Gedung Institut Ilmu Kesehatan Nahdlatul Ulama (IIKNU) Tuban di Jalan Raya KH Hasyim Asy’ari Nomor 26 Tuban, tepatnya di Desa Sumurgung, Kecamatan Tuban, dulunya tak semegah sekarang. Ada proses panjang untuk menjadi seperti saat ini. Dan semua itu tidak lepas dari tangan dingin Rektor IIKNU Miftahul Munir.
M. MAHFUDZ MUNTAHA, Tuban, Radar Tuban
KETIKA Jawa Pos Radar Tuban berbincang santai di ruang kerjanya, Munir—sapaan akrab Miftahul Munir—menceritakan awal perjuangannya di Bumi Wali.
Dituturkan dia, jejak perjuangannya itu dimulai ketika masuk Tuban pada 1996 silam. Saat itu masih menjadi dosen di Poltekes Kemenkes Surabaya kampus Tuban. Statusnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Tak lama setelah itu, mendapatkan undangan hearing dari DPRD Tuban. Di tempat itulah, dia bertemu almarhum Kiai Mundir—tokoh NU Tuban waktu sekaligus wakil Ketua DPRD waktu itu.
Pada agenda tersebut, DPRD meminta masukkan ihwal pelayanan kesehatan di Tuban. Usai pertemuan itu, dirinya semakin akrab dengan tokoh-tokoh NU Tuban, seperti KH Fathul Huda, KH Tom Badlawi (Alm), Noor Nahar Hussein, dan Fauzan Umar.
Waktu terus berjalan. Pada momen konfercab PCNU di Ponpes Langitan, tepatnya di bulan Desember 2001, dirinya diminta untuk menyusun materi bidang kesehatan di internal NU.
‘’Saat itu saya buatkan tiga konsep kesehatan,’’ kenangnya.
Dalam memorinya, Munir masih ingat betul momen tersebut. Baginya, itu merupakan momen yang cukup berperistiwa dalam hidupnya.
Konsep yang disampaikan waktu itu terdiri dari pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan dasar yang implementasinya untuk klinik dan pelayanan kesehatan rujukan berupa rumah sakit.
Tak berhenti sampai di situ, dirinya juga diminta untuk mempersiapkan pembangunan fasilitas pendidikan dan pelayanan kesehatan untuk NU—yang kemudian menjadi titik balik karirnya saat ini.
Usai konfercab, dia pun langsung melakukan studi banding di berbagai rumah sakit, antara lain, Rumah Sakit Pondok Indah milik Muhammadiyah di Jakarta, Rumah Sakit Internasional Surabaya, Rumah Sakit RSAL Surabaya, Rumah Sakit Islam Surabaya, dan Pendidikan Akademi Kebidanan dan Keperawatan YARSI Suraba ya, serta Akademi Keperawatan Pesantren Darul Ulum Jombang.
‘’Setelah itu, saya mencatat secara detail bagaimana rumah sakit itu dibangun. Dari persyaratan izin hingga beroperasi,’’ bebernya.
Sembari mempersiapkan pendirian rumah sakit, juga disiapkan pula beberapa program kesehatan lain, seperti klinik hingga mendirikan perguruan tinggi kesehatan—yang menjadi ijtihad dan istikharah para kiai.
Akhirnya, dipilihlah Akademi Kebidanan dan kemudian pada 2003 menjadi Akbid NU.
‘’Bersamaan dengan itu juga mendirikan pelayanan kesehatan NU yang terdiri dari klinik, apotek, laboratorium dan praktik dokter,’’ ungkapnya.
Berjalannya waktu, program-program yang dicanangkan berhasil ditunaikan dengan baik. Dan semua itu tidak lepas dari peran serta dan kesungguhan dari banyak pihak. Utamanya tokoh-tokoh NU yang berjuang membesarkan NU di Bumi Wali.
‘’Prinsipnya, antara keinginan dan gerakan harus sejalan,’’ tegas Munir. (*)