SAYA terakhir nonton Arema di Stadion Kanjuruhan pada 2013 silam. Laga menjamu Persidafon itu cukup memuaskan untuk ditonton. Sang tuan rumah menang telak 5-2 di stadion tersebut.
Setelah itu, saya sudah disibukkan dengan kegiatan skripsi dan magang dari kampus. Hingga kesibukan pekerjaan saat ini yang membuat saya tidak pernah lagi mampir ke stadion.
Kaget dan sedih. Begitu mendengar ada ratusan orang meninggal hanya karena nonton sepak bola. Kabar terakhir dari akun ofisial Arema, kematian Aremania atas tragedi Kanjuruhan tembus 180 orang. Saya mencoba mencari tahu dari beberapa Aremania—bagaimana peristiwa itu bisa terjadi? Semua narasumber sepakat bahwa kematian ratusan fans sepak bola tersebut disebabkan karena pengamanan yang diduga asal-asalan.
Dimulai dari Stadion Kanjuruhan yang harusnya berkapasitas 42 ribu, tapi kabarnya tiket terjual melebihi kapasitas yang ada. Selanjutnya kekecewaan kekalahan atas Persebaya di kandang sendiri yang membuat beberapa fans turun lapangan.
Sebenarnya, bagi orang yang suka nonton bola, fans turun lapangan pascapertandingan adalah hal yang biasa. Tidak hanya di Indonesia, bahkan di seluruh dunia yang memiliki fans fanatik bola.
Fans yang turun lapangan itu bukan untuk memukul atau menganiaya para pemain bola. Toh, yang masih di lapangan itu pemain Arema. Dan, yang turun lapangan itu Aremania. Apa mungkin fans memukul idolanya sendiri? Mentok ya dipisuhi karena kecewa. Jika memang alasan keamanan, harusnya cukup membawa lari para pemain Arema masuk dalam ruang ganti. Untuk fans? Sudah biarkan di dalam lapangan.
Takut mereka anarkis? Turunkan anjing pelacak atau siram water canon.
Pengalaman saya sebagai pecinta sepak bola, anjing pelacak dan water canon sudah cukup membuat takut. Mereka itu hanya penonton sepak bola, bukan pendemo yang biasa mendorong barikade polisi. Tidak perlu diusir secara berlebihan sampai ditendang, dipukul, hingga ditembak gas air mata. Pak, sadar gak kalian, itu menyakiti!
Puncak kesalahan para aparat keamanan adalah saat beberapa gas air mata ditembakkan ke tribun yang penuh sesak penonton. Lho? Yang dianggap rusuh yang turun ke lapangan, kok yang ditembak gas yang berada di tribun? Are you joking, sir? Kalian yang setiap hari berpegang gas air mata, harusnya tahu kalau dampak gas air mata itu tak cukup membuat air mata keluar. Lebih dari itu, gas air mata bisa membunuh karena menyebabkan hipoksia atau kekurangan oksigen.
Salah sendiri tidak langsung meninggalkan stadion? Pertanyaan konyol ini pasti sering dilontarkan mereka yang tidak pernah nribun. Tidak pernah merasakan jadi penonton sepak bola Indonesia. Gini, pintu masuk dan keluar stadion sepak bola itu hanya muat dua atau tiga orang. Apa mungkin iya, ribuan orang di dalam stadion itu bisa makprul.
Diakomodir keluar secepat itu? Coba deh sekali-kali jadi penonton di stadion yang berbayar layaknya masyarakat pada umumnya.
Mohon izin bapak-bapak yang terhormat, Arema itu wajah sepak bola Indonesia. Jika bapak pernah menjadi fans sepak bola, pasti akan sepakat hal ini. Karena itu, banyak politisi yang berlomba-lomba menduplikat nama Arema.
Aremania itu fans santun. Dengan basis massa segitu besar, nyaris tidak pernah anarkis. Menang konvoi, kalah misuh-misuh. Bukannya itu hal biasa dalam fanatisme apa pun?
Satu hal yang membuat saya salut dari Aremania. Mereka selalu modal setiap akan nonton Arema di Stadion Kanjuruhan. Selalu beli tiket. Gak pernah nerobos penjagaan. Apalagi, jika mengingat sejarah bahwa Arema itu berdiri dan hidup dari tangan fans. Dari tiket penonton, penjualan merchandise, donatur, dan sebagainya. Bukan dari APBD atau APBN. Simbol wajah Indonesia yang sesungguhnya; gotong-royong.
Lalu kenapa kalian lukai wajah Indonesia ini, wahai bapak-bapak yang sering ada oknumnya? (*/ds)