Kegagalan pemerintah dalam mengendalikan harga dan pasokan minyak goreng (migor) karena kuatnya pengaruh mafia migor seakan menjadi titik terlemah negara. Dan, ini sekaligus menandaskan bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja.
Oleh: AHMAD ATHO’ILLAH, Wartawan Jawa Pos Radar Tuban
SEPERTINYA baru kali ini saya mengawali tulisan dengan amarah yang hendak membuncah. Namun, sebelum emosi menguasai setiap kata yang hendak saya goreskan, lekas-lekas saya ambil napas dan berkata: “Masih ada harapan untuk memperbaiki negeri ini.”
Sepertinya sudah menjadi “konsensus” bersama bahwa problem minyak goreng ini tidak lepas dari segala bentuk permainan. Tampak terlihat ketika Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi membuat aturan harga eceran tertinggi (HET) migor Rp 14 ribu, stok migor tiba-tiba menghilang dari peredaran.
Namun, ketika aturan HET Rp 14 ribu dicabut untuk migor kemasan, dan hanya diperuntukkan migor curah, kini stok migor kemasan tiba-tiba kembali melimpah setelah harga melambung jauh di atas HET. Sungguh ironi, tapi nyatanya seperti ini. Entah seperti apa bentuk game-nya, yang jelas ada kartel dalam setiap produk barang yang menghasilkan keuntungan dalam jumlah besar.
Setidaknya, pendapat yang saya ungkapkan dengan meminjam diksi konsensus, bukanlah asumsi. Sebab, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi pun sudah mengakui. Dalam rapat dengar pendapat beberapa hari lalu bersama Komisi VI DPR RI, Mendag membeber ada dugaan mafia migor yang turut andil memainkan harga hingga menjadikannya langka. Pun Mendag juga mengakui kuatnya cengkraman mafia migor membuat pemerintah seakan tak berdaya.
Hingga akhirnya pada titik terlemah, Mendag meminta maaf kepada rakyat karena sudah tidak sanggup lagi melawan kartel migor yang begitu kuat. Sungguh ironi di negeri sendiri. Sial sesial sialnya.
Lantas, pertanyaan sederhananya: Lalu kepada siapa rakyat mengaduh, ketika pemerintah pun rapuh? Sungguh sudah tidak ada lagi pilihan, kecuali sengsara di negeri sendiri.
Ingin (rakyat) rasanya marah. Tapi marah kepada siapa? Yang ada mereka hanya tertawa ketika melihat pemerintahnya sudah tidak berdaya. Sungguh konyol negeri ini. Lantas, untuk siapa sumber daya alam yang melimpah di negeri ini.
Sebagai negara penghasil terbesar kelapa sawit mentah Crude Palm Oil (CPO) di dunia. Sungguh tidak masuk akal Indonesia menghadapi krisis migor. Lagi-lagi ingin rasanya (rakyat) berteriak lantang. Tapi sungguh sial tidak ada daya. Sebab, problem yang dihadapi negeri ini sudah tidak bisa dilogika lagi. Entah permainan seperti apa yang menggerogoti negeri ini hingga pemerintah pun seakan tidak memiliki nyali untuk menyelsaikan permasalahan ini.
Jauh sebelum migor menjadi problem nasional. Sudah banyak hal yang membuat rakyat bingung dengan negeri ini. Ketika bangsa ini didaku sebagai lumbung pangan, tapi kenapa masih ada kebijakan impor? Lalu kemana hasil pangan yang dihasilkan?
Katanya surplus beras, tapi kenapa masih ada rakyat miskin mendapat bantuan beras bau dan berkutu. Lalu kemana beras yang bagus dan berkualitas. Katanya stok pupuk melimpah, tapi kenapa stok pupuk subsisi selalu susah dicari, tapi melimpah untuk pupuk nonsubsidi. Sungguh lucu memang negeri ini, kata tetanggaku yang namanya Supardi.
Bukan rakyat tidak tahu dengan orang-orang yang “mengontrol” negeri ini. Rakyat tahu akan hal itu. Sungguh. Hanya saja rakyat tidak tahu harus berbuat apa. Lebih tepatnya rakyat percaya kepada pemerintah.
Semoga bisa dimengerti, rakyat bukan objek yang bisa dibodohi. (*)