Abdul Rosyid terobsesi dengan sejarah. Atas obsesinya tersebut, kini dia memiliki sekitar 3.000 buku, 1.000 dokumen, dan ratusan foto bernilai sejarah. Saking berharganya, beberapa pihak menginginkan asetasetnya tersebut. Termasuk negara.
PRIA karib disapa Ocid itu mulai terobsesi dengan sejarah sejak usia remaja. Perisnya, saat masih duduk di bangku SMA, sekitar 1999—2002.
Pria berdomisili di Desa Tunggulrejo, Kecamatan Singgahan ini mengutarakan, kali pertama “menjabat tangan” sejarah tidak dari mata pelajaran di sekolah. Melainkan, dari buku-buku sastra yang dibaca.
Alumni MA Sunnatun Nur, Kecamatan Senori ini mengemukakan, buku-buku sastra mengenalkannya pada sejarah itu karangan Emha Ainun Najib atau Cak Nun.
Meski tidak banyak, cerita-cerita ditulis Cak Nun dalam buku-bukunya tersebut mengandung sejarah.
‘’Sejarah dalam sastra itu, lalu saya kejar di buku sejarah,’’ ujarnya kepada Jawa Pos Radar Tuban, Sabtu (22/7).
Ocid sendiri tidak menyangka pengejarannya terhadap sejarah sampai pada tingkat yang baginya terbilang tinggi dan belum berhenti hingga sekarang.
‘’Sejak SMA dulu hingga kini, saya masih rutin membeli buku sejarah. ‘’Per bulan sedikitnya dua judul buku,’’ ungkap pria yang juga alumni Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan itu.
Beberapa tahun belakangan, lanjut ayah tiga anak ini, dia juga gencar membeli dokumen serta foto bernilai sejarah.
‘’Total, saat ini saya miliki sekitar 3.000 buku, 1.000 dokumen, dan ratusan foto bernilai sejarah. Aset-aset itu saya beli di pasar buku, loak, dan dari kolektor barang lawas di Tuban, Bojonegoro, Surabaya, Jogjakarta, Pasuruan, Malang, Semarang, hingga Jakarta,’’ terangnya.
Kebanyakan bukunya, beber pria kelahiran 1983 ini, berisi sejarah Indonesia era kolonial dan juga di era para wali atau alim ulama.
Sedang, kebanyakan dokumen serta foto sejarah miliknya merupakan gambaran Kabupaten Tuban era pra kemerdekaan, orde lama, hingga orde baru.