendapatkan izin operasional.

Terbitnya izin tiga prodi itu, tentu menuntut penambahan dosen ber-NIDN baru untuk mengisi tiga prodi baru itu. ‘

Bersamaan dengan perubahan bentuk itu, BPP STITMA- STIKES harus menetapkan siapa yang menjadi rektor dan perubahan nama BPP.

Dari rapat BPP diputuskan saya yang masih memegang SK ketua STITMA untuk meneruskan jabatan sebagai rektor. Salah satu pertimbangannya, masa jabatan ketua STITMA masih dua tahun.

Beberapa saat kemudian, SK rektor IAINU pun dikeluarkan oleh PBNU bersamaan dengan SK BPP IAINU. SK tersebut menetapkan H Musta’in Syukur sebagai ketua BPP dan saya sebagai rektor. Dengan masa kepemimpinan sampai 2026.

Ketika ditunjuk menjadi rektor, saya sempat menolak. Dan, menyodorkan beberapa nama untuk menggantikan. Tapi, rupanya tidak mudah mencari pengganti.

Beberapa nama yang dianggap mampu, menolak ketika dimintai kesediaannya. Beberapa nama yang lain, dinilai oleh BPP IAINU belum memenuhi kualifikasi untuk menjadi rektor. Akhirnya, saya yang ditetapkan sebagai rektor IAINU.

Sebagai rektor, selain memenuhi kebutuhan SDM seperti yang diatur pemerintah, perbaikan sistem saya lakukan.

Sejak 2020-2021, IAINU Tuban melakukan perbaikan sistem. Salah satunya adanya sistem SIAKAD dalam kegiatan akademik kampus yang tujuannya merapikan dan memudahkan dalam input data yang bisa langsung sinkron dengan laporan PD DIKTI.

Lagi-lagi, pembenahan ini juga membawa konsekuensi. Dosen yang tidak ber-NIDN walaupun bisa mempunyai akses ke SIAKAD, tetapi tidak bisa masuk di PD DIKTI.

Pada 2021, prodi PAI melakukan visitasi reakreditasi. Alhamdulillah, hasilnya sama dengan sebelumnya yaitu B dengan aturan BAN PT terbaru yang seharusnya mendapat B susah sekali. IAINU juga mendapatkan SK Akreditasi Institusi dengan predikat BAIK.

Di tahun 2022, prodi Perbankan Syariah dan Managemen Dakwah juga melakukan akreditasi awal dengan keluar hasilnya BAIK. Diikuti oleh prodi HKI yg mengajukan akreditasi awal.

Berikutnya, pada tahun 2022 juga alhamdulillah prodi PGMI melakukan reakreditasi oleh LAMDIK dengan hasil BAIK SEKALI.

Hasil akreditasi ini (meski ke depan harus ditingkatkan lagi) adalah buah dari pembenahan yang dialakukan sejak 2017.

Bila tidak dilakukan pembenahan, jangankan mendapatkan nilai BAIK atau BAIK sekali. Bisa jadi, sebelum berubah menjadi IAINU sudah terancam tidak lolos akreditasi.

Konsekuensinya, izin operasional penyelenggaraan pendidikan dicabut dan kampus harus tutup.

Konsekuensi dari Pembenahan

Seperti apa pembenahan SDM di IAINU?
Harus diakui, pembenahan secara kelembagaan ini, membawa ekses yang mungkin merugikan beberapa pihak. Khususnya, para dosen yang berlatar belakang guru dan tidak memiliki NIDN.

Kondisi ini bukanlah situasi yang dikehendaki dan direncanakan. Namun, menjadi pilihan pahit yang harus ditempuh.

Bersamaan dengan tuntutan dosen NIDN, persoalan baru juga muncul. Yaitu, aturan dari Kementerian Agama yang membatasi penerimaan mahasiswa prodi PAI  (pendidikan agama Islam).

Semula, prodi PAI di STITMA adalah prodi favorit yang setiap tahunnya bisa  menerima 6-7 kelas. Namun, karena dianggap alumni PAI sudah over, maka dilakukan pembatasan hanya tiga kelas. Dan, itu juga berlaku di prodi PAI kampus negeri (IAIN/UIN).

