TUBAN – Eksistensi camilan ampo di Tuban kian meredup. Makanan tradisional berbahan utama tanah liat murni ini terancam punah menyusul minimnya perhatian publik. Kini, nyaris tidak ada lagi yang mengonsumsi.
Siti Nurjanah, salah satu pembuat ampo yang masih bertahan hingga saat ini mengatakan, dahulu, ampo banyak dikonsumsi sebagai camilan pengganti rokok.
Sebagian juga dijadikan hidangan pelengkap saat minum teh atau kopi. Ada juga yang di konsumsi sebagai obat.
‘’Karena mereka percaya kalau ampo memiliki banyak khasiat, terutama bagi masalah pencernaan,’’ terang Siti-sapaan karibnya.
Bahkan, terang generasi kelima pembuat ampo itu, kepercayaan masyarakat akan khasiat ampo sempat membuat camilan serupa astor ini digunakan obat alternatif untuk meringankan gejala perut kembung, diare, dan mual-mual.
Hanya saja, hingga saat ini belum pernah ada penelitian ilmiah yang secara khusus memaparkan tentang manfaat ampo bagi kesehatan.
Seiring dengan zaman yang terus berkembang, kini ampo tidak lebih hanya sebagai salah satu ubarampe atau syarat—berupa benda dan makanan disediakan untuk melengkapi suatu proses upacara adat atau tradisi. Tidak lagi dikonsumsi sebagaimana dulunya.
‘’Biasanya sebagai sesajen untuk syarat pernikahan, khitanan, sedekah laut, dan berbagai macam acara,’’ jelasnya.
Lebih lanjut, perempuan 26 tahun itu menjelaskan, ampo yang disediakan sebagai sesajen bukan tanpa arti.
Menurutnya, penggunaan ampo bagai sesajen bermakna sebagai perwakilan dari unsur tanah.
Hal itu menjadi pengingat bahwa manusia bersumber dari tanah dan akan kembali ke tanah pula.
‘’Selain itu, ampo sebagai sesajen juga menyiratkan makna pengungkapan rasa syukur atas segala berkah yang telah diberikan oleh Tuhan dan juga para nenek moyang,’’ jelasnya.
Diakui dia, saat ini produsen ampo sudah banyak gulung tikar akibat menurunnya permintaan pasar. Dan mungkin yang tersisa tinggal keluarganya.
Tak heran, sekarang ini tidak banyak generasi muda yang kenal dan tahu makanan tradisional berbahan tanah liat khas Tuban tersebut.
Perempuan bertempat tinggal di Desa Bektiharjo, Kecamatan Semanding itu meneruskan, dirinya bisa memproduksi lima kilogram ampo dalam sehari dengan harga Rp 10 ribu per kilonya.
Selain menjual dagangan di rumahnya, juga menjual ampo pada tengkulak di pasar dan beberapa penjual bunga.
‘’Karena biasanya orang-orang sekaligus membeli bunga dan ampo untuk pelengkap sesajen,’’ ungkapnya.
Siti menjelaskan, tanah liat yang digunakan untuk membuat ampo adalah tanah liat khusus dari sawah.
Pada dasarnya, tanah liat yang digunakan sudah bebas dari pasir dan juga kerikil. Tanah yang telah diambil dari sawah tersebut kemudian dibentuk menjadi balok besar.
Setelah terbentuk, tanah tersebut kemudian disisir menggunakan pisau berbahan bambu yang bernama sesek, hingga menghasilkan lintingan serupa astor berwarna hitam pekat dan memiliki rasa hambar.
‘’Setelah disisir hingga berbentuk lintingan, tanah liat itu kemudian dijemur dan dipanggang sekitar empat jam hingga menjadi ampo,’’ jelasnya. (sel/tok)