Radartuban.jawapos.com – Tingginya intensitas hujan sepanjang tahun ini tidak hanya memicu turunnya produksi tembakau. Komoditas garam pun ikut jungkir balik. Itu karena tingginya genangan air hujan di lahan garam menghambat kristalisasi air laut.
Roy Septian, salah satu petani garam di Desa Pliwetan, Kecamatan Palang menga takan, jika September-Oktober cuaca normal, lahan garamnya bisa memproduksi 30-40 ton selama empat bulan, seperti tahun-tahun sebelumnya.
‘’Tahun ini hanya bisa produksi sekitar empat ton,’’ keluhnya kepada Jawa Pos Radar Tuban.
Roy, sapaannya adalah salah satu dari ratusan petani garam di Tuban yang hanya bisa gigit jari seiring dengan jeblok nya hasil produksi seiring kondisi kemarau basah dan pendeknya musim kemarau tahun ini.
Kondisi yang sama dialami petani tembakau di wilayah selatan Bumi Ronggolawe. Karena komoditas tersebut tak menjanjikan, sebagian besar petani tembakau beralih menanam kangkung.
Roy menyampaikan, kondisi cuaca yang tidak menentu dan tingginya intensitas hujan berpengaruh besar terhadap produksi garam. Ketika produksi garam menurun, kata dia, harga komoditas berasa asin tersebut justru mengalami kenaikan dibandingkan tahun-tahunnya sebelumnya.
‘’Seminggu terakhir, harga garam di tengkulak berkisar Rp 1.000 per kilogram (kg),’’ ujarnya.
Roy kemudian membandingkan dengan harga garam tahun lalu yang anjlok hingga Rp 200-Rp 300 per kg.
‘’Ini harga tinggi untuk garam tahun ini,’’ ujar pria 27 itu.
Sekretaris Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Perikanan (DKPPP) Tuban Edi Sunarto mengatakan, meski tahun ini intensitas hujan tinggi, petani garam masih memproduksi garam.
‘’Sampai akhir tahun nanti kemungkinan produksi garam agak berkurang karena curah hujan yang tinggi,’’ ujarnya.
Untuk menyiasati musim yang tidak bersahabat, kata Edi, petani garam harus memakai sistem tunnel. Sistem ini adalah membuat doom atau rumah plastik pada lahan garam. Sistem ini masih memung kinkan sinar matahari menembus lahan garam dan melindungi lahan garam dari guyuran hujan. (fud/ds)