Purnama bernasib sial malam itu. Mendung menggelayut tepat di depan wajahnya. Hitam dan tebal. Sementara orang-orang yang berjajar di sepanjang tubuh malam tengah resah dalam penantian. Mereka termangu-mangu di beranda, sebagian lagi melepas lamun panjang, berharap penantian segera usai sambil terus berusaha membunuh waktu.
SEORANG dari mereka mendongak ke langit memandang gumpalan awan hitam tanpa berkedip.
Lama dia pose begitu. Baru berhenti setelah leher dan matanya tak kuat lagi berada di posisi yang sama sekian lama.
Mereka yang duduk di beranda acuh dengan kejadian itu.
Wajah-wajah cemas terpampang antara harap dan putus asa.
Ja’far tokoh yang akan kita ceritakan adalah salah satu dari orang yang tengah berjajar di tubuh malam itu.
Malam itu, Ja’far sedang berpikir keras—antara pergi atau menunggu seperti yang lain.
Sebagai pemuda berpendidikan modern dia kadang memiliki pikiran berbeda dengan orang-orang di sekitarnya.
Bisa dibilang dia mandiri dalam berpikir, tidak serta merta turut arus dan pendapat umum.
Tentu malam ini pengecualian. Sinar purnama itu sangat penting untuk siapa pun, semua orang termasuk Ja’far.
Seluruh warga percaya kalau malam ini gagal melihat purnama, maka akan sial setahun.
Entah sejak kapan keyakinan itu ada dan dimulai. Yang pasti, semua orang terlanjur yakin akan hal ini.
Semua orang, tak peduli dengan latar belakang apa pun dan status sosial bagaimanapun akan cemas bila sampai malam ini tidak bertemu sinar purnama.
****
Mimpi adalah rumput liar. Tumbuh menjalar tanpa arah, berakar serabut dan memasuki ruang terdalam di hatinya.
Mimpi semacam itulah yang memenuhi hati Ja’far, lelaki muda yang menghabiskan masa pendidikanya di kota besar.
Dia gagap saat kembali ke desa. Orang-orang seperti asing untuknya. Juga dengan pikiran-pikiran mereka.
Untuk Ja’far, berpikir itu harus besar. Hidup terlalu singkat untuk memikir kan hal-hal kecil. Remeh temeh.
Saat pertama kali dia memasuki kembali rumah masa kecilnya setelah sekian lama, dalam benaknya hanya ada satu hal, bagaimana cara merubah desa tempatnya kelahiranya itu menjadi tempat yang luar biasa.
Berminggu Ja’far merenung—mempelajari dan memantau situasai. Ada banyak hal yang dia temukan.
Potensi alam sampai budaya lokal masyarakat dia catat baik-baik. Mulailah sebuah rencana besar disusun. Rencana pemajuan desa.
Begitu dia memberi judul kertas kerjanya. Berbagai kemungkinan dan cara mewujudkannya dia sajikan rapi dalam lembar-lembar rancangan tersebut.
Hari ketiga puluh sejak pertama pulang kampung dinilai saat yang tepat untuk memulai segala yang sudah dicanangkan.
Hari itu Selasa, ja’far memutuskan untuk kebalai desa menemui kades. Sangat yakin langkahnya. Membawa sebendel rencana kerja lengkap dengan nilai anggaran dananya.
Setengah jam menunggu kades keluar dari ruang rapat. Basa-basi sebentar, mereka kemu dian terlibat pembicaraan serius.
Ja’far dengan ilmu kampusnya mempresentasikan gagasanya dengan panjang lebar. Kades dan beberapa perangkat desa tampak manggut-manggut.
Ekspresi mereka jelas menunjukan kekaguman pada ide-ide brilian Ja’far. Sekertris desa bahkan sempat beberpa kali bertanya sambil serius menujukan ketertarikan.
Satu jam lebih Ja’far mengurai ide-idenya dengan gamblang. Menjelaskan setiap bagian dengan rinci beserta kendala dan kemungkinannya.
Sampai pada bagian utama Ja’far berhenti sejenak. Ada sedikit ragu di matanya. Sebentar menghela napas, dia melanjutkan.
