Sudah satu bulan lamanya sejak akad nikah dilangsungkan, Husaeri dan Fatimah masih belum pernah melakukan hubungan badan layaknya suami-istri. Entahlah, rahasia yang awalnya tertutup rapi, diikuti banyak alasan dan pertimbangan membuat semuanya menjadi rumit. Bahkan untuk sekadar menyalurkan hasrat biologis sebagai seorang manusia normal sekalipun.
Padahal sebelumnya, keduanya adalah sepasang kekasih yang berhasil menjalin asmara selama empat tahun sejak berstatus mahasiswa hingga lulus bersama.
Meski hubungan asmara itu harus disembunyikan dari publik karena alasan yang tak bisa dijelaskan.
Bahkan, keduanya dielu-elukan sebagai sepasang kekasih paling romantis di kampus.
Bagaimana tidak, mempertahankan hubungan selama empat tahun bukanlah perkara mudah. Masalah yang sempat datang pun sudah tak terbilang berapa jumlahmya.
Apalagi, keduanya berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda.
Husaeri dari keluarga kaya raya, sementara Fatimah sebaliknya.
“Tapi kau itu adalah salah satu pejuang cinta yang berhasil loh, Ri,” ucap Fatih.
Sahabat akrab Husaeri yang sudah menjadi pegawai bank di dekat kampus.
Ia pula yang banyak menyaksikan bagaimana suka-duka hubungan Husaeri dan Fatimah.
“Halah, nggak juga kok,” jawab Husaeri dengan mimik wajah yang sudah bisa ditebak bagaimana suasana hatinya.
Tak lama dari itu, dua pesanan kopi hitam datang bersama pelayan kantin kampus yang sudah tak asing lagi bagi Husaeri dan Fatih. Namanya Davi.
“Monggo para tuan sekalian, dinikmati kopinya. Dan jangan lupa, disarankan sambil melihat adik-adik mahasiswi yang berseliweran. Siapa tahu ada yang cocok dan bisa diajak menjadi istri kedua,” ucap Davi sambil tersenyum renyah.
Ya, perkenalan antara Husaeri, Fatih, dan Davi berlangsung sejak Husaeri dan Fatih sudah berstatus mahasiswa tingkat akhir.
Lalu Davi masuk sebagai karyawan baru di kantin kampus.
Dan di kantin itu, Davi menjadi saksi bagaimana perjuangan Husaeri dan Fatih dalam menyusun skripsi.
Dari situlah keduanya mengenal Davi dan terus akrab hingga sekarang.
“Dasar, tetep aja kamu nih,” jawab Husaeri.
“Seharusnya, kamu nih yang cari. Jangan dipelihara tuh jomblo. Masak iya “punyamu” cuma dipakai buat buang air kecil aja,” timpal Fatih diikuti tawa yang semakin mengeras.
Davi tak berkutik. Status jomblo yang masih melekat membuat dirinya tak mampu memberikan perlawanan argumen pada dua pelanggan yang baru saja dilayaninya.
Dengan senyum seadanya, ia pun pamit pergi. Berusaha menahan malu.
Setelah Davi pergi, pikiran Husaeri masih belum tenang.
Ia ragu-ragu antara menceritakan masalahanya pada Fatih atau tidak. Mengingat ia tidak ingin disangka tidak bahagia bersama istrinya, disangka ada masalah, dan disangka hal-hal lain yang intinya tidak enak jika didengar banyak orang.
Ya, bukankah resiko menjadi makhluk sosial adalah harus kuat saat menerima kenyataan bahwa rahasia yang dibagikan pada teman dekat ternyata sudah bocor pada banyak orang?
Entah karena keteledoran teman, sengaja mengkhianati atau yang lain.
“Aku tahu, sepertinya kamu sedang menyimpan masalah. Ceritakan saja, Ri. Agar pikiranmu lebih tenang. Insyaallah saya termasuk orang yang mampu menjaga rahasia. Tapi jika kamu keberatan, tak masalah,” kata Fatih yang kemudian mengambil satu batang rokok dan membakarnya.
Husaeri menghela napas. Pikirannya seolah terbelah dua. 50 persen sepakat untuk bercerita, sedangkan 50 persen yang lain melarang untuk bicara.
Ya, di zaman sekarang, teman tidak bisa diberikan kepercayaan secara penuh.
Betapa banyak kasus rusaknya reputasi hanya karena keteledoran teman dalam menjaga rahasia.
Entah reputasi dalam dunia kerja, keluarga, ataupun yang lain.
Husaeri bertengkar dengan pikirannya sendiri.
Di satu sisi, ia tidak ingin apa yang dialaminya diketahui orang lain. Di sisi yang lain, ia juga butuh solusi, tempat bercerita, tempat mencurahkan keluh-kesah, dan seterusnya.
Sementara Fatih, sudah bisa menangkap kegelisahan Husaeri sejak beberapa detik yang lalu.
“Tapi ini rahasia loh ya. Cukup kita berdua saja yang tahu,” ucap Husaeri yang akhirnya memutuskan bercerita.
Kedua mata Fatih menatap Husaeri dengan serius.
Tampaknya, ia sedang berusaha mengukur sejauh mana kerahasiaan informasi yang akan disampaikan temannya ini.
“Santai, aman kok kalau sama aku,” balas Fatih dengan nada berusaha meyakinkan.
Husaeri mengambil jeda. Tatapannya mengelilingi sekitar. Memastikan bahwa benar-benar tidak ada orang yang sedang memata-matainya atau memasang alat perekam yang bisa membuat rahasia keluarganya bocor ke mana-mana.
