Google doodle merayakan kapal pinisi yang ditetapkan menjadi warisan budaya dunia hari ini (7/12) tepat enam tahun lalu.
“Doodle ini merayakan pinisi – alat layar tradisional Indonesia yang digunakan pada kapal-kapal yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu,” tulis Google di lamannya, Kamis (7/12).
“Terinspirasi dari gaya tali-temali Eropa, mereka menyadari bahwa dengan menghilangkan tiang buritan tengah, kapal dapat melaju lebih cepat – sebuah keuntungan besar untuk mengangkut kargo dan manusia. Desain pinisi yang megah menampilkan lambung besar yang menggantung di bagian depan kapal” kata Google.
Pada 7 Desember 2017, UNESCO memutuskan bahwa seni pembuatan kapal pinisi dari Sulawesi Selatan terpilih sebagai Warisan Budaya Tak Benda atau Intangible Cultural of Humanity, dan menjadi penghargaan pertama di dunia maritim internasional. Kapal Pinisi Indonesia disahkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia di Paris, Prancis.
Dilansir dari laman Kemenparekraf, kapal pinisi ada sejak tahun 1500-an di Indonesia dan sering digunakan oleh pelaut Konjo, Bugis, hingga Mandar asal Sulawesi Selatan untuk mengangkut barang.
Sedangkan menurut naskah kuno Lontarak I Babad La Lagaligo,
kapal pinisi pertama kali dibuat pada abad ke-14 oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.
Dalam perjalanan pulang kapalnya dihantam gelombang dan terbelah tiga ke perairan Desa Ara, Tanah Lemo, dan Bira. Masyarakat ketiga desa itu lalu membangun kembali kapal ini dan dinamakan Pinisi.
Perahu pinisi sendiri menjadi cukup populer, tetapi komunitas perahu pinisi yang paling terkenal tetap berada di Sulawesi.
Pada 1906, para pelaut mulai membuat Kapal Pinisi modern dengan menerapkan gaya tali-temali Eropa.
Mereka menghilangkan tiang buritan di tengah kapal agar dapat melaju lebih cepat.
Pada tahun 1980-an, masyarakat mulai menambahkan mesin pada kapal tersebut.
Cetak biru pembuatan kapal secara resmi dicatat pada tahun 1990-an.
Seiring waktu, Kapal Pinisi semakin populer di kalangan masyarakat lokal dan dunia.
Warisan pembuatan perahu Sulawesi Selatan masih terus berlanjut. Saat ini, kapal tersebut menjadi pilihan utama untuk perjalanan memancing dan ekspedisi wisata, mulai dari Kepulauan Raja Ampat, Labuan Bajo, hingga yang terbaru kapal pinisi Kenzo di Danau Toba, Sumatra Utara.
Ciri khas kapal pinisi adalah penggunaan 7-8 layar, serta 2 tiang utama pada bagian di depan dan belakang kapal.
Selain itu, kapal tradisional Indonesia ini juga terbuat dari kayu. Umumnya ada empat jenis kayu yang digunakan untuk membuat kapal pinisi, yaitu kayu besi, kayu bitti, kayu kandole/punaga, dan kayu jati.
Kapal pinisi yang berbahan kayu merupakan kreasi asli Suku Bugis dan Suku Makassar yang bermukim di Sulawesi Selatan. Masyarakat dua suku ini memang terkenal sebagai pelaut yang tangguh dan cekatan. (*)
Google doodle merayakan kapal pinisi yang ditetapkan menjadi warisan budaya dunia hari ini (7/12) tepat enam tahun lalu.
“Doodle ini merayakan pinisi – alat layar tradisional Indonesia yang digunakan pada kapal-kapal yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu,” tulis Google di lamannya, Kamis (7/12).
“Terinspirasi dari gaya tali-temali Eropa, mereka menyadari bahwa dengan menghilangkan tiang buritan tengah, kapal dapat melaju lebih cepat – sebuah keuntungan besar untuk mengangkut kargo dan manusia. Desain pinisi yang megah menampilkan lambung besar yang menggantung di bagian depan kapal” kata Google.
Pada 7 Desember 2017, UNESCO memutuskan bahwa seni pembuatan kapal pinisi dari Sulawesi Selatan terpilih sebagai Warisan Budaya Tak Benda atau Intangible Cultural of Humanity, dan menjadi penghargaan pertama di dunia maritim internasional. Kapal Pinisi Indonesia disahkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia di Paris, Prancis.
Dilansir dari laman Kemenparekraf, kapal pinisi ada sejak tahun 1500-an di Indonesia dan sering digunakan oleh pelaut Konjo, Bugis, hingga Mandar asal Sulawesi Selatan untuk mengangkut barang.
Sedangkan menurut naskah kuno Lontarak I Babad La Lagaligo,
kapal pinisi pertama kali dibuat pada abad ke-14 oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.
Dalam perjalanan pulang kapalnya dihantam gelombang dan terbelah tiga ke perairan Desa Ara, Tanah Lemo, dan Bira. Masyarakat ketiga desa itu lalu membangun kembali kapal ini dan dinamakan Pinisi.
Perahu pinisi sendiri menjadi cukup populer, tetapi komunitas perahu pinisi yang paling terkenal tetap berada di Sulawesi.
Pada 1906, para pelaut mulai membuat Kapal Pinisi modern dengan menerapkan gaya tali-temali Eropa.
Mereka menghilangkan tiang buritan di tengah kapal agar dapat melaju lebih cepat.
Pada tahun 1980-an, masyarakat mulai menambahkan mesin pada kapal tersebut.
Cetak biru pembuatan kapal secara resmi dicatat pada tahun 1990-an.
Seiring waktu, Kapal Pinisi semakin populer di kalangan masyarakat lokal dan dunia.
Warisan pembuatan perahu Sulawesi Selatan masih terus berlanjut. Saat ini, kapal tersebut menjadi pilihan utama untuk perjalanan memancing dan ekspedisi wisata, mulai dari Kepulauan Raja Ampat, Labuan Bajo, hingga yang terbaru kapal pinisi Kenzo di Danau Toba, Sumatra Utara.
Ciri khas kapal pinisi adalah penggunaan 7-8 layar, serta 2 tiang utama pada bagian di depan dan belakang kapal.
Selain itu, kapal tradisional Indonesia ini juga terbuat dari kayu. Umumnya ada empat jenis kayu yang digunakan untuk membuat kapal pinisi, yaitu kayu besi, kayu bitti, kayu kandole/punaga, dan kayu jati.
Kapal pinisi yang berbahan kayu merupakan kreasi asli Suku Bugis dan Suku Makassar yang bermukim di Sulawesi Selatan. Masyarakat dua suku ini memang terkenal sebagai pelaut yang tangguh dan cekatan. (*)