DUNIA nelayan adalah kehidupan Faisol Rozi. Pantai, laut, dan perdagangan hasil laut sudah menjadi bagian dari kisah hidupnya. Tujuh puluh tahun lalu dia lahir dan dibesarkan di pesisir Tambakboyo, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Sedari belia, Haji Faisol, begitu beliau akrab dipanggil, menyadari bahwa kehidupan pantai adalah sumber rezeki. Bahkan, di usia tujuh tahun, dia sudah sering mengumpulkan kerang-kerang dari pantai untuk dijual.
Baginya, selama laut dan pantai tidak dirusak, kekayaan laut Indonesia bisa untuk mencukupi kehidupan umat manusia di sekitarnya.
”Bahkan isi laut cukup untuk menopang seluruh umat manusia,” ucapnya meyakinkan.
Bapak tiga anak ini berpandangan bahwa laut harus dijaga agar nelayan bisa mencari ikan dengan selamat, nyaman, dan pulang membawa hasil memuaskan.
Menurutnya, ajaran leluhur dan aturan hukum dibuat untuk menjaga harmoni alam dan manusia. Semua orang harus mematuhi dan melaksanakannya.
”Namun, kenyataannya masih sering terjadi pelanggaran dan banyak pula pelanggar yang tidak mendapat hukuman,” ucapnya sedih.
Haji Faisol sudah tiga periode ini menjabat ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Cabang Kabupaten Tuban. Pada suksesi pengurus periode tahun lalu, dia dipilih secara aklamasi oleh seluruh anggota HNSI Tuban.
Para nelayan menganggap tak ada kandidat yang layak selain panutan mereka ini. Haji Faisol dianggap paling mumpuni, karena selalu membela kepentingan para nelayan.
Menurut mereka, beliau selalu membantu para nelayan agar bisa meningkatkan kesejahteraan keluarga. Beliau juga getol memperjuangkan bantuan dan dukungan dari pemerintah. Seperti soal bahan bakar.
”Nelayan itu butuh ketersediaan bahan bakar, mereka bisa melaut kalau ada bahan bakar,” cetus Haji Faisol.
Menurut kakek delapan cucu itu, nelayan hanya ingin melaut dengan nyaman dan tenang. Dan, tentu saja selamat hingga di rumah dengan membawa ikan.
Nelayan tidak akan bisa melaut jika tanpa ada bahan bakar. Jika demikian, ekonomi keluarga terguncang. Hal lain yang selalu di-wanti-wanti kepada kurang lebih 32 ribu nelayan di Kabupaten Tuban adalah aspek keselamatan.
Dia konsisten mengingatkan nelayan agar menjaga keselamatan saat melaut. Itulah kenapa dia juga terus memberi tahu bahwa di dekat Kapal Alir Muat Terapung (Floating Storage & Offloading atau FSO) Gagak Rimang ada zona keselamatan yang harus dipatuhi. Kapal penampungan dan pengambilan minyak mentah dari Lapangan Banyu Urip itu adalah objek vital nasional yang harus dijaga. Bahkan, negara mengatur zona terlarang dan terbatas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian.
Zona Terlarang berada dalam radius 500 meter dari titik pusat FSO Gagak Rimang dan Zona Terbatas dalam radius 1.750 meter.
Menurut aturan tersebut, nelayan dilarang memasuki Zona Terlarang dan harus menghindari Zona Terbatas. Tujuannya, lagi-lagi kata Haji Faisol, adalah supaya nelayan selamat.
Kapal FSO Gagak Rimang yang panjangnya mencapai tiga kali panjang lapangan sepak bola dengan bobot setara dengan 60 ribu gajah, dirancang untuk bisa berputar penuh mengitari menara tambat.
Selain itu, kapal-kapal besar pengambil minyak hilir mudik di sekitar lokasi tersebut. ”Ini sungguh berbahaya kalau ada kapal nelayan di sana,” ucap Haji Faisol mengingatkan.
Minyak mentah dialirkan melalui pipa berdiamater 20 inci sepanjang 72 kilometer dari Lapangan Banyu Urip di Bojonegoro hingga pantai Palang. Dilanjutkan, 23 kilometer pipa menuju Kapal FSO Gagak Rimang.
