Sama seperti Pekan Olahraga Nasional (PON), Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) juga melahirkan banyak talenta berbakat di Tuban. Salah satunya Cuk Hariadi, 28, atlet disabilitas asal Desa Guwoterus, Kecamatan Montong yang berhasil membawa medali perunggu cabor sepak bola celebral palsy.
YUDHA SATRIA ADITAMA, Tuban, Radar Tuban
SETELAH memarkir sepeda motor matiknya di halaman kantor Jawa Pos Radar Tuban di Jalan Wahidin Sudirohusodo 59, Cukhariadi langsung menuju ruang tamu kantor media ini. Saat bertamu pekan lalu, dia ditemani Setiawan Gema Budi, teman disabilitasnya yang tunanetra. Mereka berdua saling melengkapi. Cucuk sapaan akrab Cuk Hariadi sebagai penunjuk jalan. Gema bertugas membantu Cucuk apabila ucapannya kurang dimengerti.
Cucuk mengawali maksud kedatangannya dengan menceritakan bahwa dia baru saja pulang dari Papua. Mewakili Jawa Timur untuk Peparnas XVI. Dia membawa medali perunggu cabang olahraga (cabor) celebral palsy atau gangguan yang memengaruhi gerakan dan tonus otot atau postur tubuh.
Dalam pertandingan terakhirnya, dia bahkan dinobatkan sebagai man of the match atau pemain terbaik dengan dua gol. ‘’Saya dapat medali perunggu di Peparnas, tapi tidak ada yang peduli,’’ kata dia mengawali perbincangan.
Seperti diketahui, Peparnas adalah kompetisi olahraga nasional seperti PON yang dikhususkan untuk disabilitas. Kompetisi tersebut digelar di Papua pada 2 November — 16 November 2021. Cucuk adalah satu dari dua atlet disabilitas Tuban yang mengikuti kompetisi empat tahunan tersebut. Dia membawa pulang medali perunggu atau juara ketiga. Sementara satu atlet lain bidang catur tunanetra gagal membawa medali.
Berbeda dengan atlet PON yang banjir pujian dan penghargaan, nasib sebaliknya dialami Cucuk. Tiga bulan pasca kedatangannya membawa medali ke Bumi Ronggolawe, tak ada yang peduli. Jangankan reward atau penghargaan, sambutan atau ucapan selamat tak satu pun yang datang dari pejabat Tuban.
‘’Saya juga ingin diberi apresiasi layaknya atlet pada umumnya,’’ ucap pria tamatan SMP tersebut dengan nada sedih.
Begitu pulang dari Kota Cenderawasih, Cucuk kembali dengan rutinitas lamanya sebelum jadi atlet.
Setiap hari, dia menjahit. Aktivitas lainnya, memberi makan tiga ternaknya. Meskipun memiliki kekurangan, Cucuk masih bisa diajak ngobrol normal.
‘’Saya bisa berpikir normal, hanya psikomotorik saya terganggu. Gerakan kaki dan tangan tak bisa dikontrol dan jalan tidak bisa normal,’’ ucapnya.
Cucuk sedikit bercerita seputar masa lalunya. Dia anak tunggal dari keluarga petani kurang mampu di Desa Guwoterus, Kecamatan Montong. Pemuda yang lahir 19 Maret 1993 ini dulunya lahir normal. Tanpa cacat sedikit pun. Saat balita, dia diserang demam. Orang tuanya kemudian memeriksakan ke bidan dan disuntik.
‘’Setelah disuntik, badan saya terasa aneh. Puncak gangguan pada tubuh ini terasa saat awal masuk SD,’’ kenangnya.
Pemuda yang mengidolakan pesepak bola Boas Salosa ini mengaku tetap berharap ada perhatian dari pemerintah kepada atlet disabilitas seperti dirinya. Dia terang-terangan mengaku cemburu melihat atlet PON asal Tuban yang banjir pujian dan mendapat bonus uang tunai dari Bupati Tuban Aditya Halindra Faridzky.
‘’Apa karena Peparnas itu kompetisi untuk orang cacat, jadi kurang menarik diperhatikan?’’ ucap dia dengan mata nanar.
Pria berkulit sawo matang ini mengaku tujuannya berprestasi untuk membuktikan bahwa masih banyak disabilitas yang bisa bekerja layaknya orang normal. Karena itu, dia berharap pemkab setempat lebih peduli dengan nasib disabilitas seperti dirinya agar dipekerjakan layaknya orang normal.
‘’Banyak atlet PON yang mendapat pekerjaan setelah membawa pulang medali, semoga teman-teman disabilitas juga akan mendapatkan hal yang sama,’’ kata dia berharap. (*/ds)