“Jadi gini, sejak pertama kali menikah dengan Fatimah, aku masih belum pernah sama sekali berhubungan dengannya,” ucap Husaeri dengan sedikit terbata-bata. Malu.
Fatih tak langsung merespon. Sepertinya pernyataan Husaeri telah berhasil membuatnya tercengang selama beberapa detik.
“Loh iya ta? Kok bisa gitu?” Tanya Fatih dengan suara yang cukup kencang.
“Hush! Jangan rame-rame,” Husaeri menempelkan telunjuk di bibir.
Fatih langsung menjaga sikap. Ya, sikap spontanitas memang seringkali sulit dikendalikan.
“Setiap kali saya minta jatah, dia selalu beralasan agar aku tidak menyetubuhinya. Alasannya pun beragam, dan menurut saya agak aneh,” jelas Husaeri.
Fatih membenarkan posisi duduknya. Dalam bab hubungan seksual, Fatih memang paling bersemangat.
“Eh gimana itu? Tapi kamu nggak punya penyakit impoten kan?” Tanya Fatih spontan.
“He ngawur! Ya nggak lah,” Fatih tertawa lepas. Ya, sebagai teman akrab, mengucapkan hal-hal yang agak brutal memang bukanlah masalah bagi keduanya.
“Terus apa lagi alasannya?” Tanya Fatih yang sudah mengubah mimik wajahnya menjadi serius.
Hening menyelimuti suasana sejenak. Tampak lalu-lalang mahasiswa yang keluar-masuk kantin. Sebagian mata sempat menatap Husaeri dan Fatih.
Tapi keduanya tak menggubris.
“Pernah dia bilang sedang haid. Kalau masalah itu, aku tidak mempermasalahkan. Masalahnya, haid yang seringkali ia jadikan alasan sudah melewati batas hitungan pada umumnya,” papar Husaeri.
Fatih tak langsung merespon. Mimik wajahnya menunjukkan keseriusan.
Seperti ada sesuatu yang ia pikirkan. Entah itu apa. Husaeri menghela nafas sejenak.
Kedua tangannya kemudian mengambil rokok untuk yang kedua kalinya.
Ya, meski Husaeri sempat mengaku termasuk laki-laki yang tak terlalu banyak menghabiskan rokok, tapi kalau sudah tertimpa masalah, maka jangan tanyakan berapa batang rokok yang akan ia hisap. Bisa sampai habis sepuluh batang.
“Sebenarnya aku curiga pada istrimu,” ucap Fatih seketika. Dua matanya menyipit. Suaranya perlahan lirih. Seolah hendak menyampaikan sebuah rahasia yang tak seorang pun boleh tahu.
“Curiga bagaimana?” Tanya Husaeri cepat. Ia tidak ingin jawaban atas pernyataan “kecurigaan” itu menguap dan menghilang seketika.
“Tolong jangan mikir aneh-aneh,” tambah Husaeri.
Fatih tersenyum kecut. Ia tak sepenuhnya yakin hendak menyampaikan asumsi yang baru saja hinggap dalam kepalanya.
“Aku curiga istrimu sudah tidak perawan lagi,” ucap Fatih dengan nada sedikit terbata-bata. Ia takut menyinggung perasaan teman baiknya itu.
Tapi mau bagaimana lagi, ia juga tak mau temannya itu terus terperangkap dalam masalah yang cukup rumit.
“Yang benar saja, jangan ngawurr!” Balas Husaeri dengan nada agak meninggi.
Fatih menahan waktu sejenak. Ia tahu bahwa memang butuh bukti sebelum menuduh orang sembarangan.
“Sekarang begini, istrimu itu nggak mau berhubungan badan denganmu dalam jangka waktu yang tidak wajar. Alasannya pun aneh-aneh. Benar begitu kan?” Tanya Fatih yang mulai berani mendebat Husaeri.
“Iya, tapi kan bukan berarti istriku nggak perawan dong,” kilah Husaeri.
Dua detik berlalu begitu saja tanpa suara.
“Sekarang begini, coba kamu ingat-ingat bagaimana masa lalu istrimu itu. Dia itu tipikal perempuan yang punya banyak mantan, ia juga sering keluar malam bersama laki-laki yang katanya hanya sekadar teman. Sampai akhirnya kamu datang ke rumahnya untuk melamar setelah berani membantah perintah kedua orang tuamu. Bukankah ibumu sudah punya firasat kalau istrimu itu bukan perempuan baik-baik kan?” Husaeri terdiam.
Tapi apa yang baru saja disampaikan temannya itu memang benar adanya. Belum lag
ocehan tetangga yang mengatakan bahwa Fatimah mau dinikahi karena menginginkan harta dari keluarga Husaeri.
Tapi karena rasa cinta, Husaeri melawan keadaan dan tetap menikahi Fatimah.
“Terus aku harus bagaimana?” Tanya Husaeri melembut setelah sebelumnya tersulut emosi.
Fatih tak langsung menjawab. Tapi dalam kepalanya, ia sedang mencari solusi untuk masalah yang dialami temannya itu.
“Kamu harus riset dan cari bukti tentang keperawanan istrimu. Atau jika tidak, kamu harus memaksanya untuk berhubungan badan denganmu. Dengan begitu kamu bisa tahu apakah istrimu masih perawan atau tidak,” jawab Fatih.
“Ya, aku tahu harus melakukan apa,” ucap Husaeri dengan mantap. (*)
Penulis: Kholil Rohman, pegiat literasi berasal dari Sumenep. Tulisannya dimuat di berbagai media. Saat ini bermukim di Kota Malang dan menjadi Murabbi di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.