31 C
Tuban
Thursday, 21 November 2024
spot_img
spot_img

Pertemuan Ahli Tarekat

spot_img

Masjid Desa Kaliwatu sedang bersolek bagai gadis remaja yang akan menyambut teman  tercinta. Beberapa bagian sedang direnovasi. Cat-cat yang memudar telah kembali cerah berganti cat baru. Bahkan beberapa tanaman hias sudah disiapkan, mulai pohon pule, serut, hingga beringin.

Pohon-pohon itu dipesan khusus dari sebuah toko bunga yang terkenal di Batu Malang. Tidak ketinggalan gazebo kayu jati sudah berdiri kokoh di sebelah kiri masjid.

Agus-Ainur-RoziqinSedangkan di depan gazebo ada kolam koi yang indah. Tempat para tamu jika ingin bersantai sejenak di sela-sela acara nanti.

Masjid desa memang sedang dipersiapkan untuk acara yang sangat penting. Pertemuan ahli tarekat nasional.

Tidak pernah terbayangkan desa kecil, seperti Desa Kaliwatu akan terpilih sebagai tempat pertemuan ahli tarekat secara nasional. Rasanya seperti mimpi.

Sebab itu, takmir masjid menjadi sangat bersemangat untuk mem persiapkan yang terbaik. Tidak ingin ada sedikit kekurangan saat menyambut tamu-tamu terhormat dan mulia, orang-orang yang sedang membersihkan hati agar bisa berjalan menuju makrifatullah.

Semua itu bisa terjadi, karena lelaki yang bernama Mbah Joyo, orang terkaya di desa, bahkan rasanya menjadi orang terkaya se-kecamatan.

Lelaki yang dulunya dikenal sebagai juragan sapi menjadi sponsor utama kegiatan.

Kisah Mbah Joyo adalah kisah sukses dari anak miskin menjadi orang kaya raya. Bahasa kerennya, from zero to hero.

Anak yang tidak tamat SD, tetapi mempunyai semangat berjuang.

Kisah kesuksesan yang sering diceritakan orang tua kepada anaknya agar terinspirasi untuk berjuang.

Dulu, Mbah Joyo dikenal sebagai belantik sapi. Pada awalnya, ia hanya belantik sapi yang hanya membawa 1-2 ekor sapi saja di pasar sapi Tuban.

Namun, secara cepat usahanya berkembang dari hanya sekedar menjualkan sapi milik orang menjadi juragan sapi yang menyiapkan sapi-sapi kurban.

Tidak hanya menjual sapi, Mbah Joyo muda juga merintis usaha jagal hewan. Usahanya terus berkembang dengan banyaknya jenis usaha, mulai selepan padi, toko kelontong, hingga warung sate dan gule.

Sekarang, Mbah Joyo adalah sosok sepuh yang merasa sudah cukup dengan dirinya. Sudah bisa berhaji hingga empat kali.

Anak-anaknya sudah dewasa dan mampu meneruskan semua usahanya. Bahkan, anak-anaknya mampu membuat kekayaannya semakin membesar.

Setelah merasa cukup, enam tahun lalu Mbah Joyo memutuskan ikut tarekat. Ingin menghabiskan sisa hidupnya hanya untuk ibadah dan ibadah saja, di bawah bimbingan Kiai Abdullah, Mbah Joyo dengan tekun menikmati hidup dengan memperdalam tarekat.

“Aku ingin pertemuan jamiyyah tarekat nasional diadakan di desa kita,” kata Mbah Joyo kepada Kiai Abdullah.

“Sulit, Kang. Bahkan rasanya mustahil,” sahut Kiai Abdullah.

“Jangan khawatir, aku akan mempersiapkan semuanya, besok jika ada pertemuan jamiyyah, aku ikut. Aku sendiri yang akan meminta kepada murysid agung untuk mau mengadakan pertemuan tarekat secara nasional di desa kita,” kata Mbah Joyo bersemangat.

Kiai Abdullah terdiam. Rasanya mustahil pertemuan ahli tarekat tingkat nasional diadakan di desa ini.

Tetapi melarang Mbah Joyo, hati Kiai Abdullah tidak enak. Mbah Joyo mempunyai sumbangan yang sangat besar terhadap pembangunan masjid di desa ini, tanah untuk masjid adalah tanah wakaf Mbah Joyo, begitu hampir 100 persen biaya pembangunan masjid adalah amal jariyahnya.

