27.4 C
Tuban
Saturday, 23 November 2024
spot_img
spot_img

Pentas Teater Ranggalawe Mangkat, Ingatkan Peristiwa Heroik 700 Tahun Silam

spot_img

Peristiwa heroik yang berakhir tragis dialami Ranggalawe 700 tahun silam. Untuk mengingatkan kembali, Komunitas Warna mementaskan teater berjudul Ranggalawe Mangkat. Pertunjukan tersebut dihelat di Pendapa Kridha Wicaksana, Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding, Sabtu (2/7).

YUSAB ALFA ZIQIN, Radar Tuban

SABTU siang itu, Pendapa Kridha Wicaksana didekor serupa palagan perang. Itu untuk menguatkan scene paling menegangkan; pertarungan Ranggalawe dan Kebo Anabrang. Untuk menciptakan suasana pertempuran yang abstrak, latar panggung didominasi warna hitam kelam kain backdrop. Untuk mengaduk-aduk emosi penonton, selama pertempuran diiringi musik gamelan kontemporer yang rancak.

Pemeran Ranggalawe dan Kebo Anabrang begitu totalitas mengadu kelincahan tendangan, dan pukulan. Mereka bersemangat saling membunuh. Di akhir pertempuran yang penuh intrik, jurus, dan aji tersebut, aktor yang memerankan Kebo Anabrang tampil digdaya. Sementara Ranggalawe meregang nyawa. Dia bersimbah darah.

Akhir adegan ini mempertontonkan pengiriman abu jenazah Ranggalawe ke Kadipaten Tuban. Pihak Kadipaten Tuban, utamanya dua istri Ranggalawe bernama Tirtawati dan Martaraga menolak abu jenazah tersebut. Mereka tidak percaya suaminya gugur.

Dalam pertunjukan tersebut, sutradara Arifin juga memunculkan sosok Dyah Halayuda. Dominannya peran Dyah Halayuda dalam pertunjukan tersebut, kata sang sutradara, merujuk beberapa buku yang dibaca dan naskah drama yang digarap.

Baca Juga :  Tak Ada Asuransi Bagi Perahu, Pembangunan Tambat Labuh Jadi Solusi

Dyah Halayuda merupakan tokoh penyala konfik antara Ranggalawe dengan Majapahit. Sosok ini punya nama lain Ramapati. Dalam pertunjukan berdurasi sekitar 25 menit tersebut, aksi Dyah Halayuda ditekankan ketika scene Raden Wijaya bimbang menyikapi agresi Ranggalawe yang timbul akibat tidak terima melihat Nambi diangkat sebagai Rakryan Maha Patih.

Dyah Halayuda kemudian membisiki Raden Wijaya untuk tidak mengampuni Ranggalawe yang dianggap memberontak.

Melalui beragam intrik dan kelicikan, akhirnya raja pertama Majapahit itu pun kerasukan ”nyanyian” Dyah Halayuda. Dengan kekuasaannya, putra mantu Raja Singasari Kertanegara itu mengirimkan pasukan yang dipimpin Kebo Anabrang dan berhasil menghadang pasukan Ranggalawe yang tengah menuju Majapahit. Penghadangan itu terjadi tepi Sungai Tambak Beras (kini turut wilayah Jombang).

Perang pun tak terhindarkan. Ranggalawe tewas setelah diliciki Kebo Anabrang dalam pertempuran di tengah sungai. Namun, tak berselang lama Kebo Anabrang menyusul mati. Dia ditikam Lembu Sora, seorang senopati Majapahit sekaligus paman Ranggalawe yang tidak tega melihat kematian keponakanya.

Arifin mengatakan, dalam Kitab Pararaton, pertempuran Ranggalawe dengan Kebo Anabrang menjadi scene klimaks menjelang pertunjukan rampung. Ipin sapaan karibnya mengemukakan, pertunjukan Ranggalawe Mangkat sangat relevan dengan Festival Kota Lama yang digelar Pemerintah Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding.

Baca Juga :  Tebing Kali Kening Longsor, Ada Empat Rumah di Dekat Titik Longsor

Seperti diketahui, Desa Prunggahan Kulon merupakan lokasi yang diyakini sebagai Keraton Kadipaten Tuban di masa silam. Keeksisan sejarah, kata dia, sangat penting agar masyarakat setempat tahu kalau dulunya ada keraton di sini. Dipimpin Ranggalawe sebagi adipati.

Dia menduga, saat ini tidak semua warga desa setempat, apalagi se-Kabupaten Tuban tahu riwayat Adipati Tuban yang dilantik pada 728 tahun silam tersebut.

Sutradara 45 tahun ini melanjutkan, isi cerita pementasan Ranggalawe Mangkat hampir sama dengan kisah-kisah Ranggalawe yang masyhur.

Terpisah, Siswoko, kepala desa (kades) setempat berkomentar usai pementasan tersebut rampung. Dia mengatakan, pertunjukan tersebut tidak hanya menghibur, namun juga mengingatkan peristiwa sejarah Ranggalawe.

Dia menegaskan, ingatan-ingatan sejarah tentang Ranggalawe  akan terus dijaga di desanya. Desa Prunggahan Kulon tidak boleh putus ingatan atas kisah Adipati kedua Tuban tersebut. ”Itu karena Desa Prunggahan Kulon merupakan daerah yang diyakini sebagai keratonnya Ranggalawe di masa silam,” tutur kades kelahiran 1980 itu.

