Radartuban.jawapos.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 128 Tahun 2015 yang menganulir pasal 33 huruf g dan pasal 50 ayat 1 huruf c Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 perihal syarat calon kepala desa (cakades) harus terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di desa setempat paling kurang satu tahun sebelum mendaftar, membuka peluang bagi siapa saja mencalonkan diri menjadi kades.
Bahkan, lintas provinsi pun tidak menjadi masalah. Terpenting warga negara Indonesia (WNI).
‘’Sejak pilkades (pemilihan kepala desa) serentak 2019 lalu, aturan bertempat tinggal minimal satu tahun itu sudah dihapus. Jadi, siapa saja bisa mencalonkan diri, asal WNI,’’ kata Kabid Pemberdayaan Masyarakat Desa Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dinsos P3A PMD) Tuban Suhut kepada Jawa Pos Radar Tuban kemarin (31/7).
Ditegaskan Suhut, pasca putusan MK terkait syarat cakades tersebut, kini setiap WNI memiliki hak yang sama untuk mencalonkan diri menjadi kades. Disampaikan Suhut, contoh kasus yang sering muncul di tengah masyarakat adalah cakades pendatang baru, atau cakades yang baru pulang dari tanah rantau. Misalnya, warga dari luar desa yang baru berdomisili di desa setempat setelah ada pertalian pernikahan atau warga yang bertahun-tahun bekerja dan menetap di luar kota atau luar negeri, lalu pulang ke kampung halaman dan tiba-tiba ingin mencalonkan diri.
‘’Biasanya, mereka ingin mencalonkan diri menjadi kades karena ingin membawa perubahan di desanya, tapi karena aturan domisili itu, sehingga tidak bisa mencalonkan diri. Tapi itu dulu, sekarang tidak ada lagi aturan seperti itu,’’ ujarnya.
Namun begitu, terang Suhut, tidak lantas setelah terpilih menjadi kades bebas berdomisili. Ditegaskan dia, ada aturan mengikat bagi kades terpilih, yakni wajib berdomisili di desa setempat selama menjabat.
‘’Kalau untuk persyaratan pencalonan memang tidak ada aturan harus warga setempat. Tetapi, setelah terpilih wajib berdomisili di desa setempat,’’ katanya.
Lebih lanjut Suhut menjelaskan, syarat wajib berdomisili di desa setempat setelah terpilih itu mengikat—tidak bisa ditawar.
‘’Misalnya, tinggal di desa sebelah, tapi menjabat di desa setempat. Tidak bisa seperti itu. (Berdomisili di desa setempat, Red) hukumnya wajib,’’ tegasnya.
Bagaimana jika aturan yang mengikat tersebut dilanggar? Pejabat alumnus Universitas Kediri ini menegaskan, bagi kades terpilih yang melanggar aturan berdomisili tersebut dapat dikenakan sanksi hingga pencopotan.
‘’Camat bisa memberikan peringatan hingga mengusulkan pencopotan jika aturan itu (berdomisili di desa setempat, Red) tidak diindahkan,’’ tandasnya.
Sebagaimana diketahui, pada 2013 lalu, pilkades di Desa Sukorejo, Kecamatan Parengan, berakhir dengan sengketa akibat cakades terpilih tidak memenuhi syarat domisili satu tahun berturut-turut—saat masih menggunakan aturan lama.
Nah, pada pilkades serentak 2022 nanti, kejadian serupa pada 2013 dipastikan tidak akan terulang. Sebab, dalam pelaksanaan pilkades serentak kali ini tidak ada aturan domisili bagi calon kepala desa. (tok)