Namun, sesuatu yang rasanya mustahil sebentar lagi akan terwujud, mursyid agung bersedia mengadakan pertemuan jamiyyah tarekatnya di desa ini.

Baca Juga :  Redefinisi Sekolah Ramah Anak

Hampir dua tahun, warga desa gotong royong mempersiapkan acara tersebut, tentu dengan penyandang dana utama Mbah Joyo.

Sebuah gawe besar, dalam perkiraan Kiai Abdullah ada sekitar 400 orang yang akan hadir sebagai undangan, belum lagi para pegembira jumlahnya bisa tiga lipat dari orang yang diundang.

Acara besar secara nasional ini hanya digelar dua tahun sekali.

Segalanya telah siap, masjid terasa megah dan bersih, jalan-jalan desa terlihat jauh lebih baik, aspalnya terlihat berkilat karena baru saja disepuh aspal baru.

Masjid sebagai tempat utama benar-benar sudah berubah, menjadi yang indah dan sangat layak untuk menyambut tamu-tamu agung.

Namun sayang, di antara persiapan yang sudah 100 persiap, ada lelaki tua yang bisa mencoreng kebersihan masjid.

Sudah sebulan lebih, muncul lelaki tua dengan pakaian yang kumal, ada banyak tambalan di baju dan sarungnya.

Setiap kali datang ke masjid membawa buntalan dari kain sarung. Buntalan itu berisi pakaian-pakaian yang juga sudah kumal dan banyak tambalan.

Begitu masuk masjid, ia akan segera ke kamar mandi, lalu masuk ke masjid dan mengerjakan salat dua rakaat.

Mbah Joyo pernah jengkel dengan sikap lelaki tua itu. Lelaki tua itu didekatinya saat baru selesai berwudu.

“Kamu dari mana??”

“Dari buminya Allah,” jawab lelaki tua itu acuh.

“Ya aku tahu, semuanya milik Allah. Langit dan bumi semuanya milik Allah.”

“Kalau tahu mengapa bertanya?”

Mbah Joyo terdiam. Menarik napas pelan lalu berkata, “tapi kalau ke masjid, pakailah baju yang pantas.”

“Baju ini sudah pantas, bahkan lebih pantas dari baju yang kamu pakai.”

“Bagaimana mungkin baju yang kumal penuh tambalan lebih baik dari bajuku!” sahut Mbah Joyo.

“Bajumu, hanyalah baju keangkuhan saja,” sahut lelaki tua itu.

Mbah Joyo hampir saja tidak bisa membendung amarahnya, namun ia ingat pelajaran utama dalam tarekatnya, yakni menahan marah. Ditahan rasa marahnya.

“Aku bisa membantumu dengan baju dan sarung baru,” kata Mbah Joyo pelan sambil menahan kemarahannya.

“Tidak perlu,” jawab lelaki itu sambil berjalan.

Dengan tenang berjalan ke dalam masjid meninggalkan Mbah Joyo tanpa sepatah kata.

Setelah masuk masjid, ia segera mengerjakan salat sunnah dua rakaat, lalu duduk menunduk memandang lantai.

Apa yang dikerjakannya tidak jelas, mungkin saja berzikir atau melamun dengan lamunan yang tidak karuan arahnya.

Seperti itu yang dilakukan oleh lelaki berbaju kumal setiap hari saat menjelang azan. Jarang sekali ia berbicara dengan jemaah lain, kecuali jika ditanya. Itu pun hanya dijawab sepotong-potong saja.

Karena pakaian kumal, jemaah masjid menjadi cemas jika pada saat acara pertemuan ahli tarekat akan menjadikan masjid terkesan tidak rapi dan bersih.

Seorang pengurus masjid mendekati lelaki berbaju kumal itu—membujuknya jika nanti ada banyak tamu agar tidak lagi berpakaian kumal.

Takmir masjid dengan sukarela akan membelikannya. Lelaki berbaju kumal itu  menolaknya.

“Untuk apa?” tanya lelaki itu.

“Karena Allah memberikan perintah agar memakai pakaian yang bagus saat ke masjid,” sahut takmir.

“Bukankah sebaik-baik pakaian adalah pakaian tawaduk, dan seburuk-buruk pakaian adalah pakaian ujub,” sahut lelaki itu lagi.

