27.4 C
Tuban
Saturday, 23 November 2024
spot_img
spot_img

Stigma Perempuan Lajang

spot_img

MOMEN pergantian tahun selalu menjadi momok para lajang. Pertanyaan kapan menikah sering kali lebih mengagetkan dari suara petasan.

Pernikahan masih saja menjadi achievement bagi masyarakat Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan.

Mereka sering kali di kejar pertanyaan serupa: Kapan nikah?

Jika dirasa sudah berumur— dalam standar sosial yang berlaku, seorang perempuan yang masih melajang sering dianalogikan sebagai bunga yang sudah layu, hingga dilabeli perawan tua.

Hal ini dikarenakan masyarakat yang masih melanggengkan budaya patriarki—di mana perempuan punya “masa kadaluarsa”.

Lebih jauh dari itu, perempuan yang tak kunjung menikah juga dianggap “tidak laku”— seakan seperti barang jualan.

Namun, hal yang demikian rumit tersebut tidak berlaku bagi laki-laki lajang yang sudah memasuki usia matang.

Tidak ada istilah perjaka tua atau “tidak laku” bagi seorang lelaki yang sudah “berumur lebih”.

Perspektif tersebut, tentu sangat menyesatkan.

Perempuan dianggap sebagai objek dan barang. Padahal, perempuan memiliki status yang sama dengan laki-laki sebagai subjek.

Objektivitas terhadap perempuan lajang memiliki dampak negatif bagi perempuan. Menurunnya ketidakpercayaan diri perempuan, hingga menyebabkan tekanan sosial.

Baca Juga :  IKN: Wajah Baru Kesenjangan ala The Capitol

Masyarakat sudah salah dalam medefinisikan dan menstandarkan kesempurnaan perempuan hanya berdasarkan pernikahan.

Perempuan lajang selalu disalahpahami dan dituntut untuk segera menikah, tanpa tahu kondisi dan kebutuhan mereka.

Dalam buku Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan Karya Ester Lianawati mengatakan bahwa kehidupan lajang tidak membuat perempuan tertekan.

Sebaliknya, membuat kehidupan lebih memuaskan, leluasa dengan banyak mimpi, dan hal-hal yang menjadi prioritas perempuan.

Sebenarnya, perempuan tidak tertekan oleh kelajanganya, tapi tertekan oleh pandangan dan perlakuan orang-orang terkait status kelajangan (Lianawati, 2020).

Menjadi Lajang yang Bahagia
Lajang dan bahagia adalah fenomena yang merepresentasikan bahwa melajang adalah pilihan.

Gaya hidup yang semakin bertambah persentasenya, baik di Asia maupun di negara-negara barat.

Di China misalnya, perempuan lajang mengabadikan dan membagikan part slice of lifenya di media sosial dengan penuh bahagia dan percaya diri.

Hal itu selaras dengan kehidupan yang berdaya dari segi ekonomi, karir, dan pendidikan.

Mereka berhasil menggeser stereotipe bahwa perempuan lajang cenderung kesepian dan minim bahagia.

Baca Juga :  Potensi Alam Tuban untuk Siapa?

Sebab, kesepian merupakan situasi yang lumrah terjadi pada manusia.

Sedangkan kebahagian, adalah kondisi yang bisa kita ciptakan dengan penuh kesadaran.

Sebab, pernikahan bukan satu-satunya pilihan perempuan dewasa.

Perempuan dewasa masih bisa terus belajar, bekerja, menggali potensi, dan melakukan hal-hal besar dalam hidupnya.

Seorang profesor ilmu sosial dari London School of Economics, Paul Dolan memvalidasi terkait kebahagian perempuan lajang—yang katanya, perempuan lajang dan tidak memiliki anak menjadi subkelompok paling bahagia dalam populasi perempuan saat ini.

Dolan yang turut menulis buku bertajuk Happy Ever After (2019) beropini bahwa pria lebih diuntungkan dalam pernikahan.

Sedangkan perempuan lebih bahagia saat belum menikah. Terlepas dari beragam penelitian terkait perempuan lajang, sudah sepatutnya kita mendukung segala bentuk pilihan perempuan.

Hemat penulis, melajang adalah hal yang menyenangkan—sebagai perjalanan mengenal diri sendiri sembari terus memaksimalkan potensi, dan mencoba hal-hal baru. Pasalnya, baik perempuan maupun laki-laki memiliki porsi yang sama untuk menentukan kapan akan menikah, dengan siapa, dan usia berapa. (*)

MOMEN pergantian tahun selalu menjadi momok para lajang. Pertanyaan kapan menikah sering kali lebih mengagetkan dari suara petasan.

