Fenomena Covid-19 membawa perubahan luar biasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di semua penjuru dunia. Terjadinya transformasi pada semua aspek kehidupan manusia tersebut membawa dampak yang sangat signifikan. Salah satunya peningkatan jumlah pendaftaran kekayaan intelektual (KI) di tanah air.
KUPASAN itulah yang disampaikan dalam Dr Sucipto dalam orasi ilmiahnya pada Rapat Terbuka Senat Unang Tuban Wisuda Sarjana XVII kemarin (27/8).
‘’Perubahan paling menyolok adalah produksi KI, baik melalui konten kreator maupun bisnis online aplikasi dunia digital,’’ ujar sekretaris Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham itu.
Dia kemudian membeberkan angka kenaikan penghasilan negara bukan pajak (PNBJ) ke DJKI dari tahun 2018-2021 yang mengalami peningkatan signifikan.
Putra daerah terbaik Tuban ini juga menyampaikan, penggunaan aplikasi media sosial (medsos) pada masyarakat mendorong masyarakat melakukan lebih banyak hobi/kesukaannya untuk meningkatkan kesehatan dan suasana hati selama masa lockdown.
New economy era atau era ekonomi baru saat ini merupakan suatu situasi dunia di mana manusia bekerja dengan otak bukan dengan tangan mereka. Dunia dengan teknologi komunikasi menciptakan kompetisi global dengan inovasi yang menjadi lebih penting dibandingkan dengan produksi masal. Ini merupakan sebuah investasi konsep atau cara baru untuk menciptakan situasi.
‘’Ini yang kemudian menimbulkan kreativitas dari ciptaan mereka,’’ ujarnya.
Dr Sucipto juga menyampaikan dalam era ekonomi baru kemajuan teknologi informasi
memiliki pengaruh besar terhadap dunia kerja dan industri. Dalam ekonomi bersifat global, barang dan jasa diproduksi serta diperdagangkan dalam cakupan pasar dunia yang didukung tek nologi komunikasi baru. Karena itu, keterampilan dan kreativitas individu menjadi penting untuk ditingkatkan dan dikaitkan dengan dorongan informasi dunia global.
‘’Dalam situasi global saat ini, sistem perekonomian dunia menempat kan pentingnya sistem pelindungan KI dalam sistem perdagangan, baik nasional maupun internasional,’’ ujar peraih gelar doktor ilmu ekonomi dan bisnis konsentrasi kebijakan
publik Universitas Trisaksi Jakarta itu.
Dr Sucipto mengatakan, Indonesia memiliki komitmen yang sangat kuat terhadap perlindungan KI, baik yang bersifat nasional, regional, maupun internasional. Hal ini dapat dilihat dengan dibentuknya undang-undang nasional di bidang KI. Yakni, tentang hak cipta, merek, dan indikasi geografis, paten, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, perlindungan varietas tanaman, dan rahasia dagang.
Tak kalah pentingnya persetujuan/perjanjian ke rangka kerja ASEAN frame work agreement) dan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) dalam agenda kerja Osaka menjadi anggota organisasi perdagangan dunia World Trade Organization (WTO) menyiratkan bahwa Indonesia secara otomatis terikat pada TRIPs; Mera tifikasi World
Intellectual Property Organization (WIPO).
Menurut dia, pembentukan hukum yang mengatur KI harus tetap memiliki orientasi pada kepentingan nasional dan mengakomodir internasional. Perlindungan hukum KI di
Indonesia, lanjut Dr Sucipto, berpegang pada teori keadilan yang berdasarkan pada Pancasila.
Dengan prinsip-prinsip kemaslahatan manusia/ kemanusiaan; keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat; nasionalisme; keadilan sosial dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) tidak terlepas dari nilai-nilai yang berdasarkan Pancasila.
Meski telah dibentuk dan diberlakukan berbagai peraturan yang mengatur bidang
KI, masih terdapat banyak permasalahanpermasalahan dipengaruhi berbagai faktor.
Antara lain yang berkaitan dengan substansi, struktur, dan budaya (kultur) hukum.
‘’Perlindungan KI dapat diwujudkan dengan baik dan nyata jika setiap komponen
hukum berfungsi dengan baik dan benar, meliputi substansi, struktur, dan budaya
(kultur) hukum,’’ ujar bapak dua anak itu.
Dr Sucipto mengemukakan, sosialisasi terkait pentingnya perlindungan KI hendaklah
dilakukan secara terus-menerus kepada masyarakat dan pelaku usaha. Juga
melalui perbaikan-perbaikan/pembenahan menyangkut substansi, struktur, dan budaya
(kultur) hukum. Berikutnya, meningkatkan kerja sama dengan pihak terkait.
Di bagian lain, Dr Sucipto menyampaikan, pembangunan ekonomi suatu negara berkaitan erat dengan perlindungan KI. Itu artinya semakin tinggi penghargaan ne gara terhadap KI akan merangsang pertumbuhan ekonomi.