“Kamu benar dengan apa yang kamu ucapkan. Tetapi ayolah pakai pakaian baik dan rapi saat masuk masjid, sebagai penghormatan kepada pemilik masjid,” jawab takmir itu lagi.

Baca Juga :  Seekor Tikus Terkapar di Jalan

“Aku malu kepada kanjeng nabi jika memakai baju yang lebih baik dari baju yang dipakai beliau. Aku malu kepada Syaidina Umar jika memakai baju baru, karena Umar memakai baju penuh tambalan,” sahut lelaki itu dengan suara bergetar.

“Jika kamu tidak mau memakai pakaian yang diberikan takmir masjid. Pada saat tamu sudah mulai berdatangan, kamu tidak diizinkan ke masjid ini lagi, bahkan mendekatpun akan dilarang,” sahut takmir dengan nada ketus. Tidak lagi mampu menahan marahnya.

Akhirnya saat itu tiba, tamu-tamu dari berbagai kota di Indonesia mulai berdatangan. Semuanya menggunakan pakaian baju putih, ada yang memakai baju koko dan sebagian lagi menggunakan jubah warna putih.

Hampir semua warga desa bersikap ramah, memuliakan para ahli tarekat dari berbagai daerah di seluruh negeri.

Wajah Mbah Joyo terlihat berseri-seri menyambut tamu. Dengan senyum dan segala keramahannya, seluruh tamu disapa dan dipeluk penuh kehangatan.

Puncaknya, adalah saat sang mursyid agung datang, semua menyambutnya dengan penuh hormat. Orang-orang berebut mencium tangannya.

Tidak lama kemudian, azan isya’ terdengar menyapa desa, menembus langit malam yang jernih.

Bulan tanggal 14 terlihat bersinar terang dengan cahaya lembutnya. Semua undangan sudah berkumpul, menunggu salat Isya.

Setelah salat Isya, acara akan dimulai dengan zikir bersama yang dipimpin sang mursyid agung.

Tiba-tiba ada kecemasan di hati Mbah Joyo, jangan-jangan lelaki kumal itu akan datang pada saat yang istimewa ini, dan menjadikan malam yang agung menjadi tidak lagi agung karena penampilannya yang kumal.

Apa yang dicemaskan Mbah Joyo benar. Di dekat gerbang masjid terjadi keributan kecil, lelaki kumal itu ingin masuk ke masjid, tetapi beberapa orang menghalanginya.

Boleh masuk masjid asal mau memakai pakaian putih yang disediakan oleh takmir masjid, tetapi lelaki tua yang dengan baju kumal itu menolaknya. Ia ingin tetap masuk masjid dengan baju kumal yang biasa dipakainya.

“Tidak bisa,” kata seseorang bertubuh tegap.

Lelaki tua berbaju kumal itu tetap melangkah masuk. Lelaki bertubuh tegap itu mencoba menghalanginya.

Karena tidak mampu mengendalikan emosinya, lelaki bertubuh tegap itu mendorongnya, hingga lelaki kumal itu terjatuh.

Tiba-tiba sang mursyid agung melangkah dengan cepat keluar dari masjid, menuju gerbang masjid.

Lelaki tua berbaju kumal itu mencoba bangkit, dengan sedikit terhuyung ia bangkit, menyeimbangkan tubuhnya yang memang terlihat ringkih.

Mursyid agung melangkah cepat, menghampiri lelaki tua berbaju kumal itu. Dengan penuh hormat dijabatnya tangan lelaki tua kumal itu, lalu diciumi tangan lelaki tua kumal itu.

“Guru hadir juga di sini.” kata mursyid agung dengan suara pelan.

“Boleh aku hadir di majelismu?” tanya lelaki tua berbaju kumal itu.

“Sebuah kehormatan jika guru mau hadir di majelis ini,” kata mursyid agung.

Orang-orang saling berpandangan.

Siapa dia? Mengapa sang mursyid agung yang mereka hormati begitu hormat kepada lelaki tua berbaju kumal itu, bahkan memanggilnya guru.

Tidak ada mata yang berkedip, bahkan detak jantung terasa berhenti. Saat

sang mursyid agung menggandeng lelaki tua berbaju kumal itu masuk ke masjid dan memintanya duduk di majelis utama tempat khusus untuk sang mursyid agung. (*)

Mendalan, 20 Februari 2024

Masjid Desa Kaliwatu sedang bersolek bagai gadis remaja yang akan menyambut teman  tercinta. Beberapa bagian sedang direnovasi. Cat-cat yang memudar telah kembali cerah berganti cat baru. Bahkan beberapa tanaman hias sudah disiapkan, mulai pohon pule, serut, hingga beringin.

