Ditutupnya Jembatan Glendeng karena proyek perbaikan menjadi peluang rezeki yang tak disia-siakan bagi Inarto dan dua rekannya. Hingga dia memilih meninggalkan pekerjaan sebagai penambang pasir dan memutuskan beralih membuka jasa penyeberangan perahu.
DITUTUPNYA Jembatan Glendeng membuat masyarakat harus menempuh rute lebih jauh untuk mobilitas dari Tuban – Bojonegoro dan sebaliknya.
Lantas Inarto mulai kepikiran untuk membuka jasa perahu penyeberangan.
Dia pun mengajak Arif dan Mahudi, dua temannya yang sebelumnya juga penambang pasir.
Inarto mengakui, awalnya tak mudah untuk membuka jasa perahu penyeberangan.
Dia sempat mendapat pertentangan dari beberapa warga sekitar yang tidak setuju dengan adanya penyeberangan perahu.
Sejumlah warga mempermasalahkan akses jalan yang digunakan kendaraan roda dua untuk menuju perahu penyeberangan melewati beberapa lahan kebun warga.
Setelah bermusyawarah, permasalahan tersebut berhasil diredam.
Hasilnya disepakati, lahan yang dilalui penyeberangan disewa oleh Inarto cs.
Setelah beberapa pekan berjalan, Inarto dan kedua rekannya mulai kewalahan dengan kepadatan pengunjung yang tak pernah sepi.
Akhirnya dia memutuskan untuk merekrut beberapa tenaga tambahan untuk membantu penyeberangan.
‘’Jasa penyeberangan perahu ini tak pernah tutup dan selalu buka 24 jam,’’ terang dia.
Keputusan membuka perahu penyeberangan pria berusia 45 tahun itu berbuah manis.
Dia mengakui penghasilannya saat ini jauh lebih banyak jika dibandingkan saat menjadi penambang pasir di sepanjang bantaran Sungai Bengawan Solo.
‘’Sehari terkadang mendapat Rp 4 juta sampai Rp 6 juta tiap harinya,’’ ungkap dia.
Pendapatan itu untuk dibagi untuk rekan-rekannya dan biaya bahan bakar untuk operasional. Juga harus dikurangi biaya sewa lahan milik warga yang dilalui oleh kendaraan yang akan menyeberang.
‘’Jadi bisa jadi pemasukan banyak orang dan warga sekitar,’’ jelas dia.
Sekali melintas, tarif yang dipatok untuk kendaraan roda dua yang menyeberang hanya Rp 2 ribu.
Inarto juga sering menggratiskan untuk anak sekolah dan petani yang hendak menyeberang.
‘’Kami selalu mengutamakan anak sekolah dan petani untuk didahulukan menyeberang,” ujarnya.
Pria asal Desa Simo, Kecamatan Soko itu mengatakan, penghasilannya juga sempat mengalami penurunan signifikan saat air sungai meluap.
Tak hanya pengunjung yang sepi, biaya yang dikeluarkannya untuk solar juga meningkat dua kali lipat jika air sungai mulai naik.
Jika kelak jembatan penghubung Bojonegoro – Tuban kembali di buka, Inarto mengaku sudah siap untuk kembali ke pekerjaan awalnya sebagai penambang pasir.
‘’Intinya tetap disyukuri apa pun yang didapatkan sekarang,’’ ungkap dia. (an/yud)