Munculnya keraguan terhadap legitimasi lembaga elektoral, belakangan ini memberikan kesan kegaduhan.
Demikian pula pada pertunjukan blak-blakan proses penegakan hukum yang dinilai timpang dan tendensius, hingga protes terhadap dinamika ‘pewarisan’ tampuk kekuasaan.
Di tengah derasnya laju informasi dan komunikasi, kebebasan mengemukakan pendapat seolah menjadi hak yang paling konstitusional.
Imbasnya, segala bentuk sangkalan argumentasi dianggap sebagai sumbatan ruang kemerdekaan berpendapat.
Mengembalikan marwah negara Indonesia yang menjunjung tinggi kebhinekaan menjadi tugas sentral tiap warga negara.
Bagaimana pun, tanggung jawab kelangsungan keberagaman yang kondusif menjadi palang pintu harmonisasi nasional.
Pun dengan jiwa kebersamaan dan rasa persaudaraan harus didahulukan untuk mencapai tujuan bersama.
Hiruk-pikuk transisi kepemimpinan, diikuti kecanggihan teknologi informasi berimbas pada bangunan opini yang cepat menyebar.
Muaranya, sekecil apa pun isu yang beredar, publik dengan singkat membangun opini. Termasuk fenomena luapan aspirasi dari segala strata sosial, bahkan akademisi.
Lazim bila masyarakat bertanya apakah Indonesia baik-baik saja?
Idealisme Demokrasi
Keberpihakan negara yang tersentral pada kepentingan rakyat hakikatnya merupakan ciri konsep demokrasi yang bertumpu pada hajat hidup masyarakat.
Di Indonesia, implementasi prinsip demokrasi, khususnya pada proses penentuan mandataris rakyat, diwujudkan dalam pemilu.
Suara rakyat yang disalurkan melalui pemilu mutlak menjadi penentu legitimasi elektoral selaku pemangku kebijakan.
Sangat tidak elok bila suara rakyat dicederai oleh oknum tidak bertanggung jawab dengan dalih apa pun.
Parameter idealitas demokrasi sebenarnya dapat ditentukan dari seberapa besar hukum memberikan tuntunan.
Hal ini tidak terlepas dari posisi hukum yang berada pada segmen sollens category.
Adapun kompleksitas problematika berada pada sisi sein category. Mutatis mutandis berlaku pula bagi segala tindakan publik.
Secara konstitusional, persamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan merupakan hak dasar.
Demikian pula ketentuan pemilu yang ditindaklanjuti dalam aturan pelaksana.
Pencantuman mekanisme pemilu dalam konstitusi merupakan bentuk prioritas bangsa Indonesia (volksgeist) yang mengakui bahwa pemilu adalah bagian dari kebutuhan pokok demokrasi.
UU Pemilu mengatur beberapa fase proses, dari persiapan hingga tahapan ketika terjadi perselisihan.
Di sisi lain, penyelenggara hingga peserta pemilu juga tunduk pada aturan main yang sudah ditentukan.
Jika di tengah jalan terdapat perubahan, baik oleh pem bentuk hukum maupun karena putusan lembaga peradilan (MK), hal itu merupakan sesuatu yang wajar dan secara teori dibenarkan.
Perdebatan mengenai pelanggaran etika dan cacat prosedur adalah hal lain yang juga diwadahi melalui mekanisme penyelesaian lain pula.
Sebagai warga negara yang baik, tentu perlu melandaskan pada supremasi hukum.
Selama tidak ada putusan final yang menyatakan adanya unsur kesalahan, justifikasi tidak ubahnya argumentasi subjektif yang belum tentu kebenarannya.
Rekonsiliasi Politik
Kedewasaan dalam menerima realitas politik merupakan modal dasar harmonisasi di tengah zona demokrasi.
Pada sistem multi partai, komunikasi lintas institusi menjadi hal wajib dilakukan. Sebuah konsekuensi logis dalam proses politik terbuka peluang gesekan, bahkan permusuhan.
Kesannya, proses politik justru mengotori perdamaian. Hal ini tentu bertolak belakang dengan esensi politik sebagai sarana mengisi estafet kekuasaan.
Tidak bisa dipungkiri, dalam dimensi merebut simpati rakyat, bisa terjadi kompetisi dengan menggunakan segala cara.
Mengantisipasi hal tersebut, juga telah ditentukan mekanisme sedemikian rupa oleh hukum. Termasuk lembaga yang berwenang memproses manakala terdapat indikasi pelanggaran hukum.
Akan tetapi pada segmentasi sosial, perbedaan pandangan bisa menjadi pemicu konflik berkepanjangan.
Isu dinasti politik dalam negara hukum yang demokratis sebenarnya merupakan contradictio interminis.
Bagaimana tidak, aturan hukum sudah jelas, demikian halnya mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat tentu tidak sejalan dengan konsep dinasti.
Terlepas siapa pun yang menjadi kontestan, selama melalui fase yuridis yang sah, tidak dapat disalahkan.
Urusan keterpilihan adalah perkara lain yang bergantung dari akseptasi masyarakat.
Mengatasi kerawanan pasca-pemilu diperlukan komunikasi politik untuk islah. Setidaknya, upaya mempertahankan proses demokrasi telah berjalan dengan koridor semestinya.
Berkaca dari ajaran trias politica Montesquieu yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka penting pula dibangun sinergi berbasis integritas antar lembaga.
Pemimpin nasional yang baru wajib menerapkan kebijakan menyejukkan. Terlebih setelah melewati berbagai pandangan negatif publik.
Paling tidak meneguhkan bahwa Indonesia baik-baik saja. (*)