“Dalam beberapa kasus, tindakan kekerasan dapat menyebabkan trauma jangka panjang pada siswa baru dan merusak persepsi mereka terhadap pendidikan,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, MPLS yang berpusat pada kekerasan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang adil, inklusif, dan menghargai martabat individu.
Setiap siswa berhak mendapatkan perlakuan layak, memperoleh lingkungan yang mendukung, dan memiliki kesempatan sama untuk berkembang.
“Dengan melarang kekerasan dalam MPLS, pemerintah menegaskan komitmennya dalam menjaga hak-hak siswa dan mendorong pendekatan pendidikan lebih manusiawi,” tambah dia.
Triwibowo menjelaskan, salah satu konsep yang diubah dalam penyelenggaraan MPLS dewasa ini adalah penghapusan agresivitas verbal yang selama ini melekat sebagai kekhasan dalam MOS. Bukan tanpa alasan, agresivitas verbal dalam MPLS telah membudaya karena adanya budaya bullying.
Selain itu, agresivitas verbal dapat terjadi karena adanya kekuasaan dan hierarki. Dalam konteks MPLS, siswa senior sering kali memiliki kekuasaan dan kontrol atas siswa baru.
Mereka dapat menggunakan kekuasaan ini untuk menjalankan tindakan verbal yang agresif sebagai bentuk pengendalian atau penghormatan terhadap hierarki sosial di sekolah.
“Agresivitas verbal dapat menimbulkan dampak yang cukup serius. Yakni, memicu stres dan ketidaknyamanan emosional korban. Juga menimbulkan pemisahan sosial,” paparnya.
Menurutnya, memisahkan siswa baru dari siswa senior dan menyebabkan perasaan isolasi dan penolakan, serta terhambatnya proses pembelajaran. Sebab, ketika siswa merasa terintimidasi atau takut, mereka tidak dapat fokus pada pembelajaran.
“MPLS membebaskan dari itu semua. MPLS menciptakan suasana aman dan nyaman bagi peserta didik baru,” tandasnya. (tok)
Untuk mendapatkan berita-berita terkini Jawa Pos Radar Tuban, silakan bergabung di Grup Telegram “Radar Tuban”. Caranya klik link join telegramradartuban. Sebelumnya, pastikan Anda sudah menginstal aplikasi Telegram di ponsel.