27.8 C
Tuban
Thursday, 21 November 2024
spot_img
spot_img

Surat Terbuka untuk Bung Hatta

spot_img

Assalamualaikum, Bung. Semoga Bung selalu mendapat rahmat-Nya.

Mohon maaf jika surat yang berisi curhatan ini mengganggu ketenangan Bung Hatta di alam sana—yang sedang asyik berdiskusi dengan Bung Besar, seperti dulu saat merumuskan konsep negara demokrasi.

Di sebuah meja klasik itu, saya membayangkan, Bung Besar yang dikenal sebagai singa podium tampak begitu berapi-api saat berdebat dengan Bung tentang definisi negara demokrasi.

Sementara Bung tampak begitu kalem, tenang,  dan juga tidak terlalu ofensif.

Dalam sebuah kesempatan, Bung Besar pernah menggambarkan tentang sifat Bung yang begitu kalem.

Dengan nada bercanda, Bung Besar bercerita tentang pengalamannya saat bersama Bung.

Katanya, “Untuk memahami Hatta, biar kuceritakan sebuah pengalaman. Saat dalam perjalanan, Hatta bersama seorang gadis, dan ban mobil kempes. Sementara si sopir mencari bantuan, Hatta dan gadis itu bertahan dalam mobil. Dan ketika sopir kembali, Hatta tertidur di ujung ruang mobil, sementara gadis cantik itu tidur di ujung yang berbeda.”

Begitulah Bung Karno menggambarkan kepribadian Bung. Mendengar cerita itu, saya tersenyum, Bung.

Kepribadian yang sangat amat jarang dimiliki orang lain. Dan sepertinya hanya Bung yang memiliki karakteristik begitu menarik tersebut.

Sosok laki-laki yang sangat plegmatis, namun dengan tingkat kecerdasan yang pilih  tanding.

Ya, Bung dan Bung Besar adalah dua kepribadian yang sangat berlainan.

Namun dalam keseharian, baik Bung dan Bung Besar adalah pembaca buku yang lahap.

Tidak seperti pejabat-pejabat sekarang yang malas baca.

Melalui curhatan terbuka ini, saya ingin meluapkan kekaguman sekaligus berkeluh kesah kepada Bung.

Baca Juga :  Memprioritaskan Sektor Pertanian

Sebab, sudah teramat sulit sekali menemukan tokoh seperti Bung di negara ini.

Jangankan sosok seperti Bung, mencari pejabat yang jujur saja, sulitnya minta ampun.

Kini, satu sama lain saling sikut berebut kekuasaan.

Cara-cara yang dilakukan untuk merebut kekuasaan, pun hampir mirip nasihat Machiavelli. Menghalalkan segala cara.

Dan jika pun harus melakukan “kejahatan” demi merebut dan mempertahankan kekuasaan, maka itu akan dilakukan.

Bung, kini untuk berkuasa tidak perlu memiliki kualitas yang bagus, tapi cukup saja dianggap berkualitas dan memiliki banyak uang.

Lihat saja bagaimana money politics tak lagi menjadi barang tabu, Bung. Di ruang-ruang terbuka, warung-warung kopi, media sosial, hingga di teras antrean menuju tempat pemungutan suara (TPS), mereka dengan tanpa malu melakukan transaksi politik uang.

Yang katanya, suara rakyat suara Tuhan. Kini, suara rakyat adalah uang. Tanpa uang, tidak ada suara yang diberikan.

Yang minta untuk dipilih dan yang memilih, sama saja, Bung. Sama-sama tidak memiliki kejujuran.

Dalam sebuah literatur itu, saya ingat betul, Bung memilih menyinggir dari panggung kekuasaan ketika pendapat Bung tentang demokrasi bersebrangan dengan Bung Besar.

Tapi Bung tetap berteman baik dengan Bung Besar. Pun tetap memberikan sumbangsih pemikiran untuk kemajuan bangsa ini.

Bung sama sekali tidak haus terhadap kekuasaan. Bung menepi dengan kesederhanaan yang teramat. Tidak seperti pejabat sekarang—yang tanpa malu bermewah-mewahan.

Bung, demokrasi yang dianut bangsa ini sudah jauh melenceng dari konsep demokrasi yang Bung pernah sampaikan.

