Hari ini, Rabu (9/2) Pers Nasional memasuki usia ke-76 tahun. Usia yang cukup matang dan dewasa bagi dunia komunikasi massa. Seperti apa kehidupan pers di Tuban sekarang? Berikut catatan Dwi Setiyawan, wartawan Jawa Pos Radar Tuban.
—————————————————————————————
SIANG memanas di awal 2000. Seorang pimpinan satuan kerja (satker) bersama sekretarisnya mendatangi Kantor Biro Jawa Pos Radar Bojonegoro di Tuban, Jalan Pangeran Diponegoro 5A. Keduanya tidak terima dengan berita yang menudingnya menerima setoran pungli dari sejumlah perangkat desa terpilih di salah satu kecamatan.
Berita yang menjadi headline koran Jawa Pos Radar Bojonegoro edisi hari itu benar-benar memanaskan kupingnya. Citra yang mereka bangun bahwa satkernya ‘’bersih’’ tercoreng moreng. Kedatangan mendadak kedua pejabat tersebut baru saya terima beberapa menit sebelum tiba. Salah satu perangkat desa terpilih yang menjadi informan pungli mengabarkan lengkap berikut kemarahan mereka yang memuncak. Dia pun mewanti-wanti saya untuk berhati-hati. Terutama sekretaris satker yang temperamental. Dalam kondisi emosi, dia sulit menerima penjelasan dari siapa pun. Termasuk dari wartawan koran ini. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, saya disarankan untuk menghindar.
Beberapa saat setelah mengunci pintu kantor, saya mendengar suara mobil berhenti persis di depan kantor. Tanpa pikir panjang, saya pun langsung kabur melalui pintu belakang dan masuk sebuah kamar kosong di barat kantor yang difungsikan gudang. Masuknya pun tak wajar, melalui lubang ventilasi. Dari kamar pengap inilah sesaat kemudian saya dengar suara benda keras berbenturan dengan dinding. Bersamaan itu samar-samar saya dengar suara orang mengumpat. Materinya seputar pungli. Sekitar 30 menit berselang, suara gaduh tersebut berlalu. Saya pun memutuskan keluar.
Setelah mengendap-endap sambil memastikan suasana aman, saya kembali masuk kantor melalui pintu yang sama.
Dari balik jendela kaca depan, saya melihat kursi dan meja teras kantor posisinya acak-acakan. Berarti yang membentur dinding ya meja-kursi tersebut, kesimpulan saya ketika itu. Apalagi, di dinding teras juga menempel beberapa tapak sepatu. Setelah membawa pakaian ganti dan perangkat kerja, saya memutuskan meninggalkan kantor. Tujuannya, mencari perlindungan ke rumah Kasi Humas dan Protokol Bagian Humas Pemkab Tuban almarhum Soeprijo di Gang Mawar, Kelurahan Ronggomulyo, Kecamatan Tuban.
Kepada Pak Aman, panggilan akrabnya, saya hanya bercerita singkat terkait hal yang baru saya alami. Tanpa menyampaikan latar belakangnya, dia pun langsung paham. Itu karena sehari sebelumnya saya konfirmasi ke bagian humas terkait dugaan pungli tersebut. Jawabnya pun masih dikonfirmasikan kepada pejabat yang bersangkutan.
Karena yang bisa mencegah amuk pimpinan satker dan sekretarisnya tersebut hanya bupati, saya pun memintanya untuk melapor kepada bupati Hindarto (ketika itu, Red).
Setelah mendapat laporan dari Pak Aman, bupati tidak langsung merespons. Dia justru menugaskan badan pengawas daerah (sekarang Inspektorat, Red) untuk mengecek ke lapangan. Sambil menunggu kabar hasil pengecekan, saya bertahan di rumah Pak Aman. Sekitar lima jam kemudian, Pak Aman menyampaikan pesan dari bupati. Pesannya, dia diminta menyembunyikan saya. Bupati juga membenarkan pimpinan satker dan sekretarisnya itu naik pitam. Sejak itu, saya tinggal di sebuah kamar dekat garasi rumah kasi humas dan protokol tersebut. Selama menghilang dari peredaran, untuk sementara saya tidak menjalankan tugas jurnalistik.
