TUBAN – Dikabulkannya permohonan kegiatan kampanye partai politik (parpol) di sekolah oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi dua mata pisau bagi lembaga pendidikan.
Jika aturan tersebut benar-benar diterapkan, maka sekolah akan terbebani tugas baru, yakni berurusan dengan politik. Sedangkan sekolah tidak bisa menolak.
Bagi sebagian lembaga pendidikan, kondisi ini cukup mengkhawatirkan. Sebab, hampir pasti kegiatan kampanye di sekolah akan mengganggu kegiatan belajar mengajar siswa.
Sementara di sisi lain, calon pemilih pemula jenjang SMA adalah ceruk suara bagi partai politik.
Mengacu pasal 280 ayat 1 huruf H Undang-Undang No mor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjelaskan bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas.
Artinya, kampanye dapat dilakukan di sekolah atas izin penanggung jawab atau pihak berwenang seperti kepala sekolah hingga kepala disdik.
Dikonformasi terkait hal tersebut, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur wilayah Bojonegoro–Tuban Adi Prayitno mengatakan, hingga kini belum ada petunjuk teknis (juknis) atau aturan terkait kampanye di sekolah yang diterima institusinya.
Sehingga, kata dia, pihak sekolah diimbau untuk hati-hati jika ada bakal calon yang menawarkan kampanye ke sekolah.
‘’Masih tunggu dengar aturan dari Disdik Jatim, hingga sekarang belum ada aturan (yang memperbolehkan kampanye di sekolah, Red) tersebut,’’ katanya kepada Jawa Pos Radar Tuban.
Jika nantinya aturan kampanye di sekolah tersebut benar-benar diterapkan, terang Adi—sapaan akrabnya, yang berhak memberi izin adalah Disdik Provinsi Jawa Timur.
Untuk saat ini, mantan Kacabdin Pendidikan Nganjuk itu meminta sekolah lebih berhati-hati dan tetap menjaga profesionalitas dalam mengajar.
‘’Tugas utama lembaga pendidikan tetap mencerdaskan peserta didik, terkait aturan di luar itu sepenuhnya menunggu arahan pimpinan di Disdik Jatim,’’ ungkap dia. (yud/tok)