SEKOLAH ramah anak menjadi gerakan penting dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan sesuai derap zaman yang melaju sangat cepat—bersama deru laju perkembangan teknologi informasi.
Apakah selama ini sekolah banyak yang tidak ramah terhadap anak, sehingga perlu ada gerakan sekolah ramah anak?
Apakah begitu buruknya wajah pendi dikan kita, sehingga sesuatu yang seharusnya menjadi kewajaran dan keharusan, tetapi dibuat sebuah gerakan yang penting?
Paradigma pendidikan tentu akan terus bergerak sesuai zaman. Didiklah anakmu sesuai zamannya, kata Ali Bin Abi Thalib.
Ungkapan itu benar, sudah diucapkan lebih dari seribu tahun yang lalu. Namun, sering kali dalam praktiknya, pendidik lupa dengan konsep tersebut.
Guru sering kali ingin mendidik muridnya seperti dulu sang guru dididik oleh gurunya, 20 tahun lalu atau bahkan 30 tahun lalu.
Padahal, zaman telah berubah, bahkan rasanya telah terjadi lompatan besar dalam pola pemikiran dan gaya hidup masyarakat.
Harus diaku tradisi pemikiran “abad pertengahan” (meminjam istilah Bobby De Porter) masih mewarnai pendidikan kita, pendidikan yang muram—satu arah saja.
Guru mengajar anak harus mendengarkan, jika tidak akan mendapatkan hukuman, baik secara fisik maupun psikis.
Pembelajaran berbasis hafalan dan pengetahuan, sebagaimana yang disebut Paulo Freire pendidikan gaya bank—pendidikan hanya proses menabung ingatan, bukan berbasis pada siswa mengalami dan terlibat aktif dalam dialektika.
Sehingga, kelas menjadi penjara bagi jiwa-jiwa yang ingin merdeka.
Tidak mudah memang menjadi guru dalam dinamika zaman yang semakin cepat. Gaya hidup siswa yang cenderung pragmatis.
Mudah menjelaskan teori pendidikan learning it’s fun (pendidikan itu menyenangkan), pendidikan itu membebaskan atau memerdekakan jiwa, pendidikan itu sebagai dialektika ruhani siswa dan guru.
Namun, pada saat mengimplementasikannya sangat sulit, karena peserta didik membawa kebiasaan bahkan juga permasalahan dari rumahnya, permasalahan kadang disimpan dalam otak dan dadanya.
Lalu bagaimana ia bisa belajar dengan gembira atau belajar dengan penuh gairah jika otak dan dadanya penuh masalah?
Sekolah ramah anak adalah penerjemahan dari konsep pendidikan berbasis pada peserta didik, bukan lagi berbasis pada tujuan yang dipaksakan.
Sekolah ramah anak bisa diwujudkan jika ada orientasi pemikiran dari pihak yang terlibat di sekolah, seperti kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan.
Pertama, adanya kesadaran peserta didik adalah pribadi yang de wasa sesuai tahapan usia dan pemikirannya.
Pendidik sering kali melihat peserta didik dengan pemikiran sang pendidik itu sendiri, bahkan menuntut peserta didik mempunyai pemikiran seperti dirinya.
Padahal, pengetahuan dan pengalaman sang pendidik tentu sangat berbeda dengan peserta didik.
Dalam bahasa yang sederhana, peserta didik juga ingin difahami dan dihargai pemikiran dan sikapnya.
Kedua, adanya penghormatan kepada peserta didik sebagai pribadi yang dilahirkan untuk masa depan.
Dunia pendidikan kita sering kali menganggap peserta didik hanya objek yang harus diubah, seperti tanah lempung yang diubah menjadi berbagai jenis produk.
Sering kali dilupakan bahwa peserta didik adalah makhluk jenius dalam bakat dan minatnya.
Tradisi penyeragaman terhadap semua peserta didik tentu akan berakibat buruk, peserta didik yang tidak bisa matematika dianggap “bodoh” dan dijadikan bahan perundungan.
Namun peserta didik yang pintar matematika bisa jadi dianggap bodoh pada saat olahraga.
Penghormatan terhadap siswa akan melahirkan pembelajaran yang lebih dialogis, bukan hanya satu arah saja.
Pendidikan yang berbasis pada sekolah ramah anak memang sangat dibutuhkan, karena itulah banyak pihak menginginkan semua sekolah menerapkan prinsip ramah anak, orang tua menuntut agar anaknya di sekolah diberlakukan dengan ramah, bahkan saat melanggar aturan pun tetap berharap diber lakukan dengan ramah.
Sering kali orang tua protes, bahkan melaporkan ke polisi jika anaknya diberlakukan tidak ramah saat melanggar aturan.
Tekanan dari berbagai pihak, sering kali menjadikan sekolah gamang dalam melangkah, jangan-jangan nanti kalau melangkah akan membawa masalah baik secara sosial atau bahkan secara hukum.
Ketika sekolah gamang menerapkan aturan yang dibuatnya sendiri karena takut dikatakan menjadi sekolah yang tidak ramah anak, maka yang terjadi sekolah menjadi formalitas saja tanpa ada unsur pendidikan yang sejati, anak-anak terdidik melanggar aturan karena tidak akan mendapat saksi apa pun.
Sekolah yang menghukum atau mengeluarkan peserta didik entah mengapa diidentikkan dengan sekolah yang tidak ramah.
Padahal, hukuman dan sanksi yang mungkin keras bisa digunakan untuk menegakkan, atau setidak-tidaknya menjaga iklim ramah anak pada sekolah tersebut.
Di sinilah kita perlu redefinisi sekolah ramah dalam bingkai pendidikan dalam prespektif masa depan.
Beberapa waktu lalu viral berita perundungan di sekolah Binus School Serpong, sekolah dengan label sekolah internasional.
Kasus itu viral karena melibatkan anak artis dan di sekolah yang label internasional.
Apakah ketika sekolah yang mengalami kasus yang serupa dengan Binus, mengambil keputusan mengeluarkan anak tersebut lantas bisa disebut sekolah yang tidak ramah anak?
Sikap tegas dalam menegakkan hukuman, bisa jadi merupakan usaha untuk menciptakan iklim yang ramah anak di sekolah walaupun pasti itu bukan satu-satunya jalan.
Sekolah ramah anak adalah impian semua pihak, terutama bapak/ibu guru yang setiap hari harus menjaga sikap ramah diantara peserta didik yang terkadang tidak ramah terhadap proses pembelajaran.
Guru pun harus bersikap ramah di antara tugas-tugas administrasi yang sering kali tidak ramah.
Sekolah ramah anak adalah sekolah yang mengutamakan tumbuh kembang peserta didik, sehingga peserta didik belajar dengan gembira dan bapak/ibu guru mengajar dengan bahagia.
Dan suasana seperti itu terkadang harus dibangun dalam sikap tegas menegakkan peraturan-peraturan sekolah.
Semoga kita menuju ke sana, peserta didik gembira dan bapak/ibu guru bahagia. (*)