Pohon-pohon itu dipesan khusus dari sebuah toko bunga yang terkenal di Batu Malang. Tidak ketinggalan gazebo kayu jati sudah berdiri kokoh di sebelah kiri masjid.

Agus-Ainur-RoziqinSedangkan di depan gazebo ada kolam koi yang indah. Tempat para tamu jika ingin bersantai sejenak di sela-sela acara nanti.

Masjid desa memang sedang dipersiapkan untuk acara yang sangat penting. Pertemuan ahli tarekat nasional.

Tidak pernah terbayangkan desa kecil, seperti Desa Kaliwatu akan terpilih sebagai tempat pertemuan ahli tarekat secara nasional. Rasanya seperti mimpi.

- Advertisement -

Sebab itu, takmir masjid menjadi sangat bersemangat untuk mem persiapkan yang terbaik. Tidak ingin ada sedikit kekurangan saat menyambut tamu-tamu terhormat dan mulia, orang-orang yang sedang membersihkan hati agar bisa berjalan menuju makrifatullah.

Semua itu bisa terjadi, karena lelaki yang bernama Mbah Joyo, orang terkaya di desa, bahkan rasanya menjadi orang terkaya se-kecamatan.

Lelaki yang dulunya dikenal sebagai juragan sapi menjadi sponsor utama kegiatan.

Kisah Mbah Joyo adalah kisah sukses dari anak miskin menjadi orang kaya raya. Bahasa kerennya, from zero to hero.

Anak yang tidak tamat SD, tetapi mempunyai semangat berjuang.

Kisah kesuksesan yang sering diceritakan orang tua kepada anaknya agar terinspirasi untuk berjuang.

Dulu, Mbah Joyo dikenal sebagai belantik sapi. Pada awalnya, ia hanya belantik sapi yang hanya membawa 1-2 ekor sapi saja di pasar sapi Tuban.

Namun, secara cepat usahanya berkembang dari hanya sekedar menjualkan sapi milik orang menjadi juragan sapi yang menyiapkan sapi-sapi kurban.

Tidak hanya menjual sapi, Mbah Joyo muda juga merintis usaha jagal hewan. Usahanya terus berkembang dengan banyaknya jenis usaha, mulai selepan padi, toko kelontong, hingga warung sate dan gule.

Sekarang, Mbah Joyo adalah sosok sepuh yang merasa sudah cukup dengan dirinya. Sudah bisa berhaji hingga empat kali.

Anak-anaknya sudah dewasa dan mampu meneruskan semua usahanya. Bahkan, anak-anaknya mampu membuat kekayaannya semakin membesar.

Setelah merasa cukup, enam tahun lalu Mbah Joyo memutuskan ikut tarekat. Ingin menghabiskan sisa hidupnya hanya untuk ibadah dan ibadah saja, di bawah bimbingan Kiai Abdullah, Mbah Joyo dengan tekun menikmati hidup dengan memperdalam tarekat.

“Aku ingin pertemuan jamiyyah tarekat nasional diadakan di desa kita,” kata Mbah Joyo kepada Kiai Abdullah.

“Sulit, Kang. Bahkan rasanya mustahil,” sahut Kiai Abdullah.

“Jangan khawatir, aku akan mempersiapkan semuanya, besok jika ada pertemuan jamiyyah, aku ikut. Aku sendiri yang akan meminta kepada murysid agung untuk mau mengadakan pertemuan tarekat secara nasional di desa kita,” kata Mbah Joyo bersemangat.

Kiai Abdullah terdiam. Rasanya mustahil pertemuan ahli tarekat tingkat nasional diadakan di desa ini.

Tetapi melarang Mbah Joyo, hati Kiai Abdullah tidak enak. Mbah Joyo mempunyai sumbangan yang sangat besar terhadap pembangunan masjid di desa ini, tanah untuk masjid adalah tanah wakaf Mbah Joyo, begitu hampir 100 persen biaya pembangunan masjid adalah amal jariyahnya.

Namun, sesuatu yang rasanya mustahil sebentar lagi akan terwujud, mursyid agung bersedia mengadakan pertemuan jamiyyah tarekatnya di desa ini.