Pernikahan masih saja menjadi achievement bagi masyarakat Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan.

Mereka sering kali di kejar pertanyaan serupa: Kapan nikah?

Jika dirasa sudah berumur— dalam standar sosial yang berlaku, seorang perempuan yang masih melajang sering dianalogikan sebagai bunga yang sudah layu, hingga dilabeli perawan tua.

Hal ini dikarenakan masyarakat yang masih melanggengkan budaya patriarki—di mana perempuan punya “masa kadaluarsa”.

- Advertisement -

Lebih jauh dari itu, perempuan yang tak kunjung menikah juga dianggap “tidak laku”— seakan seperti barang jualan.

Namun, hal yang demikian rumit tersebut tidak berlaku bagi laki-laki lajang yang sudah memasuki usia matang.

Tidak ada istilah perjaka tua atau “tidak laku” bagi seorang lelaki yang sudah “berumur lebih”.

Perspektif tersebut, tentu sangat menyesatkan.

Perempuan dianggap sebagai objek dan barang. Padahal, perempuan memiliki status yang sama dengan laki-laki sebagai subjek.

Objektivitas terhadap perempuan lajang memiliki dampak negatif bagi perempuan. Menurunnya ketidakpercayaan diri perempuan, hingga menyebabkan tekanan sosial.

Baca Juga :  Baju Politik

Masyarakat sudah salah dalam medefinisikan dan menstandarkan kesempurnaan perempuan hanya berdasarkan pernikahan.

Perempuan lajang selalu disalahpahami dan dituntut untuk segera menikah, tanpa tahu kondisi dan kebutuhan mereka.

Dalam buku Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan Karya Ester Lianawati mengatakan bahwa kehidupan lajang tidak membuat perempuan tertekan.

Sebaliknya, membuat kehidupan lebih memuaskan, leluasa dengan banyak mimpi, dan hal-hal yang menjadi prioritas perempuan.

Sebenarnya, perempuan tidak tertekan oleh kelajanganya, tapi tertekan oleh pandangan dan perlakuan orang-orang terkait status kelajangan (Lianawati, 2020).

Menjadi Lajang yang Bahagia
Lajang dan bahagia adalah fenomena yang merepresentasikan bahwa melajang adalah pilihan.

Gaya hidup yang semakin bertambah persentasenya, baik di Asia maupun di negara-negara barat.

Di China misalnya, perempuan lajang mengabadikan dan membagikan part slice of lifenya di media sosial dengan penuh bahagia dan percaya diri.

Hal itu selaras dengan kehidupan yang berdaya dari segi ekonomi, karir, dan pendidikan.

Mereka berhasil menggeser stereotipe bahwa perempuan lajang cenderung kesepian dan minim bahagia.

Baca Juga :  Surat Terbuka untuk Bung Hatta

Sebab, kesepian merupakan situasi yang lumrah terjadi pada manusia.

Sedangkan kebahagian, adalah kondisi yang bisa kita ciptakan dengan penuh kesadaran.

Sebab, pernikahan bukan satu-satunya pilihan perempuan dewasa.

Perempuan dewasa masih bisa terus belajar, bekerja, menggali potensi, dan melakukan hal-hal besar dalam hidupnya.

Seorang profesor ilmu sosial dari London School of Economics, Paul Dolan memvalidasi terkait kebahagian perempuan lajang—yang katanya, perempuan lajang dan tidak memiliki anak menjadi subkelompok paling bahagia dalam populasi perempuan saat ini.

Dolan yang turut menulis buku bertajuk Happy Ever After (2019) beropini bahwa pria lebih diuntungkan dalam pernikahan.

Sedangkan perempuan lebih bahagia saat belum menikah. Terlepas dari beragam penelitian terkait perempuan lajang, sudah sepatutnya kita mendukung segala bentuk pilihan perempuan.

Hemat penulis, melajang adalah hal yang menyenangkan—sebagai perjalanan mengenal diri sendiri sembari terus memaksimalkan potensi, dan mencoba hal-hal baru. Pasalnya, baik perempuan maupun laki-laki memiliki porsi yang sama untuk menentukan kapan akan menikah, dengan siapa, dan usia berapa. (*)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img

Terpopuler

spot_img

Artikel Terbaru

spot_img
spot_img