Sejak tanahnya direlakan untuk lahan proyek kilang minyak Grass Root Refinery (GRR), kini Mus’anam, 60, dan Wagi, 61, warga Desa Wadung, Kecamatan Jenu ini tak bisa bertani seperti dulu lagi. Sedangkan uang ganti rugi yang diterimanya dari waktu ke waktu terus berkurang. Mereka pun mulai menyesal.
——————————————
PENYESALAN Mus’anam atas keputusannya menjual tanah dan rumahnya ke PT Pertamina itu tampak jelas ketika ikut demo bersama warga Senin (24/1) lalu. Demo yang berlangsung depan pintu gerbang proyek kilang minyak GRR itu diikutinya dengan penuh rasa geram.
Bersama kawan-kawannya dari enam desa ring satu, meliputi Desa Wadung, Rawasan, Beji, Sumurgeneng, Mentoso, dan Kaliuntu, pria paro baya itu turut menuntut kejelasan soal perekrutan tenga kerja lokal di proyek kilang minyak yang dikelola PT Pertamina Rosneft.
Kegeraman bapak lima anak itu menyusul informasi bahwa perusahaan pelat merah tersebut diketahui merekrut tenaga keamanan dari warga luar ring satu. Bukan dari masyarakat setempat. ‘’Saya kecewa. Pertamina tidak menepati janji,’’ ungkapnya meletup-letup.
Mus’anam mengutarakan, sejak beberap waktu lalu salah satu anaknya memasukan lamaran ke proyek tersebut. Namun, sampai saat ini belum ada kejelasan diterima atau tidak. Menurut hematnya, jika mengacu pada komitmen awal PT Pertamina Rosneft, anaknya bisa langsung diterima. Alasan yang menguatkan, karena keluarganya merupakan ring satu atau warga terdekat perusahaan. ‘’Tapi tidak tahu kenapa, anak saya sepertinya dipersulit,’’ katanya geram.
Kenyataan-kenyataan pahit itu membuat dia semakin menyesal sekaligus kesal dengan Pertamina. Andai saja, keluhnya, jika tahu nasibnya akan seperti ini, maka tanah dan rumah yang hanya dihargai Rp 500 juta pada 2018 lalu tak akan dilepaskan. Mus’anam mengatakan, tanah seluas 133 meter yang terpaksa diserahkan untuk proyek strategis nasional (PSN) itu lebih menguntungkan dibanding ganti rugi yang diterima. ‘’Uang ganti rugi tidak berkelanjutan,’’ katanya.
Dia menyampaikan, uang ganti rugi itu kini telah dibelikan tanah dan rumah tidak jauh dari tempat tinggalnya yang dulu digusur oleh perusahaan minyak tersebut. Namun, pria enam cucu ini mengatakan, ukuran dan rasa rumah barunya tak seindah rumahnya yang tergusur dulu. Selain tanah dan rumah baru, uang ganti rugi yang diterimanya itu juga dibelikan enam ekor sapi. Sayang, kini enam ekor sapi tersebut hanya tinggal tiga ekor. Sedangkan tiga ekor lainnya telah dijual untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dia menegaskan, kalau tidak menjual sapi, niscaya tidak akan bisa makan. ‘’Lha sawah sudah hilang. Tidak ada sumber pendapatan lain. Anak mau kerja di Pertamina juga tidak diterima,’’ ungkapnya.
Demonstran lain, Wagi menambahkan, dia juga amat geram dengan Pertamina, karena merekrut tenaga keamanan baru tidak dari masyarakat ring satu. Menurutnya, Pertamina sudah ingkar janji. Diungkapkan dia, sesuai janji Pertamina dulu, hal tersebut tidak bisa dilakukan. Dia masih ingat bahwa janji yang dibuat antara warga dengan Pertamina, waktu itu akan memprioritaskan pekerja di kilang GRR dari warga desa ring satu, meliputi Desa Wadung, Rawasan, Beji, Sumurgeneng, Mentoso, dan Kaliuntu. Tetapi, nyatanya tidak. ‘’Ini (rekrut security, Red) kok malah dari luar ring satu,” ujarnya tidak terimanya.
Pria 61 tahun ini mengungkapkan, dirinya memiliki anak yang seharusnya bisa bekerja di proyek kilang minyak yang digadang-gadang terbesar se-Asia Tenggara tersebut. Sayang, sampai saat ini anaknya belum juga dipekerjakan. Padahal, janji Pertamina untuk mempekerjakan anaknya yang merupakan ring satu tersebut dilontarkan sekitar 2018 lalu. Selepas Wagi terpaksa menjual tanahnya seluas 2,4 hektare dan mendapat uang ganti rugi sebesar Rp 2,5 miliar, namun bukan kebahagiaan yang ia dapatkan sekarang. Sebaliknya, dia merasa menyesal karena sudah melepas tanahnya. Apalagi, Pertamina juga ingkar janji.
Dulu, tanah-tanah yang dia lepas itu menjadi ladang rezeki bagi dirinya dan keluarga. Lahan seluas 2,4 hektare itu, ketika ditanami jagung dan cabai bisa menghasilkan uang Rp 40 juta. ‘’Kini semua itu tinggal kenangan,’’ pungkasnya.
Sebelumnya, prediksi atas fenomena harapan yang tidak sesuai kenyataan ini telah diungkapkan Kepala Bidang Pelatihan, Penempatan, dan Hubungan Industrial Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperin Naker) Tuban Wadiono. Dia mengatakan, bahwa wacana perusahaan high-tech untuk menyerap puluhan ribu tenaga lokal itu serupa ‘petir tanpa hujan’ belaka. Artinya, hanya besar gaungnya saja. Dan, sekarang terbukti, oleh warga, PT Pertamina Rosneft dianggap kurang serius mengakomodir tenaga kerja lokal.
‘’Menyerap 2000 tenaga kerja lokal saja sudah bagus,’’ kata Wadiono, sebagaimana yang disampaikan kepada Jawa Pos Radar Tuban 30 Desember 2021 lalu.
Mantan kepala bidang penegakan peraturan daerah (perda) satpol PP itu justru lebih optimis industri padat karya, seperti pabrik rokok, sepatu, dan konveksi. Sebab, industri padat karya semacam itu mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. Lebih dari 1000 pekerja, bahkan bisa mencapai 5.000 pekerja juga. Melihat komparasi tersebut, Wadiono menegaskan, lebih baik jika di Tuban dibangun industri padat karya. ‘’Lebih mengakomodir skill pekerja lokal,’’ tandasnya waktu itu. (sab/tok)