Diiringi keresahan, sore itu Kusmari mendirikan tenda lapaknya di trotoar Jalan RE Martadinata. Raut mukanya cemas dan gerak-geriknya lemas. Kepada Jawa Pos Radar Tuban pria berusia 55 itu mengatakan, dia takut peristiwa pembunuhan Jaelan kawannya sesama PKL Rabu (5/1) lalu berbuntut panjang. Yakni, munculnya kebijakan dari Pemkab Tuban yang melarang PKL berjualan di sepanjang trotoar tersebut.
TENDA beratap terpal biru dan bertiang kayu itu sedang Kusmari kuatkan dengan tali-temali. Sesaat begitu tenda berdiri, jari-jemari Kusmari meraih cangkir-cangkir berwarna putih tulang dari dalam gerobak. Dengan layu, tangan yang mulai keriput itu mengelap cangkir-cangkir tersebut. Dia menyampaikan, setiap malam cangkir-cangkir berwarna putih tulang biasanya mendatangkan rezeki sekitar Rp 100-200 ribu.
‘’Tidak mengecewakan untuk dibawa pulang,’’ ujarnya saat ditemui Jawa Pos Radar Tuban di lapaknya kemarin (8/1).
Bahkan, sejak peristiwa pembunuhan Jaelan oleh orang mabuk beberapa hari lalu yang tidak jauh dari lapaknya, pendapatan sebesar itu masih dia dapatkan. Kusmari bertutur, daya beli masyarakat tidak terpengaruh atas kematian salah satu kawannya tersebut. Kus begitu dia akrab disapa, hanya bisa menyangsikan bagaimana sikap Pemkab Tuban pasca kejadian tersebut. Pria yang tinggal di Kelurahan Karangsari, Kecamatan Tuban ini menghawatirkan, pemkab setempat akan mengambil sikap terlalu tegas. ‘’Menertibkan PKL. Melarang kami (PKL, Red) berjualan di sini lagi,’’ cemasnya.
Pria yang sudah tujuh tahun berjualan di atas trotoar Jalan RE Martadinata di sisi timur tersebut berharap, sikap terlalu tegas yang menjadi kekhawatiran berjamaah oleh para PKL itu tidak sampai terjadi. Pasalnya, pemkab juga harus mengerti bahwa aktifitasnya dan PKL yang lain bukan kriminal atau pidana. Menurut dia, kegiatan berdagang tersebut merupakan aktifitas ekonomi semata. ‘’Kami (PKL, Red) berdagang yang halal. Tak ada yang lain,’’ tandasnya.
Kusmari menyadari, posisinya dan PKL lain saat ini melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 16 Tahun 2014 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Namun Kus menegaskan, pelanggaran tersebut hanyalah pelanggaran norma belaka. Menurutnya, pelanggaran normatif semacam itu tak akan merugikan banyak orang. Beda dengan tindak kriminal seperti pencurian, pembunuhan, dan pemerkosaan. Atau, tindak korupsi yang dilakukan para pejabat.
Pria tiga anak ini mengemukakan, terkait penertiban yang mengarah pada relokasi dia mengaku kurang setuju. Menurutnya, sampai saat ini belum ada tempat lain yang lebih strategis dari lokasi trotoar yang membentang dari ujung barat ke timur itu. Menurutnya, trotoar RE Martadinata adalah tempat yang tepat dan stretegis bagi wong cilik untuk berjualan. Lokasinya yang berbatasan langsung dengan pantai dan jalur pantura membuat orang nyaman karena dimanjakan suasana dan lalu lalang kendaraan. ‘’Sebagian, pembeli merupakan orang perjalanan. Sebagian lagi orang Tuban sendiri yang ingin menikmati suasana ngopi di pinggir pantai,’’ ujarnya.
Kus mengungkapkan, nantinya jika PKL direlokasi maka sebagian pembeli dari orang perjalanan dipastikan hilang. Dia meyakini, tempat relokasi disediakan tidak akan sestrategis trotoar seperti halnya di sepanjang trotoar RE Martadinata. Beberapa kali, dia menerima wacana relokasi ditempatkan di Pasar Sore dan Rest Area. Untuk wacana lokasi yang terakhir baru dibahas pada awal November 2021 lalu. Namun, sampai kini belum ada informasi lagi.
Kekhawatiran Kusmari terkait wacana relokasi PKL itu cukup beralasan. Sebab, pekerjaan PKL telah membuat diri dan keluarganya hidup selama tujuh tahun terakhir. Penghasilannya sebagai PKL yang rata-rata Rp 100-200 ribu per malam itu sangat berguna bagi biaya pendidikan sang anak. ‘’Tahun ini anak saya akan lulus SMA,’’ tuturnya.
Oleh sebab itu, pria yang dikarunia tiga orang anak itu mengaku sangat berkeberatan jika pemerintah akan menertibkan lapaknya dan kawan-kawannya. ‘’Semoga rencan relokasi itu tidak terjadi,’’ tuturnya.
Kusmari melanjutkan, PKL yang ada di trotoar RE Martadinata tersebut sebetulnya tidak perlu direlokasi. Terangnya, para PKL tersebut hanya perlu digeser lebih ke utara saja. Solusinya, pemerintah daerah mengeluarkann kebijakan reklamasi pantai. Menurutnya, hal itu lebih solutif dan humanis. Pria yang rambutnya sebagian telah memutih ini optimistis reklamasi pantai akan membuat PKL berkenan angkat kaki dari atas trotoar. Dan, perekonomian pun akan semakin menggeliat.
Lebih lanjut dia menegaskan, selama ini dirinya selalu mematuhi aturan normatif yang ada. Kus menjelaskan, dia baru membuka lapaknya pukul 16.00. Juga sepanjang malam, lapak tersebut selalu dijaga keamanan dan kebersihannya. Ketika pagi menjelang, dia bisa memastikan bahwa bekas lapaknya bersih dari sebutir atau selembar sampah hasil kegiatannya semalam. ‘’Lapak ini juga bongkar pasang. Tidak permanen,’’ ujarnya bahwa hal itu sudah sesuai dengan aturan normatif.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Tuban Heri Muharwanto menyampaikan, soal penertiban PKL di sepanjang trotoar jalan RE Martadinata memang menjadi wewenang pihaknya. Namun, pejabat penegak perda yang akrab disapa Heri itu menandaskan, penertiban tetap harus didahuli oleh kebijakan kepala daerah atau dinas terkait, yakni dinas koperasi perindustrian dan perdagangan (Diskopindag).
Lebih lanjut pejabat lulusan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) itu memastikan, PKL di trotoar tepi jalur pantura tersebut tidak akan diteretibkan untuk sementara waktu sebelum ada solusi yang jelas dan humanis. Dia sendiri mengaku, hal itu merupakan arahan Bupati Tuban Aditya Halindra Faridzky. Namun, solusi yang dikatakan Kusmari terkait reklamasi pantai tersebut dia memberikan dukungan. Menurutnya, reklamasi pantai itu pernah dilakukan Pemerintah Kota Makasar, Sulawesi Selatan di kawasan Pantai Losari. Dan, dari hasil reklamasi itu, kini menjadi pusat kegiatan ekonomi masyarakat.(sab/tok)