Bung merumuskan bahwa demokrasi bangsa ini harus berakar pada tiga sumber pokok.

Baca Juga :  Seperti Perangkat

Pertama, sosialisme barat yang membela prinsip-prinsip humanisme.

Kedua, ajaran Islam memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat.

Ketiga, pola hidup dalam bentuk kolektivitas sebagaimana di desa-desa.

Bung menyampaikan tiga akar demokrasi itu merupakan kombinasi organik yang sudah mengakar dan bercorak dalam sosiorelegius bangsa Indonesia sejak dulu.

Meski Bung belajar demokrasi dari barat, tapi definisi demokrasi yang Bung konsepkan sangat bertolak dengan konsep demokrasi yang dikenalkan oleh pemikir-pemikir politik barat.

Demokrasi yang Bung cita-citakan adalah demokrasi dengan konsep kebangsaan berdasar keinsafan bersama. Bahwa keberlangsungan bangsa ditentukan oleh keinsafan atas persamaan nasib dan tujuan yang sama.

Malang yang sama diterima, mujur yang sama didapat.

Tapi kini yang kaya semakin kaya, bahkan sekarang ada istilah “9 Naga”, Bung.

Mereka itulah yang disebut sebagai penguasa ekonomi Indonesia. Ada juga yang menyebut, “9 Naga” itulah “penguasa” negara sebenarnya.

Sesungguhnya, ini negara apa perusahaan, Bung?

Yang tidak kalah menyedihkannya lagi, Bung. Kini, kita yang hidup di Indonesia seakan hanya numpang ke kamar mandi.

Belakangan ini, etika pejabat dalam bernegara telah luruh. Negara seperti miliknya sendiri. Aturan dibuat sesuka hati dan tanpa rasa malu.

Hingga kami hanya bisa berkata: Sak karepmu, pek kabeh, toto-toto dewe sak senengmu, awuren sak karepmu.

Saya teringat apa yang pernah Bung tuturkan: Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun jujur itu sulit diperbaiki.

Wabakdu, bangsa ini surplus orang-orang pintar, tapi defisit orang-orang jujur seperti Bung. (*)

Assalamualaikum, Bung. Semoga Bung selalu mendapat rahmat-Nya.

Mohon maaf jika surat yang berisi curhatan ini mengganggu ketenangan Bung Hatta di alam sana—yang sedang asyik berdiskusi dengan Bung Besar, seperti dulu saat merumuskan konsep negara demokrasi.

Di sebuah meja klasik itu, saya membayangkan, Bung Besar yang dikenal sebagai singa podium tampak begitu berapi-api saat berdebat dengan Bung tentang definisi negara demokrasi.

Sementara Bung tampak begitu kalem, tenang,  dan juga tidak terlalu ofensif.

Dalam sebuah kesempatan, Bung Besar pernah menggambarkan tentang sifat Bung yang begitu kalem.

- Advertisement -

Dengan nada bercanda, Bung Besar bercerita tentang pengalamannya saat bersama Bung.

Katanya, “Untuk memahami Hatta, biar kuceritakan sebuah pengalaman. Saat dalam perjalanan, Hatta bersama seorang gadis, dan ban mobil kempes. Sementara si sopir mencari bantuan, Hatta dan gadis itu bertahan dalam mobil. Dan ketika sopir kembali, Hatta tertidur di ujung ruang mobil, sementara gadis cantik itu tidur di ujung yang berbeda.”

Begitulah Bung Karno menggambarkan kepribadian Bung. Mendengar cerita itu, saya tersenyum, Bung.

Kepribadian yang sangat amat jarang dimiliki orang lain. Dan sepertinya hanya Bung yang memiliki karakteristik begitu menarik tersebut.

Sosok laki-laki yang sangat plegmatis, namun dengan tingkat kecerdasan yang pilih  tanding.

Ya, Bung dan Bung Besar adalah dua kepribadian yang sangat berlainan.

Namun dalam keseharian, baik Bung dan Bung Besar adalah pembaca buku yang lahap.

Tidak seperti pejabat-pejabat sekarang yang malas baca.

Melalui curhatan terbuka ini, saya ingin meluapkan kekaguman sekaligus berkeluh kesah kepada Bung.