Terbukti, banyak negara maju yang bergantung pada KI. Mulai dari Jepang, Korea, hingga Amerika Serikat, Australia, dan beberapa negara maju di Eropa. Dia mencon tohkan pada 2008, Tiongkok merupakan negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di antara negara ASEAN+3 yaitu 9,60 persen.
Hal tersebut berkorelasi positif dengan tingginya jumlah pemohon perlindungan
paten Tiongkok melalui WIPO, yaitu sebanyak 289.893 permohonan dan perlindungan paten sederhana sebanyak 225.586 permohonan.
Selain itu, jumlah permohonan perlindungan merek dagang Tiongkok pada 2008
berjumlah 669.088 permohonan, lebih tinggi dibandingkan USA yang hanya berjumlah
294.070 permohonan. Semakin ban yaknya pendaftaran merek dagang ini mengindikasikan semakin banyak sektor usaha baru tumbuh di Tiongkok.
Korelasi antara peningkatan permohonan KI dengan pertumbuhan ekonomi juga sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and
Finance (INDEF) pada tahun 2017.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh INDEF, setiap 1 persen kenaikan jumlah paten ternyata mampu berdampak positif terhadap ekonomi Indonesia sebesar 0,06 persen.
‘’Bila jumlah paten bisa naik 10 per sen saja, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih tinggi 0,6 persen,’’ terangnya.
Hasil penelitian lain INDEF pada 2018 menyebutkan bahwa setiap kenaikan 10 persen
paten di seluruh sektor industri berkontribusi terhadap pertumbuhan PDB sebesar 1,69
persen. Sementara 10 persen kenai kan investasi hanya berdampak sebesar 1,64 persen.
Dr Sucipto menyebut, mengacu data tersebut dapat tergambarkan bahwa potensi KI dalam pertumbuhan ekonomi sangat besar.
‘’Ini merupakan potensi besar di Indonesia apabila dapat dimanfaatkan secara maksimal,’’ tegas lulusan pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta itu.
Dr Sucipto mengatakan, salah satu rezim KI yang perlu didorong agar mampu bersaing di pasar global adalah produk yang berbasis pada potensi geografis Indonesia dan dikenal sebagai indikasi geografis. Indikasi geografis (IG) ternyata terbukti dapat menjadi katalisator yang dapat mendukung kemandirian ekonomi suatu negara.
Misalnya pada Kopi Gayo (indikasi geografis dari Aceh) yang menjadi produk IG pertama
dari Indonesia yang tercatat sebagai IG yang diterima di Uni Eropa. Sebelum Kopi Gayo
didaftarkan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham, harganya hanya Rp 50.000 per kg (sekitar US$ 3.66) kemudian setelah didaftarkan di DJKI harganya menjadi Rp 120.000 per kg (sekitar US$ 8.78$).
Dari angka nominal ini terlihat adanya efek leverage dari terlindunginya IG suatu daerah melalui pendaftaran IG nya berupa monetisasi dari produk IG yang telah didaftarkan tersebut.
Lebih lanjut Dr Sucipto mengatakan, KI merupakan hak ekslusif yang khusus diberikan
oleh negara kepada pihak penemu atau pencipta untuk memono poli penggu naan/
ciptaannya. Karena itu, untuk mencegah penggunaan KI oleh pihak lain, maka
pencipta/penemu KI harus diproteksi (dilindungi) secara hukum dan melarang pihak lain menggunakan temuan/cip taannya. Beragama KI yang diproteksi, antara lain, marks (merek/tanda), indikasi geografis (IG), patent (paten), industrial design (desain industri) dan copyright (hak cipta). Dalam memproteksi KI dapat ditempuh melalui beberapa rute, yaitu rute nasional, rute regional, ruta Eropa, dan rute internasional.
Dia menyampaikan, Indonesia sebagai salah satu anggota WTO ikut terlibat aktif dalam
perjanjian-perjanjian internasional di bidang HKI. Salah satunya meratifikasi beberapa
konvensi internasional dan menyelaraskan peraturan perundang-undangan di bidang
HKI dengan me ngesahkan beberapa undangundang.
Yang menjadi tantangan bagi Indonesia adalah masalah penegakan hukum, di mana
sekarang ini semakin marak praktik pelanggaran KI, misalnya dengan adanya pem bajakan CD dan VCD, pem bajakan la gu atau karya seni dan lain sebagainya.
Demikian juga pelanggaran di bidang merek yang marak sekali terjadi dengan berkembangnya bisnis penjualan online seperti Shoppee, Lazada, Tokopedia, Bukalapak, JD.ID, OLX dan lain-lain, baik yang terdaftar secara resmi maupun yang tidak terdaftar.
Di akhir orasi ilmiah nya, Dr Sucipto menyampaikan pentingnya peran pemerintah
daerah dalam memberi kan pelindungan hukum atas KI. Misalnya pelayanan kepada para pelaku UKM dila kukan dengan sistem online yang diharapkan dapat mempermudah mengakses permohonan pendaftaran HKI. Tujuannya, pemerintah daerah dalam memberikan pelindungan hukum KI bagi UKM dapat tercapai. (*/ds)