Esok harinya, Pak Aman mengabari bahwa aliran dana dari perangkat desa terpilih kepada kedua pejabat tersebut terbukti. Nilainya jutaan rupiah, persis seperti yang saya tulis. Meski kedua pejabat tersebut berdalih tak minta dan diberi secara ikhlas, bupati tetap sikukuh menyiapkan sanksi pencopotan untuk mereka. Justru karena terbukti, kedua pejabat tersebut semakin dendam dan kian memburu saya.
Baru sekarang, setelah tragedi 22 tahun silam itu berlalu, saya membuka rahasia tempat persembunyian saya yang sulit ditemukan dua pejabat itu. Mudah-mudahan mereka membacanya. Dan, rasa penasaran mereka terjawab. Hee…
Setelah tiga hari bersembunyi, saya memutuskan keluar dan kembali melakukan aktivitas jurnalistik. Untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan, salah satu perwira polisi di Tuban menyarankan saya untuk membawa salah satu peranti kerja yang memungkinkan untuk membela diri bila kondisi darurat. Peranti tersebut gunting berujung lancip. Ya, saban hari saya bersentuhan langsung dengan peranti ini untuk memotong klise film kamera analog dalam kamar gelar. Meski demikian, menyelipkan gunting dalam tas tak lazim bagi seorang jurnalis. Tanpa membawa pun, studio foto langganan cuci cetak foto analog selalu menyiapkan peranti tersebut di kamar gelapnya.
Pengalaman buruk tersebut merupakan salah satu dari beberapa gambaran perilaku barbar pejabat pemerintah, orang parpol, pengusaha, tokoh masyarakat, dan massa di Tuban kepada pekerja pers di masa itu. Sekitar dua tahun kemudian (2002), Kantor Biro Jawa Pos Radar Bojonegoro di Tuban kembali diteror seorang pimpinan organisasi angkutan menyusul terbitnya berita dugaan pungli. Kasus yang sama kembali terjadi pada 2004. Sekelompok massa ngeluruk kantor media ini terkait pemberitaan polemik air bersih.
Meneror wartawan tidak hanya mencederai kemerdekaan pers yang bermartabat sebagai pilar demokrasi. Perilaku barbar juga menyimpang dari amanah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Mengacu perundangan tersebut, seluruh permasalahan pemberitaan pers yang muncul akibat wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik. Yakni, melayani hak jawab dan hak koreksi. Redaksi pun memiliki kewajiban koreksi. Kewajiban koreksi ini dilakukan atas inisiatif redaksi sendiri ketika menemukan kesalahan atas sebuah pemberitaan atau terhadap sebuah informasi yang disampaikan, meski tidak ada yang melakukan sanggahan atau tanggapan.
Ketika insiden pejabat barbar itu terjadi, usia Undang-Undang Pers belum genap setahun. Pemahaman dan penghormatan pada amanah undang-undang tersebut masih minim. Baik oleh insan pers itu sendiri, elit, maupun masyarakat luas.
Minimnya sosialisasi UU Pers juga menjadikan tak banyak yang memahami prinsip-prinsip kerja jurnalistik. Jurnalis berusaha menghindari kesalahan sekecil apa pun. Dalam melaporkan dan menyiarkan informasi, wartawan tetap berlandaskan etika profesi yang menjadi pedoman dalam menegakkan integritas sekaligus profesionalisme. Paling utama meneliti kembali kebenaran informasi. Marwah berikutnya yang harus dijaga dalam pemberitaaan kasus permasalahan dan perbedaan pendapat, masing-masing pihak harus diberi ruang/waktu pemberitaan secara berimbang (cover booth side).
Namun, sebagai manusia, jurnalis sadar tak mungkin pernah salah. Meski awak media sudah sangat yakin dengan berita yang akan diturunkan itu memenuhi standar kinerja jurnalistik yang baku, tetap tidak ada jaminan bahwa berita yang diturunkan itu tidak menimbulkan permasalahan. Sebab, demikian adanya sifat berita itu, tak mungkin dapat menyenangkan semua pihak.
Sekarang, di Tuban nyaris tak pernah terdengar lagi penyerangan secara fisik dengan menduduki kantor media. Hampir seluruh stakeholder kini memahami UU Pers dan Kode Etik Wartawan Indonesia akan membawa kemerdekaan pers ke arah yang lebih beradab bagi kemajuan industri pers. Selama Hari Pers Nasional! (*)