Menjaga eksistensi budaya Jawa terus dilakukan Indah Sri Haripeni dengan menjadi dwijo atau guru pranatacara adat Jawa. Aktivitas tersebut sekaligus menuntutnya menjadi penjaga keindahan dan kehalusan bahasa krama inggil.
MAHFUDZ MUNTAHA, Tuban, Radar Tuban
‘’GUSTI mugi wahyaning mongso kolo demawa ing kodrat sangking gusti kang akaryo jagad.’’ Begitu sepenggal kalimat pembuka dalam pranatacara yang diucapkan Indah Sri Haripeni saat menjadi master of ceremony (MC) atau pranatacara nikah adat Jawa.
Ketika diwawancarai Jawa Pos Radar Tuban kemarin (4/7), Indah, sapaannya memperlihat bagaimana bahasa krama inggil tertanam dalam kebiasaannya dalam komunikasi sehari-hari. ”Hangleluri kabudayan Jawi meniko kalebet ngawontenaken pawiyatan les MC (Melestarikan kebudayaan Jawa itu termasuk mengadakan pelatihan les MC, Red),” tutur dia mengawali wawancara.
Ya, sehari-harinya Indah adalah seorang mentor atau guru pranatacara dari Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani). Dia menggeluti dunia pranatacara sejak 2010. ”Dua belas tahun lalu saya baru mulai masuk kelas pelatihan,’’ tuturnya. Pada 2012 atau dua tahun kemudian, perempuan 51 tahun ini menjadi dwijo atau guru. Status tersebut tak begitu saja diemban Indah. Untuk menjadi guru, dia tidak hanya mengandalkan jam terbangnya yang relatif singkat, dua tahun, namun juga harus lulus tes. Setelah dinyatakan lulus, Indah mengikuti penataran selama enam bulan.
Kemampuan Indah mengucapkan bahasa krama inggil tanpa sengaja tertanam sejak dini. Indah kecil sejak kecil terbiasa mendengar gending-gending Jawa. Apalagi, ayahnya yang kepala Desa Sumurjalak, Kecamatan Plumpang memiliki gamelan. ‘’Gending-gending Jawa itu sudah sangat akrab dengan telinga saya,’’ tuturnya.
Indah menyelesaikan pendidikan SD hingga SMA di Plumpang. Setelah lulus pendidik menengah atas, dia menempuh prodi administrasi negara di Universitas Brawijaya Malang. Setelah wisuda, dia menikah dan bergelut dengan aktivitas rutin sebagai ibu rumah tangga.
Persinggungan ibu tiga anak ini dengan pranatacara terjadi tanpa sengaja. Awal 2010, dia diperkenalkan kakaknya yang juga pengurus Permadani Semarang dengan dunia pranatacara. ”Seketika itu, saya tertarik dan langsung belajar,” tutur Indah.
Butuh proses yang panjang bagi Indah untuk menjadi seorang pranatacara. Selain menghafalkan ribuan kosakata bahasa krama inggil, dia harus melahap buku-buku berbahasa Jawa dan melancarkan public speaking-nya. Menurut dia, kosa kata seorang pranatacara adalah kunci agar renggeping wicoro (runtutan bicara) bisa baik dari awal hingga akhir. ‘’Paranatacara itu harus bisa ngronce tembung yang bagus,’’ ungkapnya.
Indah juga mengatakan, menjadi pranatacara tidaklah mudah. Itu karena membutuhkan keahlian khusus dalam menggunakan kosakata yang indah. Keindahan kosakata pilihan tersebut terutama disampaikan saat memberikan gambaran kepada pasangan pengantin yang berjalan maupun ketika bersanding di pelaminan.
Bukan hanya itu. Dia menyampaikan, pranatacara juga harus siap tampil di luar acara pernikahan. Seperti acara kematian (kesripahan), pertemuan (pepanggihan), perjamuan (pasamuan), pengajian (pengaosan), pentas, dan sebagainya.
Setelah dianggap mampu, Indah diajak seniornya yang mendapatkan job di tempat jauh. Fee yang diterima Indah dari manggung pertamanya tersebut jauh dari harapan. Meski demikian, dia tidak mengeluh. ‘’Berapa pun harus kami syukuri, karena memang kami dilarang menarget jasa. Jadi seikhlasnya. Kalau dapat banyak ya itu rezeki,’’ ujarnya dengan nada canda.
Selama menjadi pranatacara, Indah menemui banyak suka dan duka. Salah satu dukanya adalah selama berlangsung acara diguyur hujan deras. Kondisi bising karena deras hujan, kata dia, bisa menurunkan performanya karena audiens tidak konsen pada acara. (*/ds)