Radartuban,jawapos.com – Pembuat perahu tembo telah langka, termasuk di Tuban. Pengerajin perahu sungai yang dulu cukup mudah ditemukan di sepanjang bantaran Sungai Bengawan Solo, kini sudah jarang sekali ditemukan. Sujianto, 50, sepertinya satu-satunya pengerajin yang masih tersisa. Dia memilih bertahan demi meneruskan keahlian orang tua.
———–
SIANGÂ itu, Rabu (10/1), suasana bengkel mebel di tepi Bengawan Solo Desa Kebomlati, Kecamatan Plumpang milik Sujianto itu hampir sama dengan bengkel mebel lain. Batang dan papan kayu tumpuk undung. Ampas kayu tercecer di bengkel mebel berukuran delapan kali sepuluh meter berlantai tanah itu. Kusen, pintu, kursi, meja, lemari setengah jadi tersebar di sudut-sudutnya. Suara bising khas gergaji mesin memotongi kayu juga menjerit-jerit dari bengkel mebel menghadap ke Bengawan Solo itu. Satu-satunya perbedaan mencolok di bengkel mebel Sujianto daripada mebel lain, yakni adanya perahu tembo yang sedang digarap.
Di mebelnya, Sujianto sendiri yang menukangi perahu sungai itu. Raut mukanya serius, sorot matanya fokus ketika tangannya memoles centhik (ujung) perahu tembo menggunakan mesin amplas. Seolah ingin memastikan permukaan centhik perahu digarapnya benar-benar halus nan bagus.
Usai merampungkan pemolesan, pria bertubuh kekar ini meluangkan waktunya untuk bercakap ringan dengan Jawa Pos Radar Tuban yang telah menunggui di lokasi. Kepada wartawan koran ini, dia lalu menceritakan sekelumit risalah mengenai kiprahnya yang unik dan langka itu. ‘’Sudah sembilan tahun saya membuat perahu tembo seperti ini. Sejak awal 2014,’’ tutur pria kelahiran 1 April 1973 itu mengawali cerita.
Pria asli desa setempat ini mengutarakan, ilmu membuat perahu tembo diturunkan kakeknya secara genetik. Kakeknya bernama Nitiawi dikenal piawai membuat perahu tembo pada 1950—1980-an. ‘’Setelah simbah wafat, keahlian membuat perahu tembo dilanjutkan paman. Tahun 2000 paman buka bengkel perahu, tutup pada 2012. Rehat dua tahun. Baru pada 2014, ganti saya yang buka. Jadi, saya ini generasi ketiga,’’ bebernya.
Pria menamai bengkel mebelnya UD Putra Bengawan ini melanjutkan, di masa awal mengulik ilmu pembuatan perahu tembo pada 2014, dia tidak langsung membuat perahu sungai itu dari nol. Melainkan, sebatas memperbaiki perahu-perahu tembo milik para nelayan Bengawan Solo yang rusak atau membangun ulang perahu tembo mangkrak. ‘’Beberapa bulan setelah itu, saya baru berani membuat perahu tembo dari nol. Alhamdulillah jadi dan berfungsi baik,’’ imbuhnya.
Bapak dua anak ini mengingat, perahu tembo pertama dibuatnya waktu itu dibeli nelayan Bengawan Solo turut Kabupaten Lamongan. Harganya Rp 7,5 juta. Berukuran panjang delapan meter, lebar satu setengah meter. ‘’Mulai sejak itu hingga kini, saya rutin membuat perahu tembo dari nol. Per bulan, satu atau dua buah. Ukurannya tidak berubah. Saya dan pembeli sepakat, ukuran segitu tidak terlalu besar maupun terlalu kecil. Pas untuk mencari ikan di bengawan,’’ jelasnya.
Perubahan, beber dia, terletak pada harga. Jika dulu perahu tembo ukuran ideal seharga Rp 7,5 juta. Beberapa tahun belakangan Rp 9—10 juta. Perubahan ini menyesuaikan kenaikan harga kayu jati sebagai bahan utama dan ongkos operasional. ‘’ Kayu jatinya minimal usia 25 tahun. Wajib berasal dari hutan tanah berbatu semisal di Kecamatan Grabagan, Montong, Kerek. Kalau rajin dirawat, perahu tembo berbahan jati ini tetap kokoh meski dipakai terus 20 tahun,’’ lanjutnya.
Pria yang juga nelayan Bengawan Solo ini mengutarakan, dari sekian proses membuat perahu tembo semisal memotong kayu sesuai bentuk kemudian merangkai, memahat, memoles, mengelem, hingga mengecatnya, proses paling menantang yakni mengelem. Jika proses ngelem tidak cermat, perahu pasti bocor. Lem dipakai juga tidak bisa sembarangan. Racikannya khusus. ‘’Jika seluruh proses pembuatan itu lancar dilalui, satu buah perahu tembo seminggu selesai,’’ terangnya.
Lebih lanjut, Ketua Kelompok Nelayan Bengawan Solo Jala Karya Makmur desa setempat ini mengemukakan, saat ini sejauh pengetahuannya pembuat perahu tembo di Bumi Ronggolawe tinggal dia seorang. Sebab itu tidak mengherankan jika saban kali nelayan Bengawan Solo turut Kabupaten Tuban membutuhkan perahu, selalu meminta jasanya. ‘’Untuk di luar Tuban, nelayan biasa membeli perahu tembo saya berasal dari Bojonegoro, Lamongan, Gresik,’’ ungkapnya.
Dari tiga daerah luar Tuban itu, Gresik merupakan konsumen terbesar perahu tembonya. Hal ini, kata pria yang juga hobi tanaman bonsai itu, berlangsung sejak era pamannya 2000—2012. ‘’Para nelayan Bengawan Solo di Gresik persisnya di Kecamatan Manyar, Dukun, dan Ujung Pangkah seolah sudah jadi pelanggan tetap. Kalau mereka butuh perahu, pasti menghubungi saya. Kalau ada stok, langsung saya kirimi. Kalau pas habis, saya buatkan dulu,’’ jelasnya.
Sujianto bersyukur selalu sempat membuat perahu tembo di tengah aktivitas membuat mebel. Dia berharap, tiga orang pekerja bengkel mebelnya mewarisi ilmu pembuatan perahu tembo. ‘’Ketiga pekerja termasuk anak saya, perlahan terus saya libatkan menggarap perahu tembo. Saya ingin generasi pembuat perahu sungai tradisional ini tetap ada. Sehingga perahu khas warisan leluhur Bengawan Solo itu terus eksis di masa depan,’’ tuturnya. (sab/tok)