Di kapal FSO, minyak mentah ditampung dan kemudian diambil oleh kapal-kapal besar untuk dibawa ke tempat kilang penyulingan.
Haji Faisol menegaskan agar nelayan mengikuti aturan demi keselamatan diri. Bukan karena takut hukumannya. Pulang dengan selamat, besok bisa melaut lagi.
Haji Faisol meyakinkan kepada para nelayan setiap kali dia bertemu dalam berbagai kesempatan.
”Ibarat bus angkutan, nelayan itu banyak jenisnya,” tutur Haji Faisol menjelaskan.
Ada bus dalam kota, bus antarkota dalam provinsi, dan bus antarkota antarprovinsi.
Nelayan dari Tuban ada yang melaut hingga Sulawesi. Begitu pula di Tuban, banyak nelayan luar daerah, bahkan yang berasal dari luar Pulau Jawa.
Untuk menjaga keselamatan di sekitar FSO, kata dia, petugas harus mengenali dari mana dan jenis kapal nelayan apa yang mendekat. Pendekatan kepada nelayan memerlukan pengetahuan agar komunikasinya tepat. Baik formal maupun informal.
Seperti yang dilakukan operator Lapangan Banyu Urip, ExxonMobil Cepu Limited (EMCL). ”Saya mengapresiasi pendekatan-pendekatan yang dilakukan EMCL. Memberi pengertian kepada nelayan dengan baik,” ucapnya memuji.
Menurut Haji Faisol, EMCL tidak hanya rutin melakukan sosialisasi tentang zona keselamatan FSO Gagak Rimang, tapi sering terlihat bersama para nelayan dalam suasana santai di warung kopi.
Petugas EMCL juga sering berkomunikasi dengan para nelayan, meski hanya sekadar bertegur sapa. ”Ini cara yang ampuh dalam memberi pengertian pada nelayan,” tambahnya.
Apalagi, EMCL telah memberikan berbagai program peningkatan akses ekonomi, pendidikan, dana kesehatan bagi nelayan dan keluarganya. Seperti program pembangunan tambat labuh, pengelolaan sampah untuk meningkatkan nilai ekonomi, program pengolahan produk nelayan, hingga program peningkatan ekonomi melalui BUMDESMART, dan usaha makanan minuman yang dikelola melalui desa.
Sosialisasi Terus-Menerus
Kesadaran dibangun dengan pengulangan-pengulangan. Prinsip ini yang melandasi kegiatan Program Sosialisasi Zona Keselamatan FSO Gagak Rimang. Tercatat sudah 63 kali melakukan sosialisasi formal sejak beroperasinya FSO Gagak Rimang pada 2015.
Ratusan kali sosialisasi informal dilakukan kepada nelayan. Berbagai materi kampanye mulai dari poster, kaus, jaket, dan beragam saluran komunikasi melalui radio, media massa cetak, dan televisi.
Hampir semua pihak mendukung kegiatan ini. Mulai dari rukun nelayan, organisasi nelayan seperti HNSI, TNI Angkatan Laut, pemerintah daerah, hingga pemerintah desa.
Kolaborasi dan sinergi yang baik bisa mewujudkan komitmen bersama dalam menjaga keselamatan nelayan. ”Kami senang sekaligus berterima kasih kepada semua pihak yang selalu mendukung. Tanpa kerja sama multipihak yang baik ini, kita tidak mungkin bisa menjaga satu sama lain,” ucap Beta Wicaksono, perwakilan EMCL.
Menurut Beta, menjaga FSO Gagak Rimang tetap aman tidak bisa dilakukan sendiri. Dukungan dari masyarakat dan pemerintah selama ini sangat baik.
Sebagai obyek vital nasional, kelancaran operasi FSO Gagak Rimang berdampak pada target produksi minyak nasional. ”EMCL bersama SKK Migas mengupayakan segala hal untuk menjaga kelancaran operasi,” imbuhnya.
SKK Migas dan EMCL berharap operasi produksi minyak di Lapangan Banyu Urip terus memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan nasional. Memberi manfaat ekonomi berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya di wilayah sekitar operasi. ”Keselamatan bersama adalah prioritas kami, bukan hanya untuk FSO Gagak Rimang dan nelayan, namun juga generasi penerus mereka di masa depan,” pungkas Beta. (*/ds)