Jabatan kepala desa (kades) sepertinya begitu prestise. Terlebih bagi mereka yang sudah pernah menjabat. Kembali mencalonkan diri adalah pilihan untuk mempertahankan jabatan. Dan rata-rata demikian. Jika perlu, segala cara akan dilakukan, termasuk menghadirkan calon “boneka”.
IKLIM pemilihan kepala desa (pilkades) serentak 2022 yang digelar Kamis (27/10) besok, tidak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Lagi-lagi calon incumbent kembali mendominasi. Dari 47 desa yang menggelar pilkades serentak, lebih dari separo adalah calon petahana.
Kalaupun muncul calon baru, itu pun rata-rata karena petahana tidak bisa mencalonkan lagi—sudah menjabat tiga periode. Bahkan, juga tidak sedikit calon petahana yang terpaksa melawan istrinya sendiri karena tidak ada lawan yang berani menandingi.
Sedikitnya, berdasar data yang ber hasil dihimpun Jawa Pos Radar Tuban, ada delapan cakades yang melawan istri atau suaminya sendiri.
Semula, mereka adalah calon tunggal. Karena calon tunggal tidak diperkenankan oleh aturan, sehingga harus menghadirkan satu calon lagi. Supaya mudah, lawannya cukup istri atau suaminya sendiri. Kadang juga keluarga dekat. Penting ada dua calon dan jadi.
Sekretaris Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Tuban Wawan Purwadi mengatakan, jamaknya calon “boneka” pada setiap pilkades bukan karena sebab tidak adanya calon lain. Namun, rata-rata enggan untuk mencalonkan diri.
‘’Enggan yang saya maksud ini bukan karena tidak memiliki kesempatan. Tapi karena sudah minder sejak awal. Siapa sih yang tidak tahu kalau pilkades itu biayanya mahal. Makanya jarang yang berani maju,’’ katanya.
Wawan menjelaskan, ketakutan mencalonkan diri menjadi kades karena modal cekak ini disebabkan money politics yang sudah menjadi budaya.
‘’Misal, dari seribu pilkades, mungkin hanya satu yang benar-benar murni tanpa politik uang. Dan ini sudah menjadi rahasia bersama,’’ ujarnya.
Karena itu, dia sama sekali tidak heran dengan banyaknya calon incumbent dan cakades yang berpasangan dengan istri atau suaminya sendiri.
‘’Tapi itu juga sah-sah saja. Ya mau gimana lagi, aturan juga membolehkan,’’ tandasnya meminta masyarakat menilai sendiri.
Kabid Pemberdayaan Masyarakat Desa Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dinsos P3A PMD) Tuban Suhut mengatakan, semua cakades sudah memenuhi syarat administrasi dalam pencalonan, baik calon incumbent maupun calon dari pasangan suami-istri. Baginya, sekalipun calonnya pasangan suami-istri, tidak menjadi masalah.
‘’Selama memenuhi syarat, sah,’’ katanya.
Diakui Suhut, kenapa banyak calon petahana, itu karena jabatan kades dianggap prestise. Tak heran, rata-rata incumbent mencalonkan lagi.
‘’(Jabatan kades ini, Red) nilai status sosial tinggi. Itulah yang menjadi magnet (kenapa mencalonkan lagi, Red),’’ jelas dia.
Diungkapkan Suhut, mereka yang melawan istri atau suaminya sendiri, rata-rata calon incumbent yang tidak memiliki lawan.
‘’Tahu (calon sesungguhnya, Red) bakal kalah, lebih baik tidak mencalonkan diri,’’ ujarnya, sehingga munculnya ide memasang istrinya sendiri sebagai lawan.
Lebih lanjut pejabat setingkat eselon III ini menyampaikan, pencalonan suami-istri ini tidak menyalahi aturan, meskipun toh masyarakat juga tahu bahwa itu calon “boneka”.
‘’Masyarakat sudah tahu apakah itu calon “boneka” atau sungguhan. Nantinya memilih siapa juga sudah tahu,’’ bebernya.
Namun begitu, terang Suhut, tetap ada sisi positifnya. Munculnya calon dari sepasang suami-istri membuat pelaksanaan konflik atau perpecahan di desa akan sangat minim.
‘’Karena sesama keluarga, jadi tidak mungkin saling serang,’’ imbuhnya.
Adapun untuk setiap calon incumbent, terang alumnus Universitas Kediri ini, semuanya sudah mengajukan cuti kepada bupati. Sehingga, selama pelaksanaan pilkades ini mereka tidak lagi menjabat kepala desa.
‘’Selama cuti, jabatan sementara yang diisi pelaksana harian (Plh) dari perangkat desa. Plh ditunjuk camat, dengan pilihan pertama sekretaris desa (sekdes) jika tidak ada perangkat desa lainnya,’’ pungkasnya. (fud/tok)