Dengan pembatasan itu, dampaknya langsung terasa. Jumlah mahasiswa baru turun drastis. Sehingga, jumlah mahasiswa yang semula 1.400 orang, kini tinggal 1.000 orang lebih sedikit.

Baca Juga :  SMAN Senori Batal Beralih Status, SMAN Widang Lanjut, Ini Alasannya

Prodi baru yang dibuka, ternyata belum terlalu menarik untuk mahasiswa baru. Sehingga, keberadaannya tidak bisa mengganti berkurangnya jumlah mahasiswa karena dibatasinya prodi PAI.

Berkurangnya jumlah mahasiswa ini, tentu memunculnya persoalan baru. Kelas-kelas yang ada lebih difokuskan untuk diberikan kepada dosen-dosen NIDN. Adapun dosen tidak ber-NIDN, dari tahun ke tahun jumlahnya dikurangi. Sangat

disadari, inilah bagian dari risiko yang harus diambil.

Bangun Sarpras, Tingkatkan Kualitas SDM

Sarana-prasarana apa yang sudah Anda bangung?
Berubah bentuk menjadi institut (IAINU), selain membawa konsekuensi pembenahan SDM, juga menuntut pembenahan di bidang sarana prasarana.

Keuangan yang masih minim, harus di atur sedemikian rupa supaya bisa mengkaver kebutuhan-kebutuhan yang ada.

Akhirnya, diambillah kebijakan skala prioritas. Dicukup-cukupkan!

Tahap awal, skala prioritas diputuskan untuk memenuhi kebutuhan sarpras. Pembenahan sarpras ini, dimulai sejak diambil keputusan untuk mengubah STITMA menjadi IAINU.

Pada 2017 untuk persiapan perubahan status STITMA menjadi IAINU dipersiapkan bangunan perpustakaan yang representatif dengan tiga lantai di mana untuk lantai 1 diperuntukkan kantin mahasiswa, lantai 2 untuk perpustakaan dan lantai 3 untuk laboratorium.

Selain itu, juga pembangunan rektorat karena seiring dengan perubahan bentuk dari STITMA menjadi IAINU juga memerlukan perkantoran untuk para dekan, kaprodi, ketua lembaga dan unit.

Keberadaan perpustakaan di gedung ini tidak lama. Setelah gedung rektorat yang baru jadi dan semua aktivitas perkantoran pindah di gedung baru, perpustakaan dipindah ke gedung rektorat lama.

Pertimbangannya, lebih besar dan lebih representatif. Tentu, terlebih dahulu dilakukan revonasi secukupnya.

Sarpras lain yang juga dibangun adalah pembuatan pagar keliling kawasan Manunggal, khususnya bagian selatan dan barat kampus.

Berikutnya, mes atau tempat menginap para dosen. Ini dibutuhkan karena banyak dosen yang berasal dari luar daerah.

Kemudian, laboratorium komputer (ruangan bersama isinya), juga meski sampai saat ini belum kelar, pembangunan masjid juga dilakukan.

Selain itu, dilakukan pavingisasi untuk parkir kendaraan mahasiswa, tempat olahraga mahasiswa, dan juga penataan taman di bagian depan.

Untuk pembenahan sarpras ini, sejak 2017 hingga sekarang tidak kurang  menghabiskan dana sekitar Rp 15 miliar. Untuk ukuran keuangan IAINU, itu bukan angka yang kecil.

Apa yang sudah Anda lakukan untuk peningkatan SDM dosen?
Saat ini, meski belum memadai betul, sarpras IAINU Tuban sudah lumayan baik. Tahap berikutnya, skala prioritas diarahkan ke peningkatan SDM.

Tercatat sembilan osen sedang menempuh studi doktoral (S-3). Lima dosen kuliah S-3 dengan support dana dari IAINU Tuban. Satu dosen atas beasiswa perseorangan
dan tiga dosen biaya mandiri.

