Pukulan ketiga: di saat sekolah swasta mendapat bantuan dana yang sama dari pemerintah layaknya sekolah negeri, tapi sekolah swasta bebas menarik iuran dari orang tua atau komite semau mereka.
Dengan sumber uang yang dari sana-sini tersebut, cukup mudah membuat sebuah sekolah swasta menjadi lebih bagus kualitasnya. Toh, butuh apa saja, uang sudah ada.
Sarana prasarana? Cari guru berkualitas? Mendatangkan profesor untuk pemateri seminar? Semua beres, wong ada duitnya.
Sedangkan sekolah negeri? Baru ada wacana untuk narik iuran keperluan siswa saja sudah dilirik sana-sini. Diancam diviralkan. Dipukul sana-sini.
Akhirnya, semua guru sekolah negeri hanya bisa mencari aman. Seakan pilihan mereka hanya mau menerima takdir. Butuh uang ya hanya boleh ambil dari BOS—yang tak seberapa.
Jika kurang? Ya tidak usah bikin kegiatan. Tidak usah sok kreatif karena kreativitas itu mahal. Tidak usah berinovasi, karena inovasi itu butuh uang tinggi.
Pada akhirnya, sekolah negeri hanya menunggu waktu untuk dipukul KO (knock out) oleh lawan-lawannya. Beberapa kali pukulan yang sudah dilayangkan hanya bisa membuat mereka bertahan. Tak bisa gerak.
Salah langkah sedikit risikonya dimutasi, dirundung sana-sini. Mau bagaimana lagi, para pembuat peraturan kini sudah diisi orang-orang yang punya sekolah swasta.
Semoga para pembuat kebijakan tersebut masih ingat kalau mereka pintar dan besar seperti sekarang ini juga berkat jasa guru-guru sekolah negeri di masa lalu. (*)
Pukulan ketiga: di saat sekolah swasta mendapat bantuan dana yang sama dari pemerintah layaknya sekolah negeri, tapi sekolah swasta bebas menarik iuran dari orang tua atau komite semau mereka.
Dengan sumber uang yang dari sana-sini tersebut, cukup mudah membuat sebuah sekolah swasta menjadi lebih bagus kualitasnya. Toh, butuh apa saja, uang sudah ada.
Sarana prasarana? Cari guru berkualitas? Mendatangkan profesor untuk pemateri seminar? Semua beres, wong ada duitnya.
Sedangkan sekolah negeri? Baru ada wacana untuk narik iuran keperluan siswa saja sudah dilirik sana-sini. Diancam diviralkan. Dipukul sana-sini.
Akhirnya, semua guru sekolah negeri hanya bisa mencari aman. Seakan pilihan mereka hanya mau menerima takdir. Butuh uang ya hanya boleh ambil dari BOS—yang tak seberapa.
- Advertisement -
Jika kurang? Ya tidak usah bikin kegiatan. Tidak usah sok kreatif karena kreativitas itu mahal. Tidak usah berinovasi, karena inovasi itu butuh uang tinggi.
Pada akhirnya, sekolah negeri hanya menunggu waktu untuk dipukul KO (knock out) oleh lawan-lawannya. Beberapa kali pukulan yang sudah dilayangkan hanya bisa membuat mereka bertahan. Tak bisa gerak.
Salah langkah sedikit risikonya dimutasi, dirundung sana-sini. Mau bagaimana lagi, para pembuat peraturan kini sudah diisi orang-orang yang punya sekolah swasta.
Semoga para pembuat kebijakan tersebut masih ingat kalau mereka pintar dan besar seperti sekarang ini juga berkat jasa guru-guru sekolah negeri di masa lalu. (*)