Kepada wartawan koran ini, Muis belum membeberkan hasil pemeriksaan perdana tersebut. Dia mengatakan akan menyampaikan di lain kesempatan.
Terkait pertimbangan tidak menahan yang bersangkutan, Muis menyampaikan, hal tersebut otoritas penyidik. ”Kemungkinan karena Budi kooperatif. Bisa jadi penahanan terhadap tersangka (Budi, red) akan dilakukan setelah pemeriksaan perdana ini,’’ ujar mantan jaksa Kejari Katingan, Kalimantan Tengah itu.
Budi ditetapkan sebagai tersangka rasuah dengan jeratan pasal 2 jo 3 jo 18 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo pasal 55 jo 64 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman hukuman maksimalnya penjara 20 tahun, denda Rp 1 miliar, serta membayar uang pengganti kerugian negara yang dikorupsi.
Perlu diketahui, kasus korupsi APBDes Bunut 2016-2019 mencuat kali pertama pada November 2021. Kasus tersebut terungkap ketika Inspektorat Tuban melakukan audit. Kejari Tuban menetapkan Nevi sebagai tersangka pada 10 November 2021. Dia didakwa mengorupsi APBDes. Modusnya, memotong anggaran setiap pekerjaan proyek fisik desa setempat sebesar 10—20 persen. Dalih pemotongan tersebut untuk membayarkan pajak.
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya, Nevi berkali-kali membuat pengakuan bahwa pemotongan tersebut atas perintah Budi. Pengakuan tersebut disertai beberapa bukti.
Pada 31 Mei 2022, Nevi divonis dua tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider satu bulan penjara, serta harus membayar kerugian negara Rp 106 juta subsider tiga bulan penjara.
Atas putusan tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan banding, namun ditolak Pengadilan Tinggi Surabaya. Tak puas, JPU mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Kini, upaya hukum tersebut masuk tahap pengiriman berkas. (sab/ds)
Untuk mendapatkan berita-berita terkini Jawa Pos Radar Tuban, silakan bergabung di Grup Telegram “Radar Tuban”. Caranya klik link join telegramradartuban. Sebelumnya, pastikan Anda sudah menginstal aplikasi Telegram di ponsel.