Saya sendiri, memutuskan untuk tidak mengambil program S-3, meski banyak  yang mendorongnya.

Upaya membantu biaya kuliah S-3 para dosen ini, dilakukan karena IAINU Tuban masih sangat minim doktor. Saat ini, hanya satu dosen yang sudah menyandang gelar doktor.

Jumlah itu, sangat kurang. Apalagi, bila ke depan IAINU Tuban ingin berubah bentuk menjadi UNU atau UNISNU.

MINU Hijjah sebagai Sekolah Laboratorium

Kabarnya IAINU punya sekolah laboratorium?
Ya, kami memberi nama sekolah yg dimiliki IAINU itu sekolah laboratorium. Namanya, MINU Hidayatun Najah (Hijjah).

Meski menggunakan nama Hijjah, madrasah ini bukan bagian dari Yayasan Hidayatun Najah (Hijjah) Tuban. Tapi, milik NU seratus persen, baik aset maupun badan hukumnya.

Nama Hijjah disematkan hanya bermakna historis saja. Yakni, sebagai pengingat bahwa pendirian sekolah ini diawali dengan pencangkokan sistem yang diterapkan di Yayasan Hijjah Tuban yang dinilai bagus.

MINU Hijjah didirikan pada 2018. Pertama kali menerima siswa baru pada 1 April 2018. Siswa angkatan pertama ini, adalah anak-anak yang diterima di MI Hijjah.

Namun, karena keterbatasan kapasitas di MI Hijjah, maka wali murid yang sangat berkeinginan anaknya sekolah di MI Hijjah, diberi alternatif untuk bersedia diterima di MINU Hijjah. Sebagian dari mereka ternyata bersedia.

Mereka inilah siswa angkatan pertama MINU Hijjah. Hanya satu rombel (rombongan belajar). Mereka belajar dengan fasilitas yang sangat minim.

Pada 2023 ini, mereka duduk di kelas enam. Perkembangan MINU Hijjah sangat menggembirakan. Keberadaannya saat ini tidak jauh beda dengan sekolah-sekolah unggulan lainnya di Tuban.

Meski biaya pendidikan di MINU Hijjah tidak bisa dikatakan murah, tapi animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di sini sangat besar.

Jumlah siswa MINU Hijjah saat ini 287 anak dengan staf pengajar sebanyak 34 orang. Jumlah siswa ini, seharusnya bisa lebih banyak lagi bila penerimaan siswa baru tidak dibatasi hanya dua kelas.

Pembatasan dilakukan karena keterbatasan keuangan untuk setiap tahun  membangun ruang kelas baru.

Biaya masuk siswa baru di MINU Hijjah memang tidak murah. Namun, tetap saja dana yang masuk tidak cukup untuk membangun ruang kelas seperti yang dibutuhkan.

Akhirnya, IAINU-lah yang mengambil peran memecahkan persoalan tersebut. Yakni, dengan meminjamkan beberapa ruang kuliah dan pada 2022 membangunkan gedung baru dua lokal.

Desain gedung baru itu dua lantai. Namun, karena keterbatasan anggaran di IAINU, akhirnya dicicil satu lantai terlebih dahulu.

Itu pun masih menyisakan utang yang belum terbayar. Hehehe…. (ds)

’’Allah Ringankan Beban Saya’’

‘’Alhamdulillah. Ini sebuah anugerah yang perlu saya syukuri. Saya yang sejak 2017 dipaksa memimpin perguruan tinggi, per 9 September 2023, bisa mengunduran diri sebagai Rektor IAINU Tuban.’’ Itulah pernyataan Akhmad Zaini setelah resmi mengundurkan diri sebagai rektor Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Tuban Sabtu (9/9). Berikut penuturan lengkapnya ketika diwawancarai Jawa Pos Radar Tuban di rumahnya kemarin.

SURAT pengunduran diri itu, saya buat bersamaan dengan surat pengunduran diri yang dilakukan Badan Pelaksana Penyelenggara (BPP) IAINU Tuban periode 2021-2026.

