RADAR TUBAN – Peraturan Daerah (Perda) Nomor 05 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan sudah tidak relevan. Ibarat teknologi, produk hukum daerah perihal retribusi sampah ini sudah ketinggalan zaman.
Padahal, potensi penda patan dari retribusi sampah ini cukup lumayan jika mampu dikelola dengan baik.
Sebagaimana disebutkan dalam perda tersebut, tarif retribusi sampah rumah tangga hanya dikenakan biaya Rp 1.000 hingga Rp 3.000 per bulan. Nominal yang sangat minim mengingat sudah 12 tahun perda diberlakukan.
Kepala Bidang Persampahan, Limbah Bahan Bahaya Beracun (B3) Dinas Lingkungan Hidup dan Perhubungan (DLHP) Tuban Arwin Mustofa membenarkan perihal minimnya retribusi sampah tersebut. Dan sudah lebih dari satu dasawarsa tanpa revisi.
Padahal, perubahan sosial terus berjalan. Sepuluh tahun lalu, nominal Rp 1.000 mungkin masih bisa untuk membeli setengah kilo beras. Tapi tidak untuk saat ini.
Parkir kendaraan bermotor saja sudah Rp 2.000. Artinya, retribusi sampah yang hanya Rp 1.000- 3.000 per bulan sudah sangat tidak relevan. Namun, masih saja dipertahankan.
Disampaikan Arwin—sapaannya, sepanjang 2022 lalu, pendapatan asli daerah (PAD) dari retribusi sampah terkumpul sebesar Rp 216 juta.
‘’Dari target 168,5 juta per tahun,’’ katanya kepada Jawa Pos Radar Tuban kemarin (31/5).
Jika dari retribusi rata-rata Rp 2.000 per bulan saja bisa menghasilkan pendapatan sebesar Rp 216 juta. Maka, PAD dari sampah bisa mencapai Rp 1 miliar lebih andai retribusinya direvisi menjadi Rp 5 ribu per bulan. Apalagi jika Rp 10 ribu.
Sebab, dalam praktiknya saat ini, tarif retribusi sampah di perumahan rata-rata sudah Rp 30-40 ribu per bulan, bahkan ada yang lebih. Artinya, kenaikan Rp 10 ribu masih sangat wajar.
‘’Saya malah baru tahu kalau retribusi sampah yang diatur perda itu hanya Rp 1.000-3.000 per bulan,’’ ujar Amin, salah satu warga di Perumahan Widengan, Kecamatan Semanding.