Muhammad Rizal Al Farisi, 24, meyakini penyandang disabilitas juga memiliki kesempatan yang sama untuk belajar agama. Keyakinan bahwa keterbatasan tak menjadi halangan untuk membaca Alquran itu mendorongnya menjadi guru ngaji sejak setahun terakhir.
AIMATUL FAUZIYAH, Tuban
MENGAJAR ngaji orang normal mungkin sudah banyak dilakukan. Tapi pengajar ngaji para penyandang disabilitas jumlahnya masih bisa dihitung jari.
Salah satunya adalah Rizal, sapaan akrab pemuda Desa Lerankulon, Kecamatan Palang yang sudah menjadi guru ngaji para tuna netra sejak Desember 2022 silam.
Keseriusan Rizal dalam menjalani kegiatan sosial itu diwujudkan dengan mendirikan komunitas belajar Alquran, sebuah gerakan untuk pengajar Alquran bagi tuna netra.
Sulitnya menjaring guru ngaji yang bisa membaca dan mengajarkan huruf braille itu terlihat dari anggota komunitas yang hanya beranggotakan empat orang.
Mendirikan komunitas mengaji bagi penyandang disabilitas ini bermula dari keprihatinan Rizal minimnya literasi huruf hijaiyah braille.
Lulusan Institut Islam Manba’ul Ulum Surakarta ini menjelaskan, kegiatan mengajar disabilitas sebenarnya sudah dilakukan sejak 2015. Namun saat itu, aktivitas mengajar para tuna netra hanya dilakukan bulan Ramadan.
Pada 2017, kegiatan belajar mengaji mulai dilakukan dua bulan sekali. Merasa hasilnya masih belum maksimal, Rizal mulai menjalin komunikasi hingga disepakati kerja sama dengan Takmir Masjid Darussalam Tuban sejak Oktober 2022.
‘’Kegiatan tersebut akhirnya dilakukan setiap Sabtu, Alhamdulillah rutin hingga saat ini,” ucap dia.
Rizal bersama dengan tiga temannya saat ini mengajar Alquran kepada 25 disabilibitas dengan penglihatan terbatas.
Para tuna netra itu dituntun untuk membaca Alquran dengan baik dan benar.
‘’Yang paling banyak dari Kecamatan Tuban dan Palang. Sebagian dari dari Semanding, Senori, Kerek, Tambakboyo, Grabagan, dan Bancar,” jelasnya.
Rizal mengatakan, ada tata cara untuk mengajar disabilitas dengan cara efektif. Seperti satu pengajar tidak bisa memegang lebih dari 5 orang secara langsung.
Tantangan lain selama mengajar adalah transportasi untuk ke lokasi belajar. Baik untuk pelajar maupun pengajar.
Apalagi para pelajar berasal dari berbagai kecamatan. Sehingga, mereka kesulitan untuk rutin datang ke tempat belajar.
Putra dari Siti Munikah ini mengatakan, kegiatan sosial tersebut masih swadaya anggota komunitas tanpa ada dukungan dari pemerintah daerah.
‘’Semua kami upayakan sendiri dengan teman dan keluarga saya,” tuturnya.
Rizal mengatakan, target waktu yang diberikan untuk belajar Alquran para disabilitas berbeda sesuai dengan usia dan kemampuan. Apalagi yang mengikuti pembelajaran Alqur’an mulai usia 7 hingga 55 tahun.
‘’Kami targetkan agar para murid yang sudah fasih membaca Alquran bisa mengajarkan kepada teman yang lain,” tandasnya. (*/yud)