Dan, pada Sabtu, 9 September 2023, pukul 16.00 WIB, surat pengunduran diri BPP dan rektor tersebut saya serahkan ke Rais Aam KH Miftachul Akhyar, di Surabaya.

Mengapa Anda mengundurkan diri, padahal sisa periodenya masih tiga tahun?
Ceritanya panjang. Ada “sesuatu”. Tapi, tidak perlu diungkap di sini. Yang pasti, keinginan mundur itu, sudah berkali-kali saya inginkan. Selalu saja gagal. Baru kali ini, kondisinya sangat mendukung. Bahkan, mendorong. Hehehe….

Tidak terasa, enam tahun (2017-2023) saya yang tidak pernah bermimpi memimpin perguruan tinggi ini menjadi orang nomor satu di sebuah perguruan tinggi.

- Advertisement -

Namanya IAINU. Dulu, STITMA. Kampus ini 100 persen milik PBNU. Baik aset tanah, maupun badan hukum penyelenggaranya.

Letaknya di Jalan Manunggal Tuban. Sehingga, sering disebut “Kampus Manunggal”.

Awal terpilih menjadi pemimpin di kampus Manunggal ini (2017), jabatan saya ketua bukan rektor.

Kala itu, Kampus Manunggal masih berstatus sebagai sekolah tinggi. Namanya, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STITMA) Makhdum Ibrahim.

Namun, mulai 2020 jabatan saya menjadi rektor. STITMA naik statusnya menjadi institut dengan nama Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU).

Bagaimana ceritanya Anda yang tidak pernah mencita-citakan jadi pimpinan perguruan, bisa menjadi rektor?
Semula berawal dari keluhan beberapa orang yang memaparkan bahwa kondisi STITMA sangat memprihatinkan. Dari pembicaraan panjang itu, akhirnya beberapa orang mengambil kesimpulan bahwa STITMA butuh wajah baru.

Dan, saya lah orang yang didorong agar bersedia dipilih/didukung ketika masanya reorganisasi.

Bukan hal yang mudah bagi saya untuk mengatakan, “ya”. Mengingat, pasca keluar dari karir saya sebagai jurnalis di Jawa Pos (2011), saya memutuskan untuk berbisnis.

Alhamdulillah, bisnis busana muslim yang sudah saya rintis pada 2002, sudah berjalan dengan baik. Kebutuhan ekonomi keluarga saya sudah tercukupi dari bisnis ini. Artinya, bergabungnya saya di STITMA sebagai dosen, hanya untuk pengabdian.

Saya sebagai warga NU, terpanggil untuk memberikan kontribusi di lembaga  pendidikan tinggi NU.

Singkat cerita, setelah berdiskusi dengan banyak orang dan melakukan istikharoh berkali-kali, saya akhirnya bersedia dipilih menjadi pimpinan di kampus Manunggal.

Bismillah, dengan bekal pas-pasan, amanah berat itu saya pikul. Benar-benar dari modal nol. Sebelumnya, posisi saya hanyalah dosen. Tidak pernah menjadi ketua lembaga, kaprodi, dekan, apalagi wakil rektor.

Sehingga, lika-liku mengelola perguruan tinggi tidak ada sama sekali. Kepercayaan diri saya hanya bertumpu pada latar belakang saya yang pernah menjadi aktivis di IAIN Walisongo, pergaulan dengan orang-orang hebat selama men jadi jurnalis Jawa Pos. Juga pengalaman menajerial selama merintis usaha dari nol hingga berkembang lumayan besar.

Gercep Keluar dari Ancaman Besar

Dari mana Anda belajar dan memulai hal yang harus dibenahi di STITMA?
Merasa minim pengalaman, pas mudik ke Semarang, saya berkunjung ke sahabat lama yang saat itu menjabat sebagai dekan di UIN Walisongo.

Saya minta masukan, apa yang harus dilakukan? Teman tadi langsung mencoba membuka Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD DIKTI).

