Selama mengenakan jersey dua klub yang disebut terakhir, dia kembali mencatatkan diri sebagai top skor selama mengarungi Liga Divisi 1. Semua raihan selama masa keemasan tersebut masih tersimpan di rumah Benny.
Dia merawat semua saksi bisu sejarah tersebut. Sebagian foto dan medali prestasinya dipajang di dinding rumahnya. Tak sekadar mengabadikan kesuksesannya di era 1990-an hingga 2000, foto dan medali tersebut sekaligus menjadi penghibur lara mantan striker tim sepak bola PON Jatim tahun 2000 itu.
‘’Setiap kali menatap foto-foto dan medali itu, terselip kebanggaan kalau saya pernah memberikan yang terbaik untuk sepak bola Jatim,’’ ujarnya.
Meski di mata Benny barang-barang tersebut tak ternilai harganya, dengan setengah bercanda, dia mengungkapkan rela melepas untuk menyambung hidup.
‘’Kalau medali ini laku dijual sudah saya jual, Mas,’’ tutur dia penuh keputusasaan.
Ucapan itu dilontarkan bukan tanpa alasan. Kondisi perekonomian Benny dan keluarganya sekarang ini kolaps. Harta yang dikumpulkan selama masa kejayaannya, seperti membangun rumah kos dan membeli mobil, kini ludes terjual untuk biaya berobat. Sebagian mencukupi biaya hidup. Sekarang ini, aset yang tersisa tinggal rumah yang ditempati.
‘’Saat ini, gantungan hidup keluarga dari istri yang berjualan nasi pecel di depan rumah,’’ tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Selama tiga tahun mengalami kelumpuhan, Benny mengaku tak pernah mendapat perhatian dari Pemprov Jatim dan Pemkab Tuban. Begitu juga KONI dan Askab PSSI Tuban.
‘’Sekalipun tak pernah datang dan mengulurkan tangan untuk membantu. Saya tidak mau minta-minta, biarkan mereka berinisiatif sendiri,’’ ujarnya.
Di tengah kondisi yang serbakekurangan, sempat terbersit keinginan dari anak-anak Benny untuk mengabarkan kondisi ayahnya kepada pengurus KONI, Askab PSSI, atau pihak berkompeten lain di Tuban.