Baca Juga :  Jumat Legi

Hampir dua tahun, warga desa gotong royong mempersiapkan acara tersebut, tentu dengan penyandang dana utama Mbah Joyo.

Sebuah gawe besar, dalam perkiraan Kiai Abdullah ada sekitar 400 orang yang akan hadir sebagai undangan, belum lagi para pegembira jumlahnya bisa tiga lipat dari orang yang diundang.

Acara besar secara nasional ini hanya digelar dua tahun sekali.

Segalanya telah siap, masjid terasa megah dan bersih, jalan-jalan desa terlihat jauh lebih baik, aspalnya terlihat berkilat karena baru saja disepuh aspal baru.

Masjid sebagai tempat utama benar-benar sudah berubah, menjadi yang indah dan sangat layak untuk menyambut tamu-tamu agung.

Namun sayang, di antara persiapan yang sudah 100 persiap, ada lelaki tua yang bisa mencoreng kebersihan masjid.

Sudah sebulan lebih, muncul lelaki tua dengan pakaian yang kumal, ada banyak tambalan di baju dan sarungnya.

Setiap kali datang ke masjid membawa buntalan dari kain sarung. Buntalan itu berisi pakaian-pakaian yang juga sudah kumal dan banyak tambalan.

Begitu masuk masjid, ia akan segera ke kamar mandi, lalu masuk ke masjid dan mengerjakan salat dua rakaat.

Mbah Joyo pernah jengkel dengan sikap lelaki tua itu. Lelaki tua itu didekatinya saat baru selesai berwudu.

“Kamu dari mana??”

“Dari buminya Allah,” jawab lelaki tua itu acuh.

“Ya aku tahu, semuanya milik Allah. Langit dan bumi semuanya milik Allah.”

“Kalau tahu mengapa bertanya?”

Mbah Joyo terdiam. Menarik napas pelan lalu berkata, “tapi kalau ke masjid, pakailah baju yang pantas.”

“Baju ini sudah pantas, bahkan lebih pantas dari baju yang kamu pakai.”

“Bagaimana mungkin baju yang kumal penuh tambalan lebih baik dari bajuku!” sahut Mbah Joyo.

“Bajumu, hanyalah baju keangkuhan saja,” sahut lelaki tua itu.

Mbah Joyo hampir saja tidak bisa membendung amarahnya, namun ia ingat pelajaran utama dalam tarekatnya, yakni menahan marah. Ditahan rasa marahnya.

“Aku bisa membantumu dengan baju dan sarung baru,” kata Mbah Joyo pelan sambil menahan kemarahannya.

“Tidak perlu,” jawab lelaki itu sambil berjalan.

Dengan tenang berjalan ke dalam masjid meninggalkan Mbah Joyo tanpa sepatah kata.

Setelah masuk masjid, ia segera mengerjakan salat sunnah dua rakaat, lalu duduk menunduk memandang lantai.

Apa yang dikerjakannya tidak jelas, mungkin saja berzikir atau melamun dengan lamunan yang tidak karuan arahnya.

Seperti itu yang dilakukan oleh lelaki berbaju kumal setiap hari saat menjelang azan. Jarang sekali ia berbicara dengan jemaah lain, kecuali jika ditanya. Itu pun hanya dijawab sepotong-potong saja.

Karena pakaian kumal, jemaah masjid menjadi cemas jika pada saat acara pertemuan ahli tarekat akan menjadikan masjid terkesan tidak rapi dan bersih.

Seorang pengurus masjid mendekati lelaki berbaju kumal itu—membujuknya jika nanti ada banyak tamu agar tidak lagi berpakaian kumal.

Takmir masjid dengan sukarela akan membelikannya. Lelaki berbaju kumal itu  menolaknya.

“Untuk apa?” tanya lelaki itu.

“Karena Allah memberikan perintah agar memakai pakaian yang bagus saat ke masjid,” sahut takmir.

“Bukankah sebaik-baik pakaian adalah pakaian tawaduk, dan seburuk-buruk pakaian adalah pakaian ujub,” sahut lelaki itu lagi.

“Kamu benar dengan apa yang kamu ucapkan. Tetapi ayolah pakai pakaian baik dan rapi saat masuk masjid, sebagai penghormatan kepada pemilik masjid,” jawab takmir itu lagi.

