Dampak-dampak positif atas kehadirannya pun muncul. Kualitas hidup warga dukuh yang dipisahkan dari Kabupaten Tuban oleh Bengawan Solo itu akan lebih diatensi. Infrastrukturnya juga bakal diperbaiki dan dicukupi.
Saya mempersepsikan pertemuan Bupati Lindra dengan Dukuh Pencol ini pertemuannya dengan pers. Tanpa pers, kecil kemungkinan bupati juga mantan anggota DPRD Jawa Timur itu menyambangi dukuh lebih dekat dengan Kabupaten Bojonegoro tersebut.
Tentu, persepsi ini boleh disangkal. Persepsi memang cuma persepsi. Sifatnya tak pasti. Hanya kemungkinan didasari sekian persen keyakinan atau kepercayaan diri semata.
Terlepas dari persepsi di atas, warga Dukuh Pencol saya temui beberapa hari pasca kedatangan Mas Lindra di sana mengucapkan terima kasih kepada Jawa Pos Radar Tuban.
Menurut warga sekaligus Ketua RT 4 RW 5 Dukuh Pencol bernama Utomo itu menuturkan, tanpa pers, dukuh dikepung Desa Pilang, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro itu tipis kemungkinannya dikunjungi orang nomor satu di Tuban.
Kalau dikatakan saya atau media saya berbangga hati, tentu benar. Namun, porsinya tak mengalahkan kebanggaan kami terhadap Bupati Lindra.
Tak banyak bupati miliki kesadaran terbuka terhadap pers. Lebih banyak, bupati menutup diri. Menolak dengan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan kritik dan saran. Memberangus
pandangan hingga wacana diselubungkan pers melalui karya-karya jurnalistik.
Ke depan, apa yang dilakukan Mas Lindra agaknya wajib diikuti seluruh jajarannya. Para aparatur sipil negara di tubuh Pemkab Tuban perlu lebih membuka diri dan responsif terhadap pers. Selain itu, informasi-informasi diperlukan pers guna menyumbangkan kritik dan saran, menyusun pandangan dan wacana, diberikan.
Secara personal saya mendeklarasikan, pers tak pernah punya itikad buruk tehadap pemerintah. Pers hanya menjalankan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi sebagaimana dikonsensuskan negara.