Radartuban.jawapos.com – Penerapan pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 pada 2020-2021 berdampak buruk pada kesehatan mata siswa di Tuban. Indikasi tersebut terlihat dari meningkatnya kasus gangguan kesehatan mata berdasarkan temuan Yayasan Paramitra Jawa Timur setelah melakukan skrining kepada anak usia SMP/MTs.
Terbanyak kelainan refraksi atau gangguan mata rabun jauh dan rabun dekat. Bahkan, banyak yang mengalami minus 10 sampai 15.
Direktur Yayasan Paramitra Jawa Timur Asiah Sugianti mengatakan, selama 2019 hingga 2022, yayasannya melakukan skrining di sejumlah SMP dan MTS di Tuban.
Dia memaparkan, selama 2019, dari 12.936 siswa SMP/MTs yang diskrining, ditemukan 159 siswi yang matanya bermasalah dan diberi kacamata.
Selanjutnya, pada 2020 dari 7.309 siswa SMP/MTs yang diskrining, ditemukan 400 siswa yang matanya bermasalah.
Kemudian, selama 2021, dari 28.255 siswa jenjang SMP/MTS yang diskrining, ditemukan 478 siswa yang matanya bermasalah.
Tahun ini (2022), dari 26.127 siswa yang diskrining, 213 siswa ditemukan matanya bermasalah sampai harus dirujuk untuk mendapatkan kacamata.
‘’Selama 2020 dan 2021 meningkat. Penyebab meningkatnya anak yang mengalami gangguan kesehatan mata karena selama pandemi banyak yang melakukan pembelajaran daring,’’ ujarnya usai pelaksanaan puncak peringatan Hari Penglihatan Sedunia (WSD) di ruang rapat Ronggolawe Kantor Setda Tuban.
Selama pembelajaran daring tersebut, terang Asiah, siswa diberi smartphone sendiri. Sebagian besar tanpa pengawasan. Hal ini yang menjadikan smartphone bukan hanya untuk belajar, namun juga bermain game dan lainnya.
‘’Anak yang bermain gadget juga lupa waktu. Dampaknya mereka mengalami gangguan kesehatan mata serius,’’ ujarnya.
Berdasar temuan tersebut, kata Asiah, sejumlah siswa mengalami gangguan mata yang cukup parah. Salah satunya dari Kecamatan Montong yang mengalami kecanduan main game. Anak tersebut mengalami gangguan parah dan hampir buta. Setelah menjalani pengobatan selama satu bulan di Puskesmas Jetak, penglihatan si anak kembali pulih.
Perempuan asal Malang itu juga mendapat temuan lain yang mencengangkan. Satu anak mengalami gangguan mata hingga minus 15. Selama mengalami gangguan tersebut, dia tidak pernah mengeluh kepada orang tua maupun guru di sekolahnya. Itu yang menjadikan si anak tidak bisa melihat tulisan di papan tulis.
‘’Setelah diketahui, langsung kita rujuk dan diperiksa ke puskesmas. Selanjutnya beri kacamata oleh optik yang sudah bekerja sama dengan kami,’’ imbuhnya.
Asiah menyampaikan, skrining tersebut merupakan fokus pendampingan yayasannya selama lima tahun terakhir. Dia mengatakan, untuk sementara skrining hanya dilakukan terhadap siswa SMP/MTs. Dan, belum menyentuh siswa SMA.
Kalau skrining terhadap siswa SMA dilakukan, Asiah memerkirakan jumlah siswa yang ditemukan mengalami gangguan kesehatan mata jauh lebih banyak lagi. Terlebih, banyak anak yang memilih diam. Mereka takut dan malu berterus-terang terkait gangguan mata yang dialami.
‘’Ini yang menjadi tugas kami untuk mengedukasi tentang kesehatan mata pada siswa di sekolah,’’ tukasnya.
Yayasan Paramitra, lanjut Asiah, terus mendorong kepedulian pemerintah terhadap kasus kesehatan mata. Harapannya, ke depan keluar kebijakan Pemkab Tuban terkait penganggaran masalah kesehatan mata.
Sementara itu, Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinkes P2KB) Tuban Syahrul Afifa Ratna Sari mengatakan, program kesehatan mata sampai tahun ini belum menjadi prioritas. Karena itu, pemkab belum menganggarkan untuk penanganan gangguan kesehatan mata.
‘’Anggaran di dinkes tidak difokuskan untuk kesehatan mata, namun masuk dalam sub kegiatan anggaran untuk pencegahan penyakit tidak menular,’’ ujar Ratna, panggilan akrabnya saat menjawab pertanyaan audien pada forum dialog WSD itu.
Pos kegiatan tersebut, terang dia, bisa untuk menangani masalah kesehatan mata, baik di desa maupun di sekolah.
Ratna juga menyebut satuannya memiliki program Desa Siaga yang salah satu sasarannya kesehatan mata. (fud/ds)