Sejarah tentang pabrik gula di Tuban nyaris tak pernah kita dengar. Fakta
tersebut seolah terkubur dalam-dalam. Sampai kini belum ada satu pun
literatur di Tuban yang menuliskan tentang bangunan pabrik gula era
kolonial Belanda pada abad ke-18 tersebut. Terlebih, bekas bangunan
pabrik tersebut nyaris tanpa sisa.
LITERATUR tertua tentang sejarah keberadaan pabrik gula di Tuban yang berhasil ditemukan Jawa Pos Radar Tuban. Sumbernya, surat kabar Java-Bode terbitan Kota Batavia edisi 10 Agustus 1853. Diperkirakan, tahun 1853 merupakan tahun berdirinya pabrik gula di Tuban. Lokasinya di Djojogan, Distrik (Kecamatan) Singgahan. Pabrik gula yang berada di jalur perhubungan Bojonegoro-Tuban-Jatirogo-Sale-Pamotan-Lasem-Rembang, itu diberi nama Wringin Agoeng.
Berita yang termuat dalam kolom advertentie dan berkop Batavia tersebut dituliskan pada 28 Mei 1853. Isinya perjalanan dinas Gubenur Jenderal Hindia Belanda ke Tuban. Perjalanan Gubernur Jenderal ini bukan kunjungan sembarangan. Kedatangannya ke Pabrik Gula Wringin Agoeng itu pun disambut sebagai tamu kehormatan dalam sebuah upacara peresmian pabrik gula.
Namun, berita upacara peresmian tersebut tidak ditulis detil. Melainkan hanya dilanjutkan dengan informasi Gubernur Jenderal mengunjungi sekolah-sekolah di Residen Tuban dan membawa oleh-oleh dari Tuban berupa barang-barang
antik. Dari Tuban, dia meneruskan perjalanan menuju Bojonegoro untuk mengunjungi
sebuah pabrik Temba kau yang baru beroperasi. Pabrik tersebut milik seorang konglomerat Tionghoa. Dituliskan juga, sebelum tiba di Tuban, pada 27 Mei, Gubernur Jenderal bertandang lebih dulu di salah satu rumah Residen Jepara yang berlokasi
di Pati, Jawa Tengah.
Adapun terkait operasionalnya, pabrik gula yang berdiri di Bumi Ronggolawe ini bisa
dikatakan cukup berhasil. Berita yang dimuat surat kabar Java-Bode edisi 19 Mei 1893, misalnya, menggambarkan bahwa Pabrik Gula Wringin Agoeng mendapatkan penghasilan melebih modal operasionalnya dalam mengolah tebu menjadi
gula. Berita yang dimuat dalam kolom De Mail itu menyebutkan, Pabrik Gula Wringin
Agoeng mendapat penghasilan 230.000 gulden atau sekitar Rp 1,8 juta pada
waktu itu. Sedangkan biaya operasional pabrik tersebut hanya 180.000 gulden saja
atau sekitar Rp 1,4 juta masa itu.
Dituliskan lebih lanjut dalam berita tersebut, pendapatan Pabrik Gula Wringin Agoeng bisa seperti ini karena bagusnya kualitas tebu dari perkebunan di Kecamatan Singgahan dan sekitarnya. Di antaranya di Kecamatan Bangilan, Parengan, dan Jatirogo. Stok tebu dari wilayah tersebut juga selalu aman. Buruh pemotong tebu tidak hanya mempekerjakan warga setempat, namun juga mendatangkan dari Rembang.
Diceritakan pula, buruh-buruh potong tebu membuat gubuknya di sekitar lahan-lahan
per kebunan. Adapun perjanjian kontrak mendatangkan para buruh dari Rembang tersebut sebelumnya pernah termuat dalam berita 4 Desember 1872 di surat kabar De Locomotief. Berita dengan judul Suiker-Contracten: Uitlegging daarvan Rietsnijders itu menuliskan, Tuan Heer de Vogel, administratur Pabrik Gula Wringin Agoeng membuat perjanjian dengan pemerintah untuk penanaman, pengolahan, penyediaan
gula dan ketiga komitmen tersebut disebut dengan kontrak gula.
Salah satu isi dari perjanjian tersebut, semua buruh potong tebu yang bekerja di perkebunan Pabrik Gula Wringin Agoeng, baik berasal dari sekitar pabrik maupun dari Rembang tidak boleh memanen tebu dengan cara mencabut atau menggali batang tebu. ‘’Bupati Tuban merupakan saksi dan pengawas perjanjian ini (kontrak gula, Red),’’ tandas berita tersebut jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia.
Tahun-tahun terakhir beroperasinya Pabrik Gula Wringin Agoeng diperkirakan pada 1894-1895. Satu-satunya perusahaan gula di Tuban ini diberitakan akan tutup karena menderita kebangkrutan. Adapun surat kabar De Locomotif edisi 19 Oktober 1985 menyebutkan, bangkrutnya Pabrik Gula Wringin Agoeng disebabkan perilaku korupsi para pejabat-pejabatnya dan banjir yang menimpa beberapa perekebunan
tebu. Utamanya di daerah Parengan dan Singgahan.
Selain itu, munculnya banyak pabrik gula baru di Jawa Timur. Juga petani-petani tebu
yang bertindak nakal. Mereka menjual tebu perkebunan Wringin Agoeng ke pihak lain
tanpa sepengetahuan pabrik. Dari aksi culas tersebut, mereka menerima upah .
Akhirnya , pada 1896, Pabrik Gula Wringin Agoeng resmi ditutup. Surat kabar De Locomotif edisi 27 Mei 1896 mengumumkan, Pabrik Gula Wringin Agoeng dijual terbuka kepada publik dengan harga 14.000 gulden atau sekitar Rp 100 ribu kala itu. Harga yang murah tersebut disebabkan karena beberapa asetnya berganti hak milik dan mesin-mesin gula mengalami kerusakan dan pembanditan para pekerja. (sab/tok)