SALAH satu tanggung jawab moril media adalah menumbuhkan minat baca. Tanggung jawab ini linier dengan pola-pola kerja media: menyajikan berita untuk dibaca.
Lantas, mengapa minat baca masyarakat tak kunjung tumbuh. Padahal, di era kiwari ini media terus bermunculan—bak jamur di musim penghujan. Tak terhitung berapa banyak jumlahnya. Dari media nasional hingga lokal.
Bahkan, hingga sekup yang paling kecil—desa, rerata sudah memiliki website sendiri. Gunanya untuk mengabarkan segala informasi selingkupan desa dengan caranya sendiri, dan dengan tujuan yang sama: agar dibaca.
Lalu, apa lagi yang kurang dari upaya menum buhkan minat baca masyarakat. Kok data United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menyebut, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan. Masuk lima besar terbawah dari 61 negara di dunia atau hanya 0,001 persen.
Artinya, dari seribu orang Indonesia, cuma satu yang rajin membaca. Sungguh sulit dipercaya dan seakan terlalu berlebihan dalam menilai. Kok bisa.
Jangan-jangan ini hanya mimpi buruk. Tapi setelah bangun, ternyata benar, kita masih berada di negara 0.1, padahal sekarang sudah 4.0.
Ironisnya lagi, meski minat baca orang Indonesia rendah. Tapi data We Are Social mengungkapkan, rerata orang Indonesia melihat gadget 9 jam per hari. Ini sekaligus menjadi 10 besar negara dengan umat yang paling cerewet di dunia maya. Baik mengomentari pemberitaan di media maupun postingan pejabat di media sosial.
Melihat persoalan yang amat pelik tersebut. Jawa Pos Radar Tuban mencoba mengurai problem menjadi semacam solusi yang bisa diharapkan. Namun, sebelum melangkah sejauh itu, kiranya perlu—merenung sejenak—apakah kita sudah menjadi bagian dari generasi yang suka membaca.