Baca Juga :  Pemilu, Kekuasaan, dan Gambaran Roda Kehidupan

Sebab, sudah teramat sulit sekali menemukan tokoh seperti Bung di negara ini.

Jangankan sosok seperti Bung, mencari pejabat yang jujur saja, sulitnya minta ampun.

Kini, satu sama lain saling sikut berebut kekuasaan.

Cara-cara yang dilakukan untuk merebut kekuasaan, pun hampir mirip nasihat Machiavelli. Menghalalkan segala cara.

Dan jika pun harus melakukan “kejahatan” demi merebut dan mempertahankan kekuasaan, maka itu akan dilakukan.

Bung, kini untuk berkuasa tidak perlu memiliki kualitas yang bagus, tapi cukup saja dianggap berkualitas dan memiliki banyak uang.

Lihat saja bagaimana money politics tak lagi menjadi barang tabu, Bung. Di ruang-ruang terbuka, warung-warung kopi, media sosial, hingga di teras antrean menuju tempat pemungutan suara (TPS), mereka dengan tanpa malu melakukan transaksi politik uang.

Yang katanya, suara rakyat suara Tuhan. Kini, suara rakyat adalah uang. Tanpa uang, tidak ada suara yang diberikan.

Yang minta untuk dipilih dan yang memilih, sama saja, Bung. Sama-sama tidak memiliki kejujuran.

Dalam sebuah literatur itu, saya ingat betul, Bung memilih menyinggir dari panggung kekuasaan ketika pendapat Bung tentang demokrasi bersebrangan dengan Bung Besar.

Tapi Bung tetap berteman baik dengan Bung Besar. Pun tetap memberikan sumbangsih pemikiran untuk kemajuan bangsa ini.

Bung sama sekali tidak haus terhadap kekuasaan. Bung menepi dengan kesederhanaan yang teramat. Tidak seperti pejabat sekarang—yang tanpa malu bermewah-mewahan.

Bung, demokrasi yang dianut bangsa ini sudah jauh melenceng dari konsep demokrasi yang Bung pernah sampaikan.

Bung merumuskan bahwa demokrasi bangsa ini harus berakar pada tiga sumber pokok.

Baca Juga :  Generasi Emas 2045, Literasi, dan Perguruan Tinggi Negeri

Pertama, sosialisme barat yang membela prinsip-prinsip humanisme.

Kedua, ajaran Islam memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat.

Ketiga, pola hidup dalam bentuk kolektivitas sebagaimana di desa-desa.

Bung menyampaikan tiga akar demokrasi itu merupakan kombinasi organik yang sudah mengakar dan bercorak dalam sosiorelegius bangsa Indonesia sejak dulu.

Meski Bung belajar demokrasi dari barat, tapi definisi demokrasi yang Bung konsepkan sangat bertolak dengan konsep demokrasi yang dikenalkan oleh pemikir-pemikir politik barat.

Demokrasi yang Bung cita-citakan adalah demokrasi dengan konsep kebangsaan berdasar keinsafan bersama. Bahwa keberlangsungan bangsa ditentukan oleh keinsafan atas persamaan nasib dan tujuan yang sama.

Malang yang sama diterima, mujur yang sama didapat.

Tapi kini yang kaya semakin kaya, bahkan sekarang ada istilah “9 Naga”, Bung.

Mereka itulah yang disebut sebagai penguasa ekonomi Indonesia. Ada juga yang menyebut, “9 Naga” itulah “penguasa” negara sebenarnya.

Sesungguhnya, ini negara apa perusahaan, Bung?

Yang tidak kalah menyedihkannya lagi, Bung. Kini, kita yang hidup di Indonesia seakan hanya numpang ke kamar mandi.

Belakangan ini, etika pejabat dalam bernegara telah luruh. Negara seperti miliknya sendiri. Aturan dibuat sesuka hati dan tanpa rasa malu.

Hingga kami hanya bisa berkata: Sak karepmu, pek kabeh, toto-toto dewe sak senengmu, awuren sak karepmu.

Saya teringat apa yang pernah Bung tuturkan: Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun jujur itu sulit diperbaiki.

Wabakdu, bangsa ini surplus orang-orang pintar, tapi defisit orang-orang jujur seperti Bung. (*)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img

Terpopuler

spot_img

Artikel Terbaru

spot_img
spot_img