Dia rupanya ingin mengetahui profil STITMA Tuban. Betapa kagetnya dia. Ketika laman PD DIKTI dibuka, ternyata tidak ada laporan yang termuat di sana. Alias kosong melompong.

Ini artinya, STITMA belum pernah mengisi data di PD DIKTI. Padahal, itu sebuah keharusan. Perguruan tinggi yang tidak membuat laporan (mengisi data) di PD DIKTI tentu terancam eksistensinya. Izin operasional terancam dicabut.

Ini problem besar! Gerak cepat (gercep) harus dilakukan. Sebagai pimpinan, saya langsung melakukan koordinasi dengan jajaran wakil ketua dan staf administrasi.

Dari koordinasi ini diketahui bahwa saat itu sudah terbit surat edaran periode awal pelaporan PD DIKTI nomor: 5478/A.P1/SE/2017 tertanggal 21 Desember 2017.

Dalam surat edaran itu, semua perguruan tinggi harus melaporkan kegiatannya dalam pangkalan data di PD DIKTI.

Kondisi STITMA waktu itu PD DIKTI-nya kosong tidak ada laporan. Yang seharusnya dilaporkan adalah data mahasiswa aktif dan dosen tetap ber-NIDN (Nomor Induk Dosen nasional) atau NIDK (nomor induk dosen khusus).

Pelaporan PDDIKTI, harus valid dan clear terkait data mahasiswa dan dosen. Kondisi STITMA waktu itu: dosen NIDN cuma berjumlah 11 orang. Padahal, jumlah mahasiswa 1.400.

Dalam rumpun ilmu sosial, rasio dosen dan mahasiswa adalah 1:40 (1 dosen maksimal mengajar 40 mahasiswa). Jadi, dengan jumlah mahasiswa sebanyak itu seharusnya minimal STITMA memiliki 40 dosen ber-NIDN.

Sementara dosen-dosen yang ada, sebagian guru PNS dan guru yang memiliki NUPTK yang tidak bisa dimasukkan datanya di laporan PD DIKTI.

Di sisi lain, STITMA saat itu belum memiliki Akreditasi Institusi. Padahal, syarat untuk mengajukan akreditasi institusi semua prodi harus sudah terakreditasi.

Baca Juga :  HUT Ke-12 SMAN 1 Plumpang ”Newborn to Shine”, Bupati: Semoga Jadi Teladan

Artinya, untuk mengajukan Akreditasi Institusi, mau tidak mau harus mengklirkan dulu Akreditasi Prodi. Saat itu, hanya prodi PAI yang sudah terakreditasi (akreditasi B). Sedang prodi PGMI masih proses pengajuan dan PIAUD belum terakreditasi.

Di titik inilah pemenuhan jumlah dosen ber-NIDN di setiap prodi tidak bisa dihindarkan. Artinya, harus segera rekrutmen dosen baru yang memenuhi syarat untuk diajukan sebagai dosen ber-NIDN.

Masalah ini, bukanlah perkara mudah untuk dipecahkan. Sebab, hal ini menyangkut keuangan. Berkaitan erat dengan dosen-dosen lama yang tidak bisa di-NIDN-kan.

Meski tidak mudah, akhirnya kebijakan yang diambil untuk menyelamatkan kampus STITMA, pimpinan memutuskan melakukan rekrutmen dosen untuk memenuhi kebutuhan dosen yang ber-NIDN setiap Prodi.

Dari hasil rekrutmen itu, pada 2018 diproses 20 dosen ber-NIDN, di tahun 2019 diproses 6 dosen ber-NIDN, di tahun 2021 diproses 7 dosen ber-NIDN. Dan, di tahun 2022 diproses 9 dosen ber-NIDN.

Dengan bertambahnya sekian banyak dosen ber-NIDN, kampus bisa mengisi data ke PD DIKTI dengan baik. Namun, dalam waktu yang bersamaan, ada kebutuhan keuangan yang naik drastis. Dan, yang tidak kalah krusialnya adalah keharusan membagi jam mengajar antara dosen yang telah lama mengabdi dengan dosen baru yang ber-NIDN.