Baca Juga :  Wanita Poni dan Bara Kretek

“Aku malu kepada kanjeng nabi jika memakai baju yang lebih baik dari baju yang dipakai beliau. Aku malu kepada Syaidina Umar jika memakai baju baru, karena Umar memakai baju penuh tambalan,” sahut lelaki itu dengan suara bergetar.

“Jika kamu tidak mau memakai pakaian yang diberikan takmir masjid. Pada saat tamu sudah mulai berdatangan, kamu tidak diizinkan ke masjid ini lagi, bahkan mendekatpun akan dilarang,” sahut takmir dengan nada ketus. Tidak lagi mampu menahan marahnya.

Akhirnya saat itu tiba, tamu-tamu dari berbagai kota di Indonesia mulai berdatangan. Semuanya menggunakan pakaian baju putih, ada yang memakai baju koko dan sebagian lagi menggunakan jubah warna putih.

Hampir semua warga desa bersikap ramah, memuliakan para ahli tarekat dari berbagai daerah di seluruh negeri.

Wajah Mbah Joyo terlihat berseri-seri menyambut tamu. Dengan senyum dan segala keramahannya, seluruh tamu disapa dan dipeluk penuh kehangatan.

Puncaknya, adalah saat sang mursyid agung datang, semua menyambutnya dengan penuh hormat. Orang-orang berebut mencium tangannya.

Tidak lama kemudian, azan isya’ terdengar menyapa desa, menembus langit malam yang jernih.

Bulan tanggal 14 terlihat bersinar terang dengan cahaya lembutnya. Semua undangan sudah berkumpul, menunggu salat Isya.

Setelah salat Isya, acara akan dimulai dengan zikir bersama yang dipimpin sang mursyid agung.

Tiba-tiba ada kecemasan di hati Mbah Joyo, jangan-jangan lelaki kumal itu akan datang pada saat yang istimewa ini, dan menjadikan malam yang agung menjadi tidak lagi agung karena penampilannya yang kumal.

Apa yang dicemaskan Mbah Joyo benar. Di dekat gerbang masjid terjadi keributan kecil, lelaki kumal itu ingin masuk ke masjid, tetapi beberapa orang menghalanginya.

Boleh masuk masjid asal mau memakai pakaian putih yang disediakan oleh takmir masjid, tetapi lelaki tua yang dengan baju kumal itu menolaknya. Ia ingin tetap masuk masjid dengan baju kumal yang biasa dipakainya.

“Tidak bisa,” kata seseorang bertubuh tegap.

Lelaki tua berbaju kumal itu tetap melangkah masuk. Lelaki bertubuh tegap itu mencoba menghalanginya.

Karena tidak mampu mengendalikan emosinya, lelaki bertubuh tegap itu mendorongnya, hingga lelaki kumal itu terjatuh.

Tiba-tiba sang mursyid agung melangkah dengan cepat keluar dari masjid, menuju gerbang masjid.

Lelaki tua berbaju kumal itu mencoba bangkit, dengan sedikit terhuyung ia bangkit, menyeimbangkan tubuhnya yang memang terlihat ringkih.

Mursyid agung melangkah cepat, menghampiri lelaki tua berbaju kumal itu. Dengan penuh hormat dijabatnya tangan lelaki tua kumal itu, lalu diciumi tangan lelaki tua kumal itu.

“Guru hadir juga di sini.” kata mursyid agung dengan suara pelan.

“Boleh aku hadir di majelismu?” tanya lelaki tua berbaju kumal itu.

“Sebuah kehormatan jika guru mau hadir di majelis ini,” kata mursyid agung.

Orang-orang saling berpandangan.

Siapa dia? Mengapa sang mursyid agung yang mereka hormati begitu hormat kepada lelaki tua berbaju kumal itu, bahkan memanggilnya guru.

Tidak ada mata yang berkedip, bahkan detak jantung terasa berhenti. Saat

sang mursyid agung menggandeng lelaki tua berbaju kumal itu masuk ke masjid dan memintanya duduk di majelis utama tempat khusus untuk sang mursyid agung. (*)

Mendalan, 20 Februari 2024

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

Afiks

Mimpi yang Tak Pernah Tidur

Sekumpulan Capung di Atas Pohon Kurma

Raverie Renjana

Seekor Tikus Terkapar di Jalan

spot_img

Terpopuler

spot_img

Artikel Terbaru

spot_img
spot_img