Radartuban.jawapos.com – Fenomena kelangkaan pupuk subsidi seakan menjadi kebiasaan saban menjelang musim tanam. Petani sungguh sangat bergantung pada pupuk subsidi kimia. Padahal, yang demikian juga tidak baik untuk kesuburan tanah.
Sebagaimana yang disampaikan Bendahara Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Provinsi Jawa Timur Aris Yulianto. Ketergantungan petani terhadap pupuk kimia telah membuat lahan pertanian di Tuban dalam kondisi “sakit”.
Menurut Aris, kadar organik lahan pertanian di Tuban menurut kajiannya rata-rata kurang dari 1 persen atau hanya tinggal nol sekian persen. Padahal, harusnya kadar organik pada tanah minimal 5 persen.
Keprihatinan HKTI terhadap kondisi lahan pertanian di Tuban yang “sakit” tersebut diamini Sekretaris Dinas Ketahanan Pangan Pertanian Perikanan (DKP3) Tuban Edi Sunarto.
Dikatakan dia, benar adanya bahwa pupuk kimia mengikis kadar organik pada tanah. Karena itu, dia mengajak petani di Kota Legen mulai migrasi ke pupuk organik. Sebab, hanya pupuk organik yang bisa mengembalikan kadar organik tanah yang sudah terkikis hingga di bawah satu persen.
Hanya saja, terang Edi, revolusi dari pertanian kimia ke organik tak semudah lisan berucap. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menormalkan kembali kadar tanah. Dari merubah mindset petani yang sudah kadung melekat dengan pupuk kimia membutuhkan waktu hingga menunggu kealamiahan organik tanah kembali normal setelah “sakit” akibat pupuk kimia.
‘’Intinya, revolusi pertanian kimia ke organik ini butuh komitmen amat serius. Petani harus mau menerima banyak konsekuensi,’’ tuturnya.
Selain waktunya yang relatife lama, Edi menerangkan, salah satu konsekuensi dari pertanian organik adalah produksi atau hasil panen tanaman tidak bisa semelimpah ketika menggunakan pupuk subsidi. Itu karena pupuk organik menumbuhkan tanaman secara alami benar, tanpa injeksi atau akselerasi.
Dia melanjutkan, sejak pertanian organik ini mulai populer beberapa tahun terakhir, masyarakat yang behasil bermigrasi ke pertanian organik secara maksimal baru ditemukan di Desa Karangtinoto, Kecamatan Rengel.
‘’Selain di situ, masih belum maksimal,’’ bebernya. (sab/tok)