Bahasan kuda tunggangan Adipati Ronggolawe sangat minim referensi. Karena itu, perlu kajian ilmiah.
SEBAGAI ilustrasi, pada waktu perselisihan antara Kebo Anabrang dan Adipati Ronggolawe yang berakhir adu kesaktian yang berlangsung berhari-hari dan mengakibatkan kuda Adipati Ronggolawe yang diberi nama Gagak Rimang tumbang terbunuh di kawasan Desa Trutup, sekarang bernama Talunrejo.
Saat ini, petilasan kuburan jaran (kuda, Red) tersebut berada di km 20 jalan Tuban-Bojonegoro. Jaraknya hanya sekitar 5 meter dari tepi jalan provinsi tersebut. Posisinya tepat di bawah rumpun pohon bambu. Dibatasi batang kayu yang sudah dimakan rayap. Petilasan tersebut dipergunakan untuk usaha pembakaran gamping. Sangat memprihatinkan.
Kuda Gagak Rimang juga belum di ketahui warnanya; hitam, cokelat, atau putih. Nama kuda yang sangat fenomenal ini juga diklaim sebagai kudanya Pangeran Ariyo Penangsang atau Arya Jipang.
Kilas balik terkait Hari Jadi Tuban yang konon baru ditemukan pada 1991, sesuai hasil keputusan panitia penggali Hari Jadi Tuban. Saat itu didatangkan tim pakar dari UGM Yogyakarta.
Hasil penggalian yang menetapkan Hari Jadi Tuban jatuh pada 12 November 1293 tersebut dikuatkan dengan Surat Keputusan Bupati Tuban. Mengapa kuda Adipati Ronggolawe baru dipertanyakan? Munculnya pertanyaan tersebut sangat wajar. Kuda
tunggangan sang adipati adalah ikon Tuban.
Untuk menentukan butuh proses. Tidak semudah membalik telapak tangan. Kuda tunggangan Adipati Ronggolawe mulai dipertanyakan saat kepemimpinan bupati Tuban periode setelah kemerdekaan, yaitu periode 1968 – 1970.
Pada periode tersebut, Pemkab Tuban membuka sayembara pembuatan logo atau simbol pemkab sekaligus simbol bendera kebesaran kabupaten di tlatah pesisir pantai
utara Laut Jawa itu.
Saat itu, banyak yang mengikuti sayembara tersebut. Karena rata-rata peserta tidak bisa mengungkap filosofinya, akhirnya sayembara dimenangkan putra daerah bernama Suwartono.
Saat itu, dia berdinas di seksi kebudayaan Tuban. Dia mengangkat ikon simbol kuda hitam dan Gapura Kambang Putih yang di bawahnya terdapat umpak emas. Kedalaman laut biru yang jernih dan tenang diungkap dengan jelas sebagai potensi kultur masyarakat Bumi Ronggolawe.
Dengan diangkatnya simbol kuda hitam tersebut, maka pada saat itu semua kepentingan dikaitkan dengan ikon kuda yang gagah dan perkasa. Jenis kuda yang terbaik di kalangan Nusantara Jawa pun, kala itu, dibuat acuan di Kota Tuban.
Kenapa pada saat itu tidak dirinci secara detail mulai nama, warna, maupun istimewanya tunggangan kuda Adipati Ronggolawe? Itu sangat di maklumi karena saat itu mini tatanan administrasi, baik di pemerintahan maupun tokoh-tokoh saat itu. Hal ini yang menjadikan tidak ada pengarsipan cerita rakyat yang sebetulnya sudah terurai maknanya.
Misalnya kuda Jawa (java Pony) kuda yang berasal dari leluhur liar dari nenek moyang Mongo lia, Gagak Rimang, Satriyo Pinayungan, dan lain-lain.
Sekarang ini menjadi tantangan bagi generasi muda untuk mengungkapkan. Sumbernya bisa dari legenda/cerita rakyat maupun apa saja yang bisa mendukung sebuah kebenaran.
Bahan tersebut bisa dibawa ke seminar, kajian, atau forum sarasehan yang melibatkan tokoh dan narasumber lokal maupun nasional yang berkompeten tentang kebudayaan.
Walaupun hanya tunggangan, kuda sudah menjadi ikon Tuban dan merupakan aset budaya. Karena itu, tidak ada salahnya diungkap dan kalau perlu dipatenkan. (*)