Rekrutmen dosen baru itu, juga terkait karena pada tahun 2017 juga ada amanah dari PC NU Tuban untuk pengembangan STITMA menjadi institut.

Di mana dengan minimnya SDM akhirnya rekrutmen mau tidak mau harus dilakukan untuk proses menuju perubahan dari STITMA menjadi IAINU.

Kerja Keras Itu Lahirkan IAINU

Seperti apa Anda membidangi kelahiran IAINU?
Pada 2018 proses akreditasi institusi diajukan. Pada 26 Desember 2019, IAINU mendapatkan SK izin operasionalnya.

Kampus Manunggal yang semula berstatus sekolah tinggi (STITMA) berubah status menjadi IAINU. Ada tiga prodi baru yang mendapatkan izin operasional.

Terbitnya izin tiga prodi itu, tentu menuntut penambahan dosen ber-NIDN baru untuk mengisi tiga prodi baru itu. ‘

Bersamaan dengan perubahan bentuk itu, BPP STITMA- STIKES harus menetapkan siapa yang menjadi rektor dan perubahan nama BPP.

Dari rapat BPP diputuskan saya yang masih memegang SK ketua STITMA untuk meneruskan jabatan sebagai rektor. Salah satu pertimbangannya, masa jabatan ketua STITMA masih dua tahun.

Beberapa saat kemudian, SK rektor IAINU pun dikeluarkan oleh PBNU bersamaan dengan SK BPP IAINU. SK tersebut menetapkan H Musta’in Syukur sebagai ketua BPP dan saya sebagai rektor. Dengan masa kepemimpinan sampai 2026.

Ketika ditunjuk menjadi rektor, saya sempat menolak. Dan, menyodorkan beberapa nama untuk menggantikan. Tapi, rupanya tidak mudah mencari pengganti.

Beberapa nama yang dianggap mampu, menolak ketika dimintai kesediaannya. Beberapa nama yang lain, dinilai oleh BPP IAINU belum memenuhi kualifikasi untuk menjadi rektor. Akhirnya, saya yang ditetapkan sebagai rektor IAINU.

Sebagai rektor, selain memenuhi kebutuhan SDM seperti yang diatur pemerintah, perbaikan sistem saya lakukan.

Sejak 2020-2021, IAINU Tuban melakukan perbaikan sistem. Salah satunya adanya sistem SIAKAD dalam kegiatan akademik kampus yang tujuannya merapikan dan memudahkan dalam input data yang bisa langsung sinkron dengan laporan PD DIKTI.

Lagi-lagi, pembenahan ini juga membawa konsekuensi. Dosen yang tidak ber-NIDN walaupun bisa mempunyai akses ke SIAKAD, tetapi tidak bisa masuk di PD DIKTI.

Pada 2021, prodi PAI melakukan visitasi reakreditasi. Alhamdulillah, hasilnya sama dengan sebelumnya yaitu B dengan aturan BAN PT terbaru yang seharusnya mendapat B susah sekali. IAINU juga mendapatkan SK Akreditasi Institusi dengan predikat BAIK.

Di tahun 2022, prodi Perbankan Syariah dan Managemen Dakwah juga melakukan akreditasi awal dengan keluar hasilnya BAIK. Diikuti oleh prodi HKI yg mengajukan akreditasi awal.

Berikutnya, pada tahun 2022 juga alhamdulillah prodi PGMI melakukan reakreditasi oleh LAMDIK dengan hasil BAIK SEKALI.

Hasil akreditasi ini (meski ke depan harus ditingkatkan lagi) adalah buah dari pembenahan yang dialakukan sejak 2017.

Bila tidak dilakukan pembenahan, jangankan mendapatkan nilai BAIK atau BAIK sekali. Bisa jadi, sebelum berubah menjadi IAINU sudah terancam tidak lolos akreditasi.

Konsekuensinya, izin operasional penyelenggaraan pendidikan dicabut dan kampus harus tutup.

