28.9 C
Tuban
Thursday, 21 November 2024
spot_img
spot_img

Islam dalam Dialektika Kebudayaan

spot_img

SEORANG ustad dan mubalig terkenal alumnus universitas di Timur Tengah merasa heran dengan adanya tradisi Imsak, sesuatu yang tidak dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat.

Sebagian masyarakat merasa heran dengan sikap sang ustad, sebab tradisi imsak ini sudah berlangsung lama, dan selama ini tidak ada masalah.

Lalu pembicaraan menjadi tidak menyenangkan karena akhirnya berkutat pada bidah dan sunah. Perdebatan khilafiyah yang rasanya menjadi benang ruwet dalam kehidupan berislam kita.

Dalam pengamalan agama, memang akan selalu terjadi doktrin Islam yang suci (wahyu ilahi) sebagai sebuah keyakinan sakral dan tidak bisa ditambahi atau  dikurangi, akan berjumpa dengan ekspresi budaya di sebuah negeri.

Kita bisa menyebutnya sebagai asimilasi atau bisa juga akulturasi.

Sekarang, Islam sudah mencakup hampir seluruh penjuru dunia, sehingga dialektika Islam dan kebudayaan akan sangat luas sekali.

Wajar saja, jika kemudian seseorang heran, dan bahkan terkejut dengan ekspresi beragama di suatu negeri yang tak dikenalnya.

Masyarakat Indonesia pun bisa terkejut jika melihat cara berislam dari negara lain.

Di Masjidil Haram, penulis melihat ada ekspresi terkejut seorang jamaah haji karena diajak bersalaman setelah salat wajib oleh jemaah haji dari Indonesia.

Dari matanya terlihat binar kaget dan mungkin sedikit bingung tidak paham mengapa diajak bersalaman. Begitu pula jamaah haji dari Indonesia kaget atau bahkan terkejut juga saat melihat orang kaget “hanya” karena diajak bersalaman selepas salat.

Ada dua hal mendasar dalam berislam yang seharusnya bisa menyatukan umat Islam, yakni adanya dalil dari amaliah dan adanya kesadaran begitu banyak khilafiyah di antara umat Islam, bahkan khilafiyah itu sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad.

Dalam beberapa kasus sahabat mempunyai sudut pandang yang khas dengan pemikirannya
namun perbedaan itu tidak akan melebar karena ada sosok nabi yang agung di antara mereka.

Persinggungan Islam dengan Indonesia yang dimulai dari abad 7 pada masa kekalifahan Umar bin Khattab telah melewati jalan panjang dialektika kebudayaan.

Baca Juga :  Pemilu, Kekuasaan, dan Gambaran Roda Kehidupan

Maka dalam teori sejarah masuknya Islam di Indonesia, mengenal teori Gujarat, teori Persia, teori Cina, dan tentu saja teori Makkah.

Teori itu berkembang dengan sudut pandang peneliti terhadap bukti sejarah yang ada, misalnya ditemukan makam yang bentuk nisannya sama persis dengan makam Islam di Gujarat India, maka disimpulkan ada relasi antara Islam di Indonesia dengan Islam di Gujarat India, begitu pula yang terjadi pada teori Persia dan Cina.

Perkembangan dialektika budaya dalam dakwah menjadi luar biasa bersamaan dengan cara dakwah wali sanga yang mencoba “menjawakan Islam”, ajaran Islam menjadi didekatkan dengan budaya Jawa.

Sunan Kalijaga mempunyai peran penting dalam bentuk dakwah seperti ini, Islam disampaikan dalam kemasan budaya.

Ketika generasi sekarang mengkritik cara berdakwah Sunan Kalijaga yang dianggap layyin (lembek), sering kali berusaha membumikan nilai-nilai Islam dengan pendekatan budaya pada masanya—ketika Jawa masih didominasi Hindu dan Budha.

Kita bisa melihat keberhasilan dakwah Sunan. Sunan Kalijaga menjadi sosok agung dalam tradisi Islam di Jawa.

Gerakan pemurnian Islam memang gerakan yang dibutuhkan untuk menjaga Islam dari penyimpangan dan menjaga kemurnian Islam.

Penulis membayangkan jika tidak ada gerakan pemurnian, tentu Islam akan semakin jauh dari apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Begitu pula dari sisi keilmuan, tidak akan muncul tradisi perdebatan ilmiah yang mengagumkan.

Banyak kitab yang lahir dari perdebatan-perbedaan sudut pandang dan penetapan hukum, baik dari masalah inti seperti akidah sampai furuiyyah dalam fiqih.

Jika kita mencoba memetakan dialektika Islam dan budaya, lalu ada yang bertanya: Apakah imsak itu ajaran Islam? Tentu kita dengan mudah bisa menjawab, bahwa imsak sesuatu yang sudah menjadi bagian dari tradisi Islam di Indonesia.

