TOKYO – Jepang memperingati 13 tahun sejak gempa bumi dan tsunami dahsyat melanda wilayah timur laut negara itu dan mengakibatkan hilangnya lebih dari 22.000 orang, pada Senin.
Bencana 13 tahun lalu tersebut memicu bencana nuklir terburuk di dunia sejak krisis Chernobyl tahun 1986.
Meskipun pemulihan di daerah yang paling parah terkena dampak gempa bumi berkekuatan magnitudo 9,0 dan tsunami yang mengikutinya telah mengalami kemajuan pada tahun-tahun berikutnya, kehidupan masih belum kembali normal bagi hampir 29.000 orang yang masih mengungsi hingga tanggal 1 Februari.
Sedangkan upaya pembersihan di kompleks nuklir Fukushima Daiichi diperkirakan akan berlangsung selama beberapa dekade.
Pemerintah pusat berhenti mengadakan upacara peringatan di Tokyo pada tahun 2022, dan kota-kota di daerah yang terkena dampak kini mengadakan acara tahunan dalam skala lebih kecil.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida akan menghadiri upacara yang diselenggarakan di Prefektur Fukushima pada Senin ini.
Angka terbaru dari Badan Kepolisian Nasional Jepang yang dirilis Jumat menyebutkan jumlah korban tewas akibat bencana tersebut sebanyak 15.900 orang, sedangkan hingga akhir Februari 2020 masih hilang sebanyak 2.520 orang.
Sebagian besar kasus kematian dan orang hilang terjadi di prefektur Miyagi, Fukushima dan Iwate.
Menurut Badan Rekonstruksi Jepang, hingga Desember tahun lalu, kematian yang terkait dengan bencana tersebut, seperti karena penyakit atau bunuh diri yang disebabkan oleh stres, mencapai 3.802 orang.
Upaya pembersihan pasca bencana nuklir terus menjadi subyek kontroversi, di mana Perusahaan gabungan Tokyo Electric Power Company (TEPCO) Holdings bulan lalu memulai pelepasan keempat air radioaktif yang telah diolah dari pembangkit listrik Fukushima Daiichi yang lumpuh, ke Samudera Pasifik.
China telah memprotes pelepasan air tersebut dan memberlakukan larangan impor terhadap semua produk makanan laut dari Jepang sejak dimulainya pembuangan air pada bulan Agustus 2023.
Rusia juga telah membatasi impor makanan laut Jepang, sementara Hong Kong dan Makau, yang keduanya merupakan wilayah semiotonom China, juga mengambil langkah serupa.
Pemerintah Jepang dan TEPCO berpendapat bahwa pembuangan air limbah merupakan langkah penting menuju penghentian pembangkit listrik Fukushima Daiichi, yang mengalami krisis nuklir akibat gempa bumi dan tsunami. Pelepasan air radioaktif tersebut diperkirakan akan berlangsung sekitar 30 tahun.
Zona larangan bepergian terus diberlakukan di dekat pembangkit listrik tenaga nuklir itu sendiri, dan pekerjaan penonaktifan PLTN tersebut dijadwalkan akan berlanjut hingga antara tahun 2041 dan 2051. (*)
Sumber: Antara, Kyodo, Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan