Umi Kulsum, Kepala Seksi Pendidikan Madrasah (Kasipendma) Kementerian Agama (Kemenag) Tuban memiliki cara tersendiri dalam memaknai Hari Kartini. Baginya, yang patut menjadi teladan dari semangat emansipasi wanita yang diperjuangkan Kartini adalah semangat belajar yang tidak berbatas. Kartini tidak hanya belajar tentang Islam secara kaffah, tapi juga ilmu-ilmu peradaban modern.
———————————————
‘’SEMANGAT belajar Kartini sangat tinggi dan istiqamah. Dengan ilmu-ilmu yang dikuasai, Kartini memuliakan martabatnya, sekaligus martabat kaum perempuan. Cara itulah yang patut diteladani,’’ ujarnya kepada Jawa Pos Radar Tuban kemarin (20/4).
Perempuan yang akrab disapa Umi itu meneruskan, dari sekian hal tersedia di dunia, ilmu adalah hal paling ideal yang membuat martabat perempuan mentereng. Dibandingkan dengan kekayaan dan kecantikan, menurutnya ilmu lebih utama. Namun, dia menegaskan, ilmu tetap wajib didampingi akhlak. Ilmu yang tidak berdampingan dengan akhlak bisa menjerumuskan pemiliknya ke jurang kekeliruan. Tentu, hal semacam itu sangat sayang jika terjadi.
Perempuan yang tinggal di Desa Sumurgung, Kecamatan Plumpang ini menyebutkan, sebab ilmu membutuhkan akhlak sebagai pendampingnya, Umi sengaja tekun belajar ilmu Islam. Menurutnya, ilmu agama amat kompleks. Pengetahuan disipliner dan akhlak berpadu menjadi satu. Mulai urusan dunia hingga perkara akhirat, semua terdapat. Ditegaskan olehnya, perempuan yang serius dengan keilmuan Islamnya cenderung bisa empan papan.
‘’Sehingga orang lain, utamanya laki-laki sulit atau minimal sungkan ketika ingin merendahkan,’’ ujarnya.
Seperti Kartini pula, Umi mengatakan, pemahamannya tentang suatu ilmu tidak dinikmati seorang diri. Perempuan yang dua kali menjabat sebagai Ketua Fatayat Tuban ini mengatakan, ilmu yang dikuasainya diterapkan dan ditularkan kepada sesama. Utamanya, kepada para perempuan generasi baru. Kedudukannya sebagai kasipendma memudahkan dirinya melakukan hal tersebut.
‘’Dalam setiap kesempatan, saya paparkan bahwa para murid putri kelak harus berdaya dengan ilmunya. Tidak boleh bergantung kepada laki-laki. Bahkan, sejak dalam pikiran,’’ tegasnya.
Umi meneruskan, penanaman pemikiran tersebut sifatnya tidak radikalis. Bagaiamanapun juga, jika seorang perempuan sudah bersuami, wajib menghormati suaminya. Dipahaminya, emansipasi yang dimaksud Kartini bukan emansipasi buta. Nilai-nilai ketimuran masih dilanggengkan. Sehingga, budaya sopan santun di dalamnya tidak lantas ditinggalkan begitu saja. Dilanjutkan olehnya, pada intinya emansipasi gagasan Kartini tidak bermaksud mencederai siapapun.
‘’Emansipasi itu bertujuan memutus penindasan dan pembatasan hak bagi perempuan untuk berilmu saja. Agar martabatnya tidak bisa direndahkan sembarangan,’’ tutupnya.
Umi menekankan, keterputusan dua hal itu memang diperlukan. Paling pokok, perempuan harus betul-betul berpendidikan. Itu karena perempuan memegang peran besar bagi generasi penerusnya. Dikemukakan olehnya, parenting perempuan yang berpendidikan pasti berbeda dengan yang tidak berpendidikan.
“Alummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’datha sya’ban thayyibal a’raq,’’ tuturnya.
Melalui pepatah itu dia menjelaskan, orang tua perempuan atau ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya, jika perempuan mempersiapkan keibuannya dengan baik, sama artinya mempersiapkan bangsa yang baik sejak dari dasarnya. (sab/tok)