Hammam menjelaskan, tiga temannya yang tinggal bersama berasal dari Bogor dan Bandung, Jawa Barat. Ketika guncangan dahsyat terjadi, Hammam mengaku tak bisa langsung lari keluar menyelamatkan diri. Sebab, guncangan yang dirasakan sangat kencang.
“Langsung mau lari, rasanya gimana. Karena kan goyang, terasa sangat kencang getarannya. Kurang lebih sekitar setengah menit, baru bisa lari keluar,” katanya. Ia bersama seorang temannya lari keluar menyelamatkan diri menuju sebuah taman, berjarak kurang lebih 15 meter dari apartemen. Saat itu, ia terkejut lantaran bangunan lain di sekitar apartemen banyak yang runtuh, porak poranda. “Apartemen yang saya tempati masih berdiri. Tapi sudah retak-retak. Kondisinya rawan dan membahayakan,” bebernya.
Pemuda yang menjabat Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kahramanmaras mengaku, merasakan tidur tak nyenyak, seperti biasanya. “Kalau firasat gak ada, tetapi pas saya tidur kebangun dua kali. Jam 2 dan jam 3 dinihari,” jelasnya. Sekarang, Hammam tinggal sementara di wisma KBRI Turki bersama sekitar 100 mahasiswa Indonesia lainnya. Sedangkan dari wilayah Semarang, cuma Hammam. “Untuk makan dan kondisi tempat tidur masih seadanya sesuai yang difasilitasi sama KBRI. Bantuan sudah ada. Bantuan pakaian dari teman-teman donasi Indonesia dan mahasiswa sekitar juga,” katanya.
Gempa dahsyat bermagnitudo 7,8, skala richer menewaskan kurang lebih mencapai 20 ribu orang. Hammam juga menyebutkan, data ter-update dari Pemerintah Turki ada 10 kota yang terdampak. Kondisi sekarang di tempat bencana juga masih tahap evakuasi terhadap orang yang terjebak reruntuhan bangunan gedung. “Yang saya dengar dari teman di sekitar tempat kejadian seperti itu. Masih dalam tahap evakuasi juga. Sekarang sudah banyak bantuan,” katanya.
Meski demikian, Hammam tak bisa kembali ke apartemen untuk mengambil barang-barang berharga miliknya. Pemerintah setempat belum mengizinkan dengan alasan keamanan. “Barang-barang belum boleh diambil, masih di apartemen dan dilarang masuk ke dalam gedung. Itu bangunan apartemen yang saya tempati retak-retak parah, tinggal nunggu ambruknya. Yang tertinggal banyak, di antaranya akta kelahiran, KTP, dan Paspor,” bebernya.
Hammam mengatakan belum mengetahui sampai kapan tinggal di asrama KBRI. Namun, ia berencana pulang ke Semarang dulu. Hanya saja, belum mengetahui kapan waktunya lantaran masih dalam proses pengajuan berkas-berkas. Hammam tinggal di Turki sejak 2019 usai lulus dari SMA IT Ihsanul Fikrika, Kabupaten Magelang. Sebelum SMA, sekolah SMP di Pekalongan dan tinggal di asrama. Sedangkan SD di Sekolah Alam Ar Ridho Semarang. Sekarang ia kuliah di Turki semester enam.
Ia menambahkan, nantinya ia akan mengikuti perkuliahan secara daring dari Semarang selama enam bulan. Hal ini pun atas keputusan dari Pemerintah Turki pasca terjadi gempa. “Karena barusan Pemerintah Turki memutuskan untuk seluruh perkuliahan di dilakukan online selama satu semester. Untuk asrama mahasiswa itu dipakai untuk korban bencana atau tempat evakuasi,” katanya. “Minta doanya saja untuk masyarakat Indonesia, biar kita yang di sini sehat selalu dan aman, serta bisa pulang dengan keadaan selamat,” harapnya.
Ayah Hammam, Rusmanto, mengaku bersyukur anaknya bisa selamat dari gempa bumi Turki. “Kemarin dia sudah memberikan kabar jika keadaan sudah berangsur normal. Dia juga sudah dipindahkan ke KBRI,” ujarnya. Sampai saat ini, Rusmanto sedang menunggu kabar lanjutan dari KBRI. Pasalnya banyak mahasiswa yang paspor-nya hilang. “Termasuk punya Hammam juga hilang. Padahal paspor itu untuk keluar masuk negara. Kita lagi menunggu kabar dari KBRI,” kata dia. Rusmanto juga belum mengetahui soal kelanjutan pendidikan anaknya karena banyak gedung perkuliahan yang rusak berat. (mha/aro/jpg)