Konsekuensi dari Pembenahan

Seperti apa pembenahan SDM di IAINU?
Harus diakui, pembenahan secara kelembagaan ini, membawa ekses yang mungkin merugikan beberapa pihak. Khususnya, para dosen yang berlatar belakang guru dan tidak memiliki NIDN.

Kondisi ini bukanlah situasi yang dikehendaki dan direncanakan. Namun, menjadi pilihan pahit yang harus ditempuh.

Bersamaan dengan tuntutan dosen NIDN, persoalan baru juga muncul. Yaitu, aturan dari Kementerian Agama yang membatasi penerimaan mahasiswa prodi PAI  (pendidikan agama Islam).

Semula, prodi PAI di STITMA adalah prodi favorit yang setiap tahunnya bisa  menerima 6-7 kelas. Namun, karena dianggap alumni PAI sudah over, maka dilakukan pembatasan hanya tiga kelas. Dan, itu juga berlaku di prodi PAI kampus negeri (IAIN/UIN).

Dengan pembatasan itu, dampaknya langsung terasa. Jumlah mahasiswa baru turun drastis. Sehingga, jumlah mahasiswa yang semula 1.400 orang, kini tinggal 1.000 orang lebih sedikit.

Baca Juga :  Antisipasi Dini, DKP2P Tuban Geber Vaksinasi Rabies

Prodi baru yang dibuka, ternyata belum terlalu menarik untuk mahasiswa baru. Sehingga, keberadaannya tidak bisa mengganti berkurangnya jumlah mahasiswa karena dibatasinya prodi PAI.

Berkurangnya jumlah mahasiswa ini, tentu memunculnya persoalan baru. Kelas-kelas yang ada lebih difokuskan untuk diberikan kepada dosen-dosen NIDN. Adapun dosen tidak ber-NIDN, dari tahun ke tahun jumlahnya dikurangi. Sangat

disadari, inilah bagian dari risiko yang harus diambil.

Bangun Sarpras, Tingkatkan Kualitas SDM

Sarana-prasarana apa yang sudah Anda bangung?
Berubah bentuk menjadi institut (IAINU), selain membawa konsekuensi pembenahan SDM, juga menuntut pembenahan di bidang sarana prasarana.

Keuangan yang masih minim, harus di atur sedemikian rupa supaya bisa mengkaver kebutuhan-kebutuhan yang ada.

Akhirnya, diambillah kebijakan skala prioritas. Dicukup-cukupkan!

Tahap awal, skala prioritas diputuskan untuk memenuhi kebutuhan sarpras. Pembenahan sarpras ini, dimulai sejak diambil keputusan untuk mengubah STITMA menjadi IAINU.

Pada 2017 untuk persiapan perubahan status STITMA menjadi IAINU dipersiapkan bangunan perpustakaan yang representatif dengan tiga lantai di mana untuk lantai 1 diperuntukkan kantin mahasiswa, lantai 2 untuk perpustakaan dan lantai 3 untuk laboratorium.

Selain itu, juga pembangunan rektorat karena seiring dengan perubahan bentuk dari STITMA menjadi IAINU juga memerlukan perkantoran untuk para dekan, kaprodi, ketua lembaga dan unit.

Keberadaan perpustakaan di gedung ini tidak lama. Setelah gedung rektorat yang baru jadi dan semua aktivitas perkantoran pindah di gedung baru, perpustakaan dipindah ke gedung rektorat lama.

Pertimbangannya, lebih besar dan lebih representatif. Tentu, terlebih dahulu dilakukan revonasi secukupnya.

Sarpras lain yang juga dibangun adalah pembuatan pagar keliling kawasan Manunggal, khususnya bagian selatan dan barat kampus.

Berikutnya, mes atau tempat menginap para dosen. Ini dibutuhkan karena banyak dosen yang berasal dari luar daerah.

Kemudian, laboratorium komputer (ruangan bersama isinya), juga meski sampai saat ini belum kelar, pembangunan masjid juga dilakukan.

Selain itu, dilakukan pavingisasi untuk parkir kendaraan mahasiswa, tempat olahraga mahasiswa, dan juga penataan taman di bagian depan.

