Namanya pendek. Hanya dua susunan kata: Bambang Budiono. Tapi soal pemikiran dan gagasannya tentang sastra dan pendidikan, jangan tanya. Sastrawan cum pendidik anak-anak sekolah dasar (SD) (yang malu ketika membahas gaji guru) ini memiliki banyak ide yang terbilang mavericks.
DALAM bahasa sederhananya, mavericks adalah cara berpikir yang tidak jamak seperti orang pada umumnya. Tidak larut pada arus atau norma. Mandiri, tapi tidak individualis. Masuk dalam sistem, tapi memberontak. Mempertahankan hal-hal konvensional, tapi kreatif dan inovatif. Bayangkan, begitu rumit mendefinisikan orang satu ini. Serupa berpikir idealis di zaman yang tidak ideal.
Saya mengenalnya belum lama. Pertama kali berjumpa fisik pada 7 Agustus 2022. Kami bertemu dalam acara Tepung Seduluran Jamaah Literasi di rumah Penerbit Mitra Kraya yang diampu Mas Agus Ibrahim. Tepatnya di Dusun Lampah, Desa Rengel, Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban.
Namun secara dimensi, saya sudah mengenalnya cukup lama. Di circle penggerak literasi, namanya cukup masyhur. Cukup saja, biar dia tidak besar kepala.
Pertama kali mengenalnya, saya kategorikan dia sebagai pribadi yang santuy tapi bukan kader PSI, supel, dan ayah yang baik.
Yang terakhir sengaja saya ucapkan, sebab itu pesan dari anaknya.
Dalam ranah literasi, Bambang layak menjadi kepala dinas perpustakaan. Secara imajiner, sempat saya tawarkan posisi itu pada diirinya, tapi dia tidak mau.
Dan saya tidak memaksa, sebab itu tidak mungkin. Karena syarat menjadi kepala dinas perpustakaan harus PNS, dan dia tidak mau menjadi PNS.
Dia tidak pernah menyampaikan alasannya enggan jadi PNS. Mungkin saja pernah mendaftar, tapi selalu gagal. Hahaha…
Semenjak pertama bertatap rai lebih kurang dua setengah tahun lalu, kami jadi berteman baik.
Sebaik-baik pertemanan, bagi saya, tetap saja tidak ada makan siang gratis. Harus ada yang bisa saya berdayakan dari dirinya.
Sengaja saya pakai diksi diberdayakan, supaya saya tidak dianggap memanfaatkannya.
Meskipun toh kadang iya. Tapi tenang, saya memanfaatkan dia, eh maksud saya berdayakan dia pada hal-hal positif.
Hanya saja, sering kali dia tidak sadar sedang saya sesatkan pada jalan yang lurus.
Berkat sering saya manfaatkan, eh salah lagi, maksud saya berdayakan, kini dia bisa menerbitkan buku dari kumpulan cerpennya yang selama ini dikirim ke redaksi Aksara Sastra Jawa Pos Radar Tuban. Judulnya: Ornamen Kesunyian.
Judul buku yang sangat tidak populer. Gini kok mau minta laku keras. Huhahaha…
Harusnya, dia berterima kasih kepada saya. Andai tidak saya manfaatkan, eh salah ucap lagi, maksud saya berdayakan untuk mengirim naskah cerpennya—mengisi rubrik Aksara Sastra Jawa Pos Radar Tuban yang saya ampu, mungkin buku yang sekarang di tangan anda ini tidak akan pernah terbit.
Itulah alasan mendasar dia harus berterima kasih kepada saya. Hahaha…
Tapi sial, bapak anak satu ini memiliki kebiasaan buruk untuk menandingi kebiasaan buruk saya.
Bukannya terima kasih, malah memanfaatkan saya (untuk kali ini tidak saya sengaja, niatnya memang memanfaatkan saya). Hanya bermodalkan mbayari kopi satu cingkir dan dengan prolog yang tidak ada sungkan-sungkannya, tetiba saja meminta saya untuk memberikan kata pengantar di buku kumpulan cerpennya ini.
Dan sialnya lagi, saya tidak dikasih kesempatan untuk membaca keseluruhan.
Alasannya, kumpulan cerpen yang dibukukan ini adalah naskah yang sebagian besar dikirim ke saya. Dan saya editornya.
Bajigur. Itulah Bambang. Tapi tak apa. Kalau tidak ngawur seperti ini, kapan lagi nama saya bisa turut mejeng sebagai penulis kata pengantar di buku yang ditulis oleh cerpenis kondang, kolumnis pilih tanding, cum pendidik yang hanya mau menjadi guru jika disediakan tempat khusus merokok ini.
Harus saya akui, Bambang merupakan cerpenis kondang. Sejauh saya membaca setiap naskah cerpen yang dikirim ke meja redaksi Aksara Sastra Jawa Pos Radar Tuban, adalah yang terbaik.
Saya menulis ini dengan sadar, bukan memosisikan sebagai pengantar.
Sebagai penyuka sastra, cer pen-cerpen yang ditulis Bambang mendekati paripurna.
Membacanya seperti makan rempeyek yang baru saja digoreng, renyah, penuh imajiner, dan kadang dengan klimaks yang sulit ditebak.
Menggambarkan Bambang itu sendiri. Pribadi yang sulit diraba. Memahaminya harus menggunakan seni. Pun dengan karya-karyanya.
Wabakdu, tugas saya hanya mengantarkan, bukan memandu.
Selebihnya, saya pasrahkan kepada yang menulis.
Akhir kata, selamat membaca, eh membeli dulu ding. Saya jamin anda tidak akan menyesal. Insya Allah. (*)