Upaya Pemkab Tuban ”membersihkan” angkutan bodong melalui Program Angkutan Pelajar disangsikan keberhasilannya.
PARA pengemudi angkutan bodong yang ditemui Jawa Pos Radar Tuban di pangkalannya depan SMPN 1 Jenu kemarin (9/8) menilai program bertajuk angkutan pelajar tersebut kecil kemungkinan dapat mengakomodir kebutuhan transportasi para pelajar secara maksimal.
Kasmo, salah satu sopir angkutan bodong pelajar mengatakan, masalah utama yang akan dihadapi pemkab adalah jumlah armada.
‘’Di SMPN 1 Jenu saja empat angkutan. Di program itu (angkutan pelajar, Red) nanti berapa armada yang akan diposkan di sini? Apa empat juga?’’ ujar pria yang akrab disapa Bagong tersebut.
Pengemudi yang tinggal di Desa Mentoso, Kecamatan Jenu ini meneruskan, jika jumlah angkutan yang disediakan pemkab tidak sama atau justru kurang untuk melayani para pelajar SMPN 1 Jenu, maka lebih baik program tersebut dibatalkan saja.
Pertimbangannya, kata Bagong, merusak sistem yang sudah dibuatnya bersama para sopir angkutan bodong yang mangkal di SMPN unggulan di Kecamatan Jenu tersebut.
Pria yang menjadi sopir angkutan bodong sejak akhir 1990-an ini menceritakan, saban pagi dia bersama tiga sopir lain menjemput para pelajar SMPN 1 Jenu dari desa-desa se-Kecamatan Jenu. Paling banyak di Desa Wadung dan Sumurgeneng. Sisanya, desa-desa lain di utara jalur pantura.
Bagong melanjutkan, biar para pelajar tidak telat masuk sekolah, dia bersama para sopir lain mulai beroperasi sekitar pukul 05.30. Sepagi itu, angkutan-angkutan bodong tersebut melakukan penjemputan.
Ditanya lokasi penjemputan, Bagong mengatakan, para pelajar telah dibuatkan ”halte gaib” di beberapa titik sepanjang rute angkutan bodong tersebut. Namun, tak jarang angkutan bodong ini dicegat para pelajar di depan rumah masing-masing. Pencegatan tersebut hanya dilakukan pelajar yang rumahnya di tepi jalan desa. Bukan yang rumahnya di gang.
‘’Kasihan yang sudah menunggu di halte gaib. Nanti pelajar lain yang sudah siap malah telat. Pokoknya pukul 07.30 angkutan kami berangkat. Pelajar yang bangunnya kesiangan atau terkendala sesuatu, terpaksa ditinggal,’’ imbuhnya.
Waktu penjemputan dan pemberangkatan para pelajar yang terbilang kejar-kejaran, terang Bagong, adalah masalah kedua yang akan dihadapi pemkab. Dia menyangsikan, pemkab bisa mengatasi masalah kedua ini. Apalagi, kalau jumlah armada program angkutan pelajar yang menjemput ke desa-desa jumlahnya tak banyak.
”Pasti akan kewalahan. Si sopir capek dan si pelajar bisa-bisa telat masuk sekolah. Orang tua si pelajar akan kecewa dan guru bisa marah karena si pelajar tidak disiplin,’’ ungkapnya. (sab/ds)