Selain untuk pengetahuan, lanjut Siswoko, kisah heroik dan tragis Ranggalawe sarat pesan moral. Paling pokok, seseorang harus punya keberanian melawan ketidakadilan. Seperti yang dilakukan Ranggalawe. (*/ds)

Peristiwa heroik yang berakhir tragis dialami Ranggalawe 700 tahun silam. Untuk mengingatkan kembali, Komunitas Warna mementaskan teater berjudul Ranggalawe Mangkat. Pertunjukan tersebut dihelat di Pendapa Kridha Wicaksana, Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding, Sabtu (2/7).

YUSAB ALFA ZIQIN, Radar Tuban

SABTU siang itu, Pendapa Kridha Wicaksana didekor serupa palagan perang. Itu untuk menguatkan scene paling menegangkan; pertarungan Ranggalawe dan Kebo Anabrang. Untuk menciptakan suasana pertempuran yang abstrak, latar panggung didominasi warna hitam kelam kain backdrop. Untuk mengaduk-aduk emosi penonton, selama pertempuran diiringi musik gamelan kontemporer yang rancak.

Pemeran Ranggalawe dan Kebo Anabrang begitu totalitas mengadu kelincahan tendangan, dan pukulan. Mereka bersemangat saling membunuh. Di akhir pertempuran yang penuh intrik, jurus, dan aji tersebut, aktor yang memerankan Kebo Anabrang tampil digdaya. Sementara Ranggalawe meregang nyawa. Dia bersimbah darah.

Akhir adegan ini mempertontonkan pengiriman abu jenazah Ranggalawe ke Kadipaten Tuban. Pihak Kadipaten Tuban, utamanya dua istri Ranggalawe bernama Tirtawati dan Martaraga menolak abu jenazah tersebut. Mereka tidak percaya suaminya gugur.

- Advertisement -

Dalam pertunjukan tersebut, sutradara Arifin juga memunculkan sosok Dyah Halayuda. Dominannya peran Dyah Halayuda dalam pertunjukan tersebut, kata sang sutradara, merujuk beberapa buku yang dibaca dan naskah drama yang digarap.

Baca Juga :  Jadi Jamuan Khusus Imlek, Permintaan Buah Meningkat

Dyah Halayuda merupakan tokoh penyala konfik antara Ranggalawe dengan Majapahit. Sosok ini punya nama lain Ramapati. Dalam pertunjukan berdurasi sekitar 25 menit tersebut, aksi Dyah Halayuda ditekankan ketika scene Raden Wijaya bimbang menyikapi agresi Ranggalawe yang timbul akibat tidak terima melihat Nambi diangkat sebagai Rakryan Maha Patih.

Dyah Halayuda kemudian membisiki Raden Wijaya untuk tidak mengampuni Ranggalawe yang dianggap memberontak.

Melalui beragam intrik dan kelicikan, akhirnya raja pertama Majapahit itu pun kerasukan ”nyanyian” Dyah Halayuda. Dengan kekuasaannya, putra mantu Raja Singasari Kertanegara itu mengirimkan pasukan yang dipimpin Kebo Anabrang dan berhasil menghadang pasukan Ranggalawe yang tengah menuju Majapahit. Penghadangan itu terjadi tepi Sungai Tambak Beras (kini turut wilayah Jombang).

Perang pun tak terhindarkan. Ranggalawe tewas setelah diliciki Kebo Anabrang dalam pertempuran di tengah sungai. Namun, tak berselang lama Kebo Anabrang menyusul mati. Dia ditikam Lembu Sora, seorang senopati Majapahit sekaligus paman Ranggalawe yang tidak tega melihat kematian keponakanya.

Arifin mengatakan, dalam Kitab Pararaton, pertempuran Ranggalawe dengan Kebo Anabrang menjadi scene klimaks menjelang pertunjukan rampung. Ipin sapaan karibnya mengemukakan, pertunjukan Ranggalawe Mangkat sangat relevan dengan Festival Kota Lama yang digelar Pemerintah Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding.

Baca Juga :  Kades dan Perangkat yang Tak Miliki Bengkok, Kini Dapat Penghasilan Tambahan

Seperti diketahui, Desa Prunggahan Kulon merupakan lokasi yang diyakini sebagai Keraton Kadipaten Tuban di masa silam. Keeksisan sejarah, kata dia, sangat penting agar masyarakat setempat tahu kalau dulunya ada keraton di sini. Dipimpin Ranggalawe sebagi adipati.

Dia menduga, saat ini tidak semua warga desa setempat, apalagi se-Kabupaten Tuban tahu riwayat Adipati Tuban yang dilantik pada 728 tahun silam tersebut.

Sutradara 45 tahun ini melanjutkan, isi cerita pementasan Ranggalawe Mangkat hampir sama dengan kisah-kisah Ranggalawe yang masyhur.

Terpisah, Siswoko, kepala desa (kades) setempat berkomentar usai pementasan tersebut rampung. Dia mengatakan, pertunjukan tersebut tidak hanya menghibur, namun juga mengingatkan peristiwa sejarah Ranggalawe.

Dia menegaskan, ingatan-ingatan sejarah tentang Ranggalawe  akan terus dijaga di desanya. Desa Prunggahan Kulon tidak boleh putus ingatan atas kisah Adipati kedua Tuban tersebut. ”Itu karena Desa Prunggahan Kulon merupakan daerah yang diyakini sebagai keratonnya Ranggalawe di masa silam,” tutur kades kelahiran 1980 itu.

Selain untuk pengetahuan, lanjut Siswoko, kisah heroik dan tragis Ranggalawe sarat pesan moral. Paling pokok, seseorang harus punya keberanian melawan ketidakadilan. Seperti yang dilakukan Ranggalawe. (*/ds)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img

Terpopuler

spot_img

Artikel Terbaru

spot_img
spot_img