Menyaksikan Ja’far sedikit gelisah kades dan jajaranya terbakar penasaran, apa yang hendak pemuda itu sampaiakan? Kertas kesekian dibuka oleh Ja’far dengan nada berat meyakinkan diri, dia mulai berucap.
“Warga desa harus kita bawa keluar dari mitos, baik mitos pertanian, perkawinan, atau mitos hubungan antarwarga. Hanya dengan demikian kita dapat menciptakan masyarakat dengan pikiran logis dan maju.”
Sekertaris desa menyimaknya tanpa berkedip. Kretek dihisapnya dalam-dalam.
“Mas Ja’far, ide mas untuk bendungan, dan pertanian kami sepenuhnya sepakat, tapi untuk merubah adat istiadat warga yang Mas Ja’far katakan sebagai mitos tersebut apa tidak berlebihan?”
“Iya, Mas Ja’far, kita sudah hidup dengan adat istiadat tersebut ratusan tahun, dari generasi kakek buyut kami. Dari kakek buyut Mas Ja’far juga,” imbuh Kades.
“Mitos yang dipelihara hanya akan menghasilkan masyarakat yang tidak mampu berpikir, Pak. Mereka akan selalu melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Hal-hal semacam ini akan menggiring mereka kemunduran. Tidak maju dan selalu tertinggal.”
Berapi-api Ja’far berusaha membela pendapatnya. Sementara aparatur desa mulai tersinggung dengan sikap anak muda yang dianggap tidak sopan tersebut.
Perdebatan berlangsung alot hingga hampir satu jam.
Kades yang terlihat habis kesabaran menghadapi Ja’far mulai berucap dengan nada tinggi.
“Mas Ja’far. Sampean boleh saja berpendidikan tinggi. Keluaran sekolah terbaik di negeri ini. Tapi bila menghargai warisan leluhur saja tidak bisa, maaf desa kami tak butuh orang semacam itu.”
Darah muda Ja’far mendidih mendengar itu. Matanya memrah dan dia berteriak.
“Dipimpin oleh orang-orang kolot begini, selamanya desa ini tak akan bisa maju. Akan selalu tertinggal dan miskin.”
***
Malam itu, bulan sama sekali tidak terlihat. Wajah malam semakin suram. Orang-orang yang duduk di sekujur tubuh malam sekarang semakin cemas dan gelisah.
Hanya Ja’far yang tampak tidak.
Dalam benaknya, dia ingin menantang semua orang.
Berharap bulan benar-benar tak muncul dan membuktikan besok tidak akan terjadi apa-apa.
Malam hampir habis, jarum jam pelan merangkak ke angka dua belas.
Orang-orang yang tadinya cemas sekarang telah menjadi kalut.
Beberapa wanita bahkan tak sanggup menahan tangis.
Awan menghitam, semakin hitam. Ja’far semakin bersemangat.
Malam ini adalah pembuktian untuknya kalau kecemasan orang-orang hanyalah mitos belaka.
Jauh dibatas langit tiba-tiba kilat membelah gelap, diikuti angin kencang dan hujan menyergap cepat.
Malam cemas berubah menjadi ketakutan. Orang-orang berteriak histeris. Ja’far tersenyum. Dalam hati dia berkata, “ini kan hanya hujan.”
Angin disertai guyur hujan semakin kencang dan guyur hujan juga demikian. Suara kentongan terdengar dari kejauhan
“Banjir…… Banjir…… Banjir bandang……. Banjir bandang………” Teriak orang berlari dari arah sungai.
Malam itu desa dikepung banjir bandang. Rumah-rumah semi permanen ambruk, rumah permanen tenggelam.
Warga tak sempat berlindung, tak sempat mengungsi.
Ja’far adalah satu dari ratusan warga yang tak sempat melarikan diri.
Esok hari, saat petugas penanggulangan bencana dan reporter TV datang ke desa tersebut, semua telah porak poranda.
Mayat-mayat mengambang antara barang-warga. Tak terkecuali mayat Ja’far.
Isi rumah Ja’far juga porak poranda barang-barang tenggelam dan sebagian mengapung. Juga sebuah ijazah bertulis: Ja’far lulus cumloude. (*)