Jika dihitung dalam sehari, lanjut dia, memang tidak terasa, tapi jika berlarut hingga berbulan-bulan, efeknya sangat terasa.
‘’Tinggal dikalikan saja. Ketika dalam sebulan melaut terus, maka ada tambahan kurang lebih Rp 600 ribu per bulan. Sementara harga ikan tidak banyak perubahan,’’ pungkasnya.
Senada disampikan Ansori, nelayan lain masih di desa setempat. Dikatakan dia, selain harus menambal kekurangan BBM yang sulit didapat dari SPBU, nelayan juga dipusingkan dengan cuaca tidak menentu belakangan ini.
‘’Lengkap sudah kesusahan nelayan. Melaut sulit, membeli solar juga tidak bisa leluasa,’’ keluhnya.
Pembatasan pembelian solar yang dilakukan di SPBU membuatnya terpaksa membeli solar eceran. Alhasil, dia harus merogoh kocek lebih dalam demi memenuhi kebutuhan saat melaut.
‘’Sebenarnya bisa dilayani di SPBN (stasiun pengisian bahan bakar nelayan), tapi jauh sekali. Tempatnya di Kecamatan Palang, malah nambah biaya. Repot sudah jadi nelayan,’’ tandasnya. (zid/tok)
Jika dihitung dalam sehari, lanjut dia, memang tidak terasa, tapi jika berlarut hingga berbulan-bulan, efeknya sangat terasa.
‘’Tinggal dikalikan saja. Ketika dalam sebulan melaut terus, maka ada tambahan kurang lebih Rp 600 ribu per bulan. Sementara harga ikan tidak banyak perubahan,’’ pungkasnya.
Senada disampikan Ansori, nelayan lain masih di desa setempat. Dikatakan dia, selain harus menambal kekurangan BBM yang sulit didapat dari SPBU, nelayan juga dipusingkan dengan cuaca tidak menentu belakangan ini.
‘’Lengkap sudah kesusahan nelayan. Melaut sulit, membeli solar juga tidak bisa leluasa,’’ keluhnya.
Pembatasan pembelian solar yang dilakukan di SPBU membuatnya terpaksa membeli solar eceran. Alhasil, dia harus merogoh kocek lebih dalam demi memenuhi kebutuhan saat melaut.
- Advertisement -
‘’Sebenarnya bisa dilayani di SPBN (stasiun pengisian bahan bakar nelayan), tapi jauh sekali. Tempatnya di Kecamatan Palang, malah nambah biaya. Repot sudah jadi nelayan,’’ tandasnya. (zid/tok)