Jatuh hati pada ”pandangan pertama” begitu melihat tanaman yang estetik, Abdullah Alamudin totalitas membudidayakan tanaman hias. Bukan sembarang tanaman hias yang ditanam di halaman depan rumahnya, Desa Beron, Kecamatan Rengel. Hanya tanaman langka dengan harga fantastik yang dipilih. Khususnya Platycerium yang familiar dengan nama paku tanduk rusa.
——————————————
ADIN, panggilan akrabnya memulai mengoleksi tanaman dari keluarga pakis tersebut pada awal 2021. Itu seiring populernya tanaman hias di tengah merebaknya pandemi Covid-19 di tanah air. Kepada Jawa Pos Radar Tuban, pria 31 tahun ini mengaku ikut-ikutan jatuh hati setelah melihat tampilan beragam jenis tanaman hias di media sosial (medsos). Khususnya tanaman yang menempel pada media nontanah.
‘’Orang-orang bisa dengan beragam pilihan, saya khusus menyukai Platycerium,’’ tuturnya.
Adin menerangkan, Platycerium termasuk unik sekaligus langka. Daunnya ada yang infertil atau menempel media tanam dan fertil atau menjuntai. Selama dua tahun mendalami tanaman tersebut, kata dia, Platycerium hanya memiliki 18 spesies. Dari jumlah tersebut, lima spesies di antaranya dari Indonesia. Selebihnya dari luar negeri. Platycerium paling populer di tanah air berspesies Willinckii yang asli berasal dari Jawa.
‘’Spesies Willinckii adalah Platycerium pertama yang saya miliki,’’ ujar pria kelahiran 4 November 1991 itu.
Setelah mengetahui Platycerium memiliki 18 spesies, pria berkacamata ini mengaku tergerak untuk mencari. Setelah melalui proses yang cukup panjang, dia berhasil mendapatkan seluruhnya. Salah satu proses pencarian tersebut dibocorkan kepada wartawan koran ini. Adin mengaku sejak 2021, dia aktif bergerilya menghubungi para kolektor Platycerium yang eksis secara online. Baik di dalam maupun di luar negeri.
Bahkan, untuk transaksi jual-beli, Adin mengaku menghubungi secara virtual. Sebagian besar kolektor dari dalam negeri tersebar di Malang, Bali, Bogor, dan Jakarta. Sementara dari luar negeri, Jepang, Thailand, dan Taiwan.
”Kecintaan itu membuat saya intens berkomunikasi dan bertransaksi dengan mereka,’’ imbuhnya.
Alumni SMK Telkom Darul Ulum Jombang ini melanjutkan, Platycerium yang paling dicari kolektor luar negeri adalah yang daun fertil-nya berwarna putih. Platycerium tersebut merupakan hasil hybrid atau mutasi. Genetikanya tidak riil, tapi telah dimodifikasi para botanis di negara Jepang dan Thailand.
”Botanis Indonesia belum ada yang bisa,” imbuhnya.
Adin mengaku dirinya juga memiliki Platycerium yang fertil-nya berwarna putih tersebut. Untuk mendapat koleksi ”gilanya” tersebut, dia mengaku membeli dari kolektor Jepang dan Taiwan. Harga masing-masing tanaman berspora tersebut Rp 18 juta. Tanaman tersebut, kata pria penyuka kopi ini, spesiesnya Willinckii. Statusnya indukan. Artinya, sudah bisa beranak atau berkembangbiak dalam hitungan bulan.
‘’Anaknya nanti keluarnya sama. Daun fertil-nya berwarna putih juga,’’ imbuhnya.
Adin mengemukakan, akibat kelangkaannya, Platycerium dengan daun fertil berwarna putih tersebut harganya cukup fantastis. Paham supermahalnya ”tanaman emas” tersebut, Adin begitu intens merawat indukan Willinckii-nya agar tetap sehat dan berkembangbiak.
Dia mengatakan, kelak setelah Platycerium spesies Willinckii miliknya beranak akan diberi nama Willinckii Beron. Tambahan Beron disematkan untuk memberikan tetenger kampung atau tempat tinggal dirinya membudidayakan.
Untuk Platycerium jenis lainnya, Adin mengaku mendapatkan dari kolektornya dengan harga Rp 10 juta.
Pria yang pernah bekerja di perusahaan media massa ini menyampaikan, meski nilai jual tanaman khas tropis tersebut cukup fantastis, dia tidak terlalu mengomersilkan. Artinya, dia mentransaksikan koleksinya sesuai stok saja. Kalau ada dan ingin menjual, dia baru melepas Platycerium tersebut kepada kolektor lain.
”Kalau tidak ingin ya saya pertahankan,” ujar pengusaha tambang tersebut.
Lebih lanjut Adin mengatakan, mengoleksi Platycerium memiliki risiko tinggi. Kalau perawatannya tidak menguasai, maka pertumbuhan tanaman bisa terganggu, bahkan bisa mati. Dia mencontohkan menjaga kelembapan media tanam dan daunnya.
”Tanaman ini tidak boleh terlalu banyak air atau terlalu sedikit,” ujarnya.
Sepanjang merawat Platycerium, Adin mengaku begitu jeli mengecek media tanamnya. Dia mengatakan, media ini harus sesuai dengan jenis tanamannya. (sab/ds)