Untuk pembenahan sarpras ini, sejak 2017 hingga sekarang tidak kurang  menghabiskan dana sekitar Rp 15 miliar. Untuk ukuran keuangan IAINU, itu bukan angka yang kecil.

Apa yang sudah Anda lakukan untuk peningkatan SDM dosen?
Saat ini, meski belum memadai betul, sarpras IAINU Tuban sudah lumayan baik. Tahap berikutnya, skala prioritas diarahkan ke peningkatan SDM.

Tercatat sembilan osen sedang menempuh studi doktoral (S-3). Lima dosen kuliah S-3 dengan support dana dari IAINU Tuban. Satu dosen atas beasiswa perseorangan
dan tiga dosen biaya mandiri.

Saya sendiri, memutuskan untuk tidak mengambil program S-3, meski banyak  yang mendorongnya.

Upaya membantu biaya kuliah S-3 para dosen ini, dilakukan karena IAINU Tuban masih sangat minim doktor. Saat ini, hanya satu dosen yang sudah menyandang gelar doktor.

Jumlah itu, sangat kurang. Apalagi, bila ke depan IAINU Tuban ingin berubah bentuk menjadi UNU atau UNISNU.

MINU Hijjah sebagai Sekolah Laboratorium

Kabarnya IAINU punya sekolah laboratorium?
Ya, kami memberi nama sekolah yg dimiliki IAINU itu sekolah laboratorium. Namanya, MINU Hidayatun Najah (Hijjah).

Meski menggunakan nama Hijjah, madrasah ini bukan bagian dari Yayasan Hidayatun Najah (Hijjah) Tuban. Tapi, milik NU seratus persen, baik aset maupun badan hukumnya.

Nama Hijjah disematkan hanya bermakna historis saja. Yakni, sebagai pengingat bahwa pendirian sekolah ini diawali dengan pencangkokan sistem yang diterapkan di Yayasan Hijjah Tuban yang dinilai bagus.

MINU Hijjah didirikan pada 2018. Pertama kali menerima siswa baru pada 1 April 2018. Siswa angkatan pertama ini, adalah anak-anak yang diterima di MI Hijjah.

Namun, karena keterbatasan kapasitas di MI Hijjah, maka wali murid yang sangat berkeinginan anaknya sekolah di MI Hijjah, diberi alternatif untuk bersedia diterima di MINU Hijjah. Sebagian dari mereka ternyata bersedia.

Mereka inilah siswa angkatan pertama MINU Hijjah. Hanya satu rombel (rombongan belajar). Mereka belajar dengan fasilitas yang sangat minim.

Pada 2023 ini, mereka duduk di kelas enam. Perkembangan MINU Hijjah sangat menggembirakan. Keberadaannya saat ini tidak jauh beda dengan sekolah-sekolah unggulan lainnya di Tuban.

Meski biaya pendidikan di MINU Hijjah tidak bisa dikatakan murah, tapi animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di sini sangat besar.

Jumlah siswa MINU Hijjah saat ini 287 anak dengan staf pengajar sebanyak 34 orang. Jumlah siswa ini, seharusnya bisa lebih banyak lagi bila penerimaan siswa baru tidak dibatasi hanya dua kelas.

Pembatasan dilakukan karena keterbatasan keuangan untuk setiap tahun  membangun ruang kelas baru.

Biaya masuk siswa baru di MINU Hijjah memang tidak murah. Namun, tetap saja dana yang masuk tidak cukup untuk membangun ruang kelas seperti yang dibutuhkan.

Akhirnya, IAINU-lah yang mengambil peran memecahkan persoalan tersebut. Yakni, dengan meminjamkan beberapa ruang kuliah dan pada 2022 membangunkan gedung baru dua lokal.

Desain gedung baru itu dua lantai. Namun, karena keterbatasan anggaran di IAINU, akhirnya dicicil satu lantai terlebih dahulu.

Itu pun masih menyisakan utang yang belum terbayar. Hehehe…. (ds)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img

Terpopuler

spot_img

Artikel Terbaru

spot_img
spot_img