Dengan mudah, kita memberikan jawaban seperti itu, karena kita lahir dari budaya yang sejak lahir akrab dengan budaya imsak. Bisa jadi karena berbagai pertimbangan, kita menjadi setuju dengan pendapat yang mengatakan tidak perlu ada peringatan imsak menjelang sahur.

Baca Juga :  Menakar Visi Tuban 2045 dan Persiapan yang Harus Dilakukan

Namun, karena kita besar dari tradisi itu, kita seharusnya bisa bersikap menghormati perbedaan tersebut.

Bagi mereka yang tidak lahir dari budaya imsak akan heran dengan budaya imsak, karena tidak menemukan dalam tradisi di masyarakat sekitarnya atau juga karena merasa tidak menemukan rujukan dalil dari amaliah tersebut.

Cara sudut pandang seperti inilah yang menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat, yang jika tidak disikapi dengan bijak akan menjadi konflik terbuka.

Seharusnya, kita semua sadar amaliah keislaman merupakan “tafsir” dari Alqur’an dan Sunah, yang bisa beda pendapat karena sudut pandang yang beda pula.

Sejak zaman dulu, telah terjadi beda pendapat di antara ulama Madinah, Makkah, Kufah, Syams, serta daerah-daerah lainnya.

Setelah mengalami perdebatan panjang dalam sejarah, seharusnya umat Islam bisa berbesar hati untuk melihat dialektika Islam dan budaya Indonesia sebagai sesuatu yang wajar terjadi.

Bisa jadi itu merupakan ekspresi keislaman yang khas daerah tersebut. Sebuah ekspresi keislaman yang bisa berbeda dengan daerah lainnya.

Perbedaan ekspresi keislaman sebagai usaha mengamalkan ajaran Islam yang ada dalam syariat dengan budaya lokal, sehingga tidak perlu memasang muka marah dan mripat yang merah untuk berbedaan seperti itu, walau kita menyimpulkan bahwa amaliah itu menurut sepengetahuan kita tidak ada dalilnya, tidak sesuai dengan keyakinan kita.

Bidah dalam syariat tentu berbahaya dalam agama, namun bidah dalam kebudayaan sebagai tafsir kegembiraan berislam tentu harus diberi ruang yang luas.

Di mana dialektika Islam dengan kebudayaan menghasilkan kegembiraan berislam.

Rasanya kita patut bersyukur atau setidak-tidaknya menghargai karena apa yang dilakukan karena bisa menjadi syiar Islam, walau secara pribadi kita tidak setuju. (*)

SEORANG ustad dan mubalig terkenal alumnus universitas di Timur Tengah merasa heran dengan adanya tradisi Imsak, sesuatu yang tidak dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat.

Sebagian masyarakat merasa heran dengan sikap sang ustad, sebab tradisi imsak ini sudah berlangsung lama, dan selama ini tidak ada masalah.

Lalu pembicaraan menjadi tidak menyenangkan karena akhirnya berkutat pada bidah dan sunah. Perdebatan khilafiyah yang rasanya menjadi benang ruwet dalam kehidupan berislam kita.

Dalam pengamalan agama, memang akan selalu terjadi doktrin Islam yang suci (wahyu ilahi) sebagai sebuah keyakinan sakral dan tidak bisa ditambahi atau  dikurangi, akan berjumpa dengan ekspresi budaya di sebuah negeri.

Kita bisa menyebutnya sebagai asimilasi atau bisa juga akulturasi.

- Advertisement -

Sekarang, Islam sudah mencakup hampir seluruh penjuru dunia, sehingga dialektika Islam dan kebudayaan akan sangat luas sekali.

Wajar saja, jika kemudian seseorang heran, dan bahkan terkejut dengan ekspresi beragama di suatu negeri yang tak dikenalnya.

Masyarakat Indonesia pun bisa terkejut jika melihat cara berislam dari negara lain.

Di Masjidil Haram, penulis melihat ada ekspresi terkejut seorang jamaah haji karena diajak bersalaman setelah salat wajib oleh jemaah haji dari Indonesia.

Dari matanya terlihat binar kaget dan mungkin sedikit bingung tidak paham mengapa diajak bersalaman. Begitu pula jamaah haji dari Indonesia kaget atau bahkan terkejut juga saat melihat orang kaget “hanya” karena diajak bersalaman selepas salat.

Ada dua hal mendasar dalam berislam yang seharusnya bisa menyatukan umat Islam, yakni adanya dalil dari amaliah dan adanya kesadaran begitu banyak khilafiyah di antara umat Islam, bahkan khilafiyah itu sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad.

Dalam beberapa kasus sahabat mempunyai sudut pandang yang khas dengan pemikirannya
namun perbedaan itu tidak akan melebar karena ada sosok nabi yang agung di antara mereka.

Persinggungan Islam dengan Indonesia yang dimulai dari abad 7 pada masa kekalifahan Umar bin Khattab telah melewati jalan panjang dialektika kebudayaan.

Baca Juga :  Demokrasi, tapi Tercekik

Maka dalam teori sejarah masuknya Islam di Indonesia, mengenal teori Gujarat, teori Persia, teori Cina, dan tentu saja teori Makkah.

