SECARA umum, syariat puasa Ramadan terdapat pada Alquran surat Albaqarah ayat 183-188. Yang dimulai dengan perintah puasa, argumen, dan tujuan puasa (QS. Al Baqarah: 183), penjelasan tentang prosedur puasa (QS. Al Baqarah: 184-185, dan 187), dilanjutkan dengan keutamaan dan ciri-ciri orang yang mencapai derajat takwa sebagai wujud keberhasilan syiam Ramadan (QS. Albaqarah: 186 dan 188).
Menarik untuk diperhatikan sekaligus sebagai bahan refleksi atas kehidupan umat Islam, yaitu diletakkannya 2 ayat yang sangat mendalam terkait puasa, perihal keistimewaan manusia di hadapan Allah tentang terkabulnya doa (QS. Albaqarah: 186) dan larangan berbuat batil dalam kehidupan (QS. Albaqarah: 188).
Dua ayat tersebut merupakan karakter mutlak yang harus dimiliki oleh umat Islam setelah mereka keluar dari pendadaran jiwa pasca Ramadan, yakni munculnya kesalehan pribadi yang terwujud dalam kedekatan mereka kepada Allah SWT dan kesalehan sosial berupa keramahan dalam perilaku sosialnya.
Kesalehan Pribadi
Tujuan utama puasa Ramadan adalah terbentuknya pribadi yang bertakwa, ditandai dengan ketaatan memenuhi perintah Allah secara total, yakni berpuasa dengan sungguh-sungguh: mengendalikan hawa nafsu, menundukkan hati, dan memenuhi hak-hak Allah.
Sehingga terbukalah pembatas (mukasyafah) antara “hamba dan Alkhaliq”.
Keadaan itu menjadikan jarak antara hamba dan Alkhaliq menjadi dekat tanpa ada pembatas, sehingga ketika seorang hamba bermunajat kepada Allah, maka Allah pasti akan mengabulkannya (QS. Al Baqarah: 186).
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir disebutkan sebuah riwayat dari Anas, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT berfirman, “Hai anak Adam, satu hal untukmu, dan satu hal untuk-Ku, serta satu hal lagi antara Aku dan kamu. Adapun hal yang untuk-Ku ialah kamu harus menyembah-Ku, janganlah kamu persekutukan Aku dengan sesuatu pun. Dan adapun yang bagimu ialah semua hal yang kamu lakukan, maka Aku pasti menunaikan (pahala) nya kepadamu. Dan adapun yang antara Aku dan kamu ialah kamu berdoa dan Aku yang memperkenankan (mengabulkan)”
Kesalehan Sosial
Kunci keberhasilan sebuah ibadah dapat dilihat setelah pelaksanaan ibadah. Seberapa besar manfaat pribadi dan kemaslahatan sosial yang dapat diwujudkan!
Jika manfaat pribadi, maka itu bersifat abstrak—hanya diri hamba dan Allah SWT yang mengerti. Namun ternyata ukuran sukses beribadah lebih mengarah kepada maslahat sosial yang ditimbulkannya.
Misalnya, ibadah salat—tujuan salat yang utama adalah sampainya seseorang pada derajat mampu mengendalikan diri dari perbuatan keji dan mungkar (QS. Alankabut: 45).
Perbuatan keji dapat berupa perbuatan zalim, membunuh, dan berzina.
Sedangkan perbuatan mungkar dapat berupa mencuri, dan melanggar hukum lainnya.
Demikian juga dengan ibadah zakat dan haji. Ibadah zakat, selain menyucikan diri dan harta benda (QS. Attaubah: 103).
Zakat juga berfungsi memindahkan kekayaan kepada kelompok sosial yang lain (QS. Alhasyr: 7). Sedangkan ibadah haji bertujuan mencapai predikat “haji mabrur”—dan ternyata ukuran kemabruran sese orang tercermin kepada perilaku sosialnya.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Haji mabrur itu tidak balasan lain kecuali surga. Shahabat bertanya: Ya Rasulullah, apa tanda-tandanya? Rasulullah menjawab: memberikan makanan dan menjaga perkataan”.
Berpuasa berarti “menahan (imsak)”– menahan segala hal yang dapat merusak kesucian diri dengan berbuat batil–zalim kepada sesama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Berpuasa berarti menahan diri dari perbuatan yang dilarang oleh Allah, meski sungguhpun hal itu halal dilakukan, tetapi karena Allah melarangnya, maka ia patuh dan taat secara total, misalnya larangan makan, minum, dan berhubungan suami istri di siang hari.
Pribadi-pribadi yang telah mentas dari puasa Ramadan adalah pribadi yang mengharamkan dirinya untuk berbuat zalim kepada sesamanya. Kezaliman yang dimaksudkan adalah memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil.
Cara batil memenuhi kebutuhan hidup dapat berupa jual beli dan kegiatan ekonomi yang tidak sah menurut syariat Islam. Jual beli gharar, tipu menipu dan pengurangan timbangan, khianat dalam dalam kerja sama ekonomi dan lain sebagainya.
Setelah puasa Ramadan ini–kita semua berharap bahwa ibadah puasa tersebut membekas dalam hati sanubari umat, sehingga mampu memperbaiki situasi masyarakat.
Membiasakan hanya memakan barang yang diridai Allah dan gemar membantu (ta’awun) kepada sesama. Itulah hakekat alumnus puasa Ramadan–pribadi yang memiliki kasalehan pribadi dan kesalehan sosial. (*)