Teori itu berkembang dengan sudut pandang peneliti terhadap bukti sejarah yang ada, misalnya ditemukan makam yang bentuk nisannya sama persis dengan makam Islam di Gujarat India, maka disimpulkan ada relasi antara Islam di Indonesia dengan Islam di Gujarat India, begitu pula yang terjadi pada teori Persia dan Cina.

Perkembangan dialektika budaya dalam dakwah menjadi luar biasa bersamaan dengan cara dakwah wali sanga yang mencoba “menjawakan Islam”, ajaran Islam menjadi didekatkan dengan budaya Jawa.

Sunan Kalijaga mempunyai peran penting dalam bentuk dakwah seperti ini, Islam disampaikan dalam kemasan budaya.

Ketika generasi sekarang mengkritik cara berdakwah Sunan Kalijaga yang dianggap layyin (lembek), sering kali berusaha membumikan nilai-nilai Islam dengan pendekatan budaya pada masanya—ketika Jawa masih didominasi Hindu dan Budha.

Kita bisa melihat keberhasilan dakwah Sunan. Sunan Kalijaga menjadi sosok agung dalam tradisi Islam di Jawa.

Gerakan pemurnian Islam memang gerakan yang dibutuhkan untuk menjaga Islam dari penyimpangan dan menjaga kemurnian Islam.

Penulis membayangkan jika tidak ada gerakan pemurnian, tentu Islam akan semakin jauh dari apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Begitu pula dari sisi keilmuan, tidak akan muncul tradisi perdebatan ilmiah yang mengagumkan.

Banyak kitab yang lahir dari perdebatan-perbedaan sudut pandang dan penetapan hukum, baik dari masalah inti seperti akidah sampai furuiyyah dalam fiqih.

Jika kita mencoba memetakan dialektika Islam dan budaya, lalu ada yang bertanya: Apakah imsak itu ajaran Islam? Tentu kita dengan mudah bisa menjawab, bahwa imsak sesuatu yang sudah menjadi bagian dari tradisi Islam di Indonesia.

Dengan mudah, kita memberikan jawaban seperti itu, karena kita lahir dari budaya yang sejak lahir akrab dengan budaya imsak. Bisa jadi karena berbagai pertimbangan, kita menjadi setuju dengan pendapat yang mengatakan tidak perlu ada peringatan imsak menjelang sahur.

Baca Juga :  Generasi Emas 2045, Literasi, dan Perguruan Tinggi Negeri

Namun, karena kita besar dari tradisi itu, kita seharusnya bisa bersikap menghormati perbedaan tersebut.

Bagi mereka yang tidak lahir dari budaya imsak akan heran dengan budaya imsak, karena tidak menemukan dalam tradisi di masyarakat sekitarnya atau juga karena merasa tidak menemukan rujukan dalil dari amaliah tersebut.

Cara sudut pandang seperti inilah yang menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat, yang jika tidak disikapi dengan bijak akan menjadi konflik terbuka.

Seharusnya, kita semua sadar amaliah keislaman merupakan “tafsir” dari Alqur’an dan Sunah, yang bisa beda pendapat karena sudut pandang yang beda pula.

Sejak zaman dulu, telah terjadi beda pendapat di antara ulama Madinah, Makkah, Kufah, Syams, serta daerah-daerah lainnya.

Setelah mengalami perdebatan panjang dalam sejarah, seharusnya umat Islam bisa berbesar hati untuk melihat dialektika Islam dan budaya Indonesia sebagai sesuatu yang wajar terjadi.

Bisa jadi itu merupakan ekspresi keislaman yang khas daerah tersebut. Sebuah ekspresi keislaman yang bisa berbeda dengan daerah lainnya.

Perbedaan ekspresi keislaman sebagai usaha mengamalkan ajaran Islam yang ada dalam syariat dengan budaya lokal, sehingga tidak perlu memasang muka marah dan mripat yang merah untuk berbedaan seperti itu, walau kita menyimpulkan bahwa amaliah itu menurut sepengetahuan kita tidak ada dalilnya, tidak sesuai dengan keyakinan kita.

Bidah dalam syariat tentu berbahaya dalam agama, namun bidah dalam kebudayaan sebagai tafsir kegembiraan berislam tentu harus diberi ruang yang luas.

Di mana dialektika Islam dengan kebudayaan menghasilkan kegembiraan berislam.

Rasanya kita patut bersyukur atau setidak-tidaknya menghargai karena apa yang dilakukan karena bisa menjadi syiar Islam, walau secara pribadi kita tidak setuju. (*)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radartubanbisnis.com Koran Bisnis e Wong Tuban

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
MSN: tinyurl.com/yw4tx2rx

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Tuban WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vafat2k77qVMQiRsNU3o. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

Keunggulan Sekolah Kejuruan

Demokrasi, tapi Tercekik

Hak Ingkar

spot_img

Terpopuler

spot_img

